Mohon tunggu...
Fitrah Abdilah
Fitrah Abdilah Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis

Menulislah, maka kamu akan ada dalam sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lebaran, Pakaian Harus Baru, Covid-19 Bodoamat!

12 Mei 2021   05:03 Diperbarui: 12 Mei 2021   05:04 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tinggal menghitung beberapa jam lagi, kita sebagai umat Islam akan merayakan hari raya kemenangan, Idul Fitri 1442 Hijriah. Hampir genap 30 hari sudah kita berpuasa, menahan lapar, haus dan emosional. Sampai tiba saatnya, kita saling berjabat tangan dan bermaaf-maafan dengan keluarga, sanak saudara, tetangga, teman dan lainnya.

Benar, lebaran tahun ini rasanya tidak sempurna, karena kita masih berada dalam rantai pandemi Covid-19 yang belum juga hengkang. Setidaknya, tahun ini akan terlihat lebih baik dari atmosfer tahun lalu. Mengingat masyarakat sudah mulai berani menentang marabahaya.

Ntah dari kapan dimulainya, sepertinya pakaian baru saat lebaran memang harus menjadi suatu kewajiban. Masyarakat antusias menyerbu pusat perbelanjaan terdekat atau terjauh. Tidak peduli tua muda, dewasa anak-anak, pria dan wanita semuanya sama saja.

Buktinya saja, toko baju yang awalnya sepi bahkan tidak terlihat tukang parkir. Sekarang sudah kewalahan melayani konsumen yang mampir ke toko mereka sekedar melihat atau membeli. Hebatnya, ada tukang parkir dadakan yang ikut mengais rejeki akibat membeludaknya pengunjung toko, inilah juru parkir musiman yang hanya ada pada momen tertentu saja.

Jika dikritisi, pada bulan Romadhon masyarakat menjadi sangat konsumtif bahkan terbilang boros. Dengan demikian, negara juga yang diuntungkan, tentunya polarisasi ini akan membuat ekonomi negara meningkat karena daya beli masyarakat yang tinggi. Tidak ada yang dirugikan, yang merugi hanyalah ojek online karena sepi orderan.

Itu sebabnya, pemerintah memberikan gaji tiga belas, tunjangan hari raya, dan sebagainya. Negara tidak akan rugi, karena pemasukan dana untuk dikucurkan itu, adalah hasil dari meningkatnya daya belanja masyarakat sebelum Hari Raya Idul Fitri. Maka dari itu, pemerintah sanggup mengeluarkan dana yang tentunya tidak sedikit, jika bukan karena gaya konsumtif masyarakat, kecil kemungkinan ada gaji 13 dan sebagainya.

Hal terpenting yang akan diburu masyarakat tentu saja pakaian baru, mulai dari atasan sampai alas kaki, semuanya harus baru. Produsen tentu akan meningkatkan produksi mereka karena tuntutan pasar, dan juga harus memutar otak untuk berkompetisi dengan produsen lain. Geliat berbelanja masyarakat biasanya mulai muncul pada sepuluh hari terakhir bulan romadhon.

Padahal, seyogyanya kita sebagai umat muslim untuk mempertajam kualitas ibadah pada 10 malam terakhir itu, karena malam Lailatul Qadar hadir di antara malam-malam tersebut. Sebaliknya, masyarakat menjadi kendor serta kembali lalai, malah menghampiri mall untuk memborong opsi OOTD saat lebaran nanti. Pusat perbelanjaan seperti mall, distro, supermarket, bahkan toko rumahan menjadi laris manis, Alhamdulillah.

Tidak hanya itu, jajaran pasar tumpah turut menghiasi emperan jalan atau paling tidak mengisi kawasan kosong. Barang yang dijajakan tentu saja pakaian untuk menyambut lebaran, atau setidaknya pernak pernik lainnya. Biasanya diisi oleh pedagang yang memang dagangannya harus terlihat oleh calon pembeli, makanya harus berjualan lebih melebar.

Padahal hakekatnya bukan demikian. Idul Fitri harusnya diisi dengan kesederhanaan, bukan pernak pernik serba baru yang selama ini kita asumsikan. Dalam Islam sendiri, untuk menyambut hari raya Idul Fitri, kita tidak harus mengenakan pakaian baru, tetapi pakaian terbaik yang dimiliki.

Kenakanlah pekaian terbaik yang sudah ada sebelumnya, tidak harus baru apalagi mewah. Jika anak merengek dan istri ngambek, berikan saja pemahaman yang benar dengan beberapa pertimbangan. Jadi, uang yang sudah terencana sebelumnya, bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain suatu saat nanti.

Memang sepertinya kurang afdol, tapi cobalah untuk membiasakan diri, agar ujungnya berakhir terbiasa. Daripada memaksakan gengsi, tapi seusai lebaran dompet menjadi binasa. Lebih baik lakukan hal positif, karena semua itu pasti bisa.

Seperti yang kita tahu, pandemi Covid-19 masih menjadi momok menakutkan bagi sebagian masyarakat. Menghindari kerumunan serta mengatur interaksi tentu menjadi hal yang paling utama. Namun, sepertinya pakaian baru saat hari raya jauh lebih penting daripada keselamatan diri sendiri.

Rutinitas berbelanja tetap bergulir seperti sedia kala seperti tidak terjadi apa-apa. Memang, bedanya masyarakat sekarang berbelanja harus mengenakan masker untuk memperkecil tertularnya virus. Ditambah dengan wastafel dadakan, serta pihak keamanan yang juga merangkap sebagai petugas pengecek suhu tubuh pengunjung, yang biasanya hampir ada di semua pintu masuk gedung perbelanjaan. Sebagai upaya pencegahan.

Protokoler kesehatan sepertinya hanya seolah menjadi formalitas saja, harusnya ada edukasi lebih dari pihak penanggung jawab agar masyarakat tidak salah persepsi. 

Mungkin dibenak masyarakat, Covid-19 sudah tidak ada karena pusat perbelanjaan layaknya mall sangat ramai kerumunan. Maka dari itu, masyarakat memiliki motivasi sendiri seakan beranggapan bodoamat, karena jika diamati dengan mata tertutup semuanya terlihat aman-aman saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun