Mohon tunggu...
Fidelis R. Situmorang
Fidelis R. Situmorang Mohon Tunggu... -

Tuan Ringo

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan sayang?

26 Oktober 2010   10:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:05 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semoga kita selalu dalam perlindungan Tuhan.

Hai, Pemuda yang baik. Apa kabar? Mungkin kamu terkejut menerima surat ini. Iya, ini aku, putrinya Yefta. Aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk bisa menulis surat yang sekarang ini ada di tanganmu.

Seperti yang juga kamu ketahui, hidupku tidak akan lama lagi. Semakin dekat akhir hidupku, semakin aku merasakan ketakutan dan kesedihan yang teramat sangat. Sering aku tak percaya bahwa hal ini akan terjadi kepada diriku. Setiap hari aku berharap kiranya semuanya ini hanya mimpi belaka.

Selama hampir dua bulan di pegunungan ini, sahabat-sahabatku mencoba untuk menghiburku dengan berbagai cara. Mereka bernyanyi, memainkan rebana dan menari, juga menceritakan banyak hal-hal yang lucu untuk bisa membuat aku tertawa. Tapi setiap aku melihat ke dalam mata mereka, terlihat jelas pandangan iba mereka terhadapku. Mereka berusaha untuk menyembunyikannya di balik senyum mereka. Tapi aku tetap dapat melihat dan merasakan bahwa mereka jatuh kasihan kepadaku. Ya, mungkin karena mereka sangat menyanyangiku. Sungguh suatu keberuntungan memiliki sahabat-sahabat seperti mereka.

Dari semua yang mereka lakukan untukku dan dari semua yang mereka ceritakan kepadaku, yang paling aku sukai adalah ketika mereka bercerita tentang kamu. Sungguh senang mendengar cerita tentang kamu dan segala hal tentang dirimu. Sering aku meminta mereka untuk menceritakannya kembali. Ada suatu perasaan yang sangat aneh tapi begitu menyenangkan kalau aku mendengar cerita tentang kamu.

Aku teringat kembali ketika pertama kali aku bertemu kamu. Kamu begitu sopan, dengan tatapan mata yang lembut dan senyum yang sangat ramah. Aku sungguh menyukainya. Itu semua membuat aku sering berharap supaya setiap hari bisa bertemu denganmu. Apakah waktu itu kamu juga memiliki perasaan yang sama seperti apa yang aku rasakan?

Dan ketika salah seorang temanku menyampaikan salam darimu untukku, Sungguh aku merasakan suatu kesenangan yang luar biasa, sesuatu perasaan dan gairah aneh yang tidak pernah kurasakan namun sungguh sangat menyukakan hatiku.

Kamu tahu? Sejak saat itu, aku mulai sering berhayal seandainya engkau adalah kekasihku. Sungguh sangat menyenangkan menjadi kekasih dari seorang yang baik dan tampan seperti kamu. Setiap pulang berlatih rebana aku memilih jalan pulang yang melewati muka rumahmu, walaupun sebenarnya itu lebih jauh untuk sampai ke rumahku. Atau aku pura-pura tertinggal sesuatu di tempat latihan, supaya bisa sekali lagi melewati rumahmu. berharap bisa melihat kamu dan mendengar suaramu memanggil namaku.

Entah kenapa aku menceritakan semua ini kepadamu. Mungkin karena hidupku tidak akan lama lagi. Rasanya ingin memiliki seorang kekasih sebelum hidupku ini berakhir. Walaupun aku nantinya akan dikenang sebagai gadis yang tidak pernah "kenal" laki-laki.

Oh, ya... Boleh aku memanggilmu dengan sebutan Sayang? Boleh ya...

Sayang,

Akhir dari kehidupan adalah misteri bagi setiap orang. Kita tidak tahu kapan dan bagaimana hidupnya akan berakhir. Tapi itu tidak berlaku bagiku. Aku tahu kapan hidupku akan berakhir, dan bagaimana hidupku akan berakhir. Bagiku ini terasa sangat menyedihkan sekaligus menakutkan. Aku tidak tahu harus mengatakan apa tentang hal ini. Aku juga tak tahu apakah aku harus membenci ayahku yang menyebabkan aku harus mengalami hal ini, padahal aku sangat menyanyanginya. Atau mungkin Tuhan sangat menyanyangiku hingga ia ingin aku segera tinggal di dalam rumahnya. Tapi yang jelas aku sangat takut menghadapi ini semua. Jantungku sering berdebar kencang dan perutku sering terasa mual karenanya.

Sayang,

Berdoalah untukku supaya aku diberi kekuatan untuk menghadapi ini semua. Sungguh akhir-akhir ini aku ingin kamu ada di sini untuk menemaniku. Menemaniku sebagai seorang kekasih yang memberikan pelukan perlindungan yang hangat ketika rasa takut itu datang, agar aku bisa membenamkan wajahku di dadamu sampai aku dapat tertidur dengan tenang.

Sayang,

Bukankah Allah yang memiliki hidup? Jika sekiranya Ia mengijinkan aku hidup lebih lama lagi, aku ingin hanya dirimulah yang menemaniku di seluruh masa hidupku. Tapi jika tidak, aku ingin wajahmu ada dekat di mataku supaya aku bisa membawa gambar wajahmu saat memasuki rumah Tuhan.

Sudah dulu ya, sayang. Aku bersyukur mampu menuliskan surat ini kepadamu. Sungguh suatu anugerah kalau aku ternyata bisa merasakan jatuh cinta kepadamu di saat seperti ini.

NB : Aku titip ayah ya... Anggaplah dia sebagai orang tuamu sendiri.

Catatan :

* Yefta adalah orang Gilead yang memerintah sebagai hakim atas orang Israel. Ketika Menjadi Panglima perang, ia bernazar kepada Tuhan, jika ia memenangkan peperangan melawan Bani Amon, maka apa yang keluar dari pintu rumahnya ketika ia pulang berperang akan diserahkan kepada Tuhan sebagai korban bakaran.

** Ketika Yefta pulang ke rumahnya, putri tunggalnyanya keluar menyambut dia dengan memukul rebana dan tarian. (Hakim-Hakim 11 : 34)

*** Yefta melakukan apa yang dinazarkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun