Mohon tunggu...
Fitka Sari
Fitka Sari Mohon Tunggu... Lainnya - Perangkai Kata

Marriage isn't even on my list!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mata Batin yang Akhirnya Sirna

14 Mei 2023   22:35 Diperbarui: 15 Mei 2023   15:01 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Anda ada di Tekkomdik dua bulan lalu kan?"

Wanita kerkerudung pink muda itu menyapaku, saat kami tak sengaja duduk berdampingan dalam Bimtek Dikpora hari ini.

Aku menatap wajahnya yang tak bermasker. Dia cantik alami meski tanpa lipstik menghiasi bibirnya. Mati-matian aku berusaha mencari clue, tapi wajah itu tak pernah kuingat.

"Yang kemarin pelatihan bikin robot,"dia menambahkan saat melihatku masih termangu.

"Oh, iya benar. Apakah kita sekelompok?," aku bertanya konyol.

"Tidak."

"Apakah kita saling menyapa kala itu? Maaf, aku orangnya pelupa," ku ulurkan tangan mengajak kembali berkenalan.

"Kita belum pernah mengbrol dan belum pernah berkenalan, hanya sekali lihat aku akan ingat."

Edyan. Skill macam apa pula ini. bahkan cuma sekali lihat dan tidak pernah ngobrol bisa ingat.

Aku membandingkan dengan diriku, yang berkali-kali berusaha mengingat nama-nama murid dalam sekelas yang selalu kutemui dalam setahun dan selalu saja terbolak-balik.

Mendadak ingatanku kembali ke zaman SMP. Saat itu ada lomba MIPA di Kabupaten. Berhubung dalam satu sekolah aku termasuk siswa yang rata-rata nilai MIPAnya (MAtematika dan IPA), maka aku salah satu yang dikirim ke sekolah lain untuk mengikuti lomba itu.

Saat itu pertama kalinya aku naik mobil. Jalanan masih sepi, traffic light tidak sebanyak sekarang. Yogja kala itu masih benar-benar asri. 

Tiba di sekolah yang dituju untuk berlangsungnya lomba MIPA, aku diantar guruku memasuki ruang lomba. Di saat itu pula, untuk pertama kalinya aku bertemu teman-teman dari sekolah lain. Kami mengobrol dan hanya itu yang bisa kami lakukan. Tidak mungkin bertukar nomor HP, apalagi akun Tiktok, karena HP pun hanya beberapa guru yang punya. Facebook bahkan belum ditemukan apalagi Tiktok.

Sampai di rumah, aku mengingat semua wajah anak-anak yang lomba dalam ruangan. Bahkan saat aku akan tertidur, wajah mereka terlihat berjejer-jejer di kepalaku. Aku jengah!

Aku berharap aku bisa melupakan wajah-wajah baru yang asing yang aku temui. Aku membayangkan hal-hal lain, rencana-rencanaku dan cowok yang aku sukai. Dan itu berhasil.

Sebelum kutahu kalau akhirnya, 20 tahun kemudian, aku adalah seorang guru dimana skill mengingat wajah dan nama adalah skill dasar yang harus dimiliki dan diasah.

"Kok melamun?"

Perempuan berjilbab pink itu menepuk tanganku.

Aku terperangah. Skill yang kuanggap mata batin itu ternyata bisa hilang jika tidak diasah. Dadaku tiba-tiba dipenuhi keirian yang membuncah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun