Mendadak ingatanku kembali ke zaman SMP. Saat itu ada lomba MIPA di Kabupaten. Berhubung dalam satu sekolah aku termasuk siswa yang rata-rata nilai MIPAnya (MAtematika dan IPA), maka aku salah satu yang dikirim ke sekolah lain untuk mengikuti lomba itu.
Saat itu pertama kalinya aku naik mobil. Jalanan masih sepi, traffic light tidak sebanyak sekarang. Yogja kala itu masih benar-benar asri.Â
Tiba di sekolah yang dituju untuk berlangsungnya lomba MIPA, aku diantar guruku memasuki ruang lomba. Di saat itu pula, untuk pertama kalinya aku bertemu teman-teman dari sekolah lain. Kami mengobrol dan hanya itu yang bisa kami lakukan. Tidak mungkin bertukar nomor HP, apalagi akun Tiktok, karena HP pun hanya beberapa guru yang punya. Facebook bahkan belum ditemukan apalagi Tiktok.
Sampai di rumah, aku mengingat semua wajah anak-anak yang lomba dalam ruangan. Bahkan saat aku akan tertidur, wajah mereka terlihat berjejer-jejer di kepalaku. Aku jengah!
Aku berharap aku bisa melupakan wajah-wajah baru yang asing yang aku temui. Aku membayangkan hal-hal lain, rencana-rencanaku dan cowok yang aku sukai. Dan itu berhasil.
Sebelum kutahu kalau akhirnya, 20 tahun kemudian, aku adalah seorang guru dimana skill mengingat wajah dan nama adalah skill dasar yang harus dimiliki dan diasah.
"Kok melamun?"
Perempuan berjilbab pink itu menepuk tanganku.
Aku terperangah. Skill yang kuanggap mata batin itu ternyata bisa hilang jika tidak diasah. Dadaku tiba-tiba dipenuhi keirian yang membuncah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H