Manusia sebagai sebaik-baik makhluk yang Tuhan ciptakan memiliki ketidaksempurnaan yang membersamainya. Setiap manusia memiliki keterbatasan yang menjadi keunikan antar satu manusia dengan manusia lainnya, baik secara fisik, akademik, sosial, maupun ekonomi. Hal ini bisa dialami oleh siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak. Namun terkadang, keterbatasan yang sejatinya dimiliki oleh setiap individu dianggap sebagai sesuatu yang menjadikan seseorang merasa lebih tinggi dari orang lainnya. Hal ini menjadi permasalahan terutama dalam lingkup sosial, di mana nantinya dapat menjadikan seseorang merasa boleh untuk menjatuhkan orang lain, meremehkan orang lain, dan mencemooh orang lain hanya karena keterbatasan yang orang lain miliki.
Membicarakan keterbatasan tidak luput dari pembahasan mengenai penyandang disabilitas. Dalam Al-Quran, Islam memandang setara antara penyandang disabilitas dengan yang bukan. Mereka harus diperlakukan secara sama, diterima secara tulus, diajak dalam segala kegiatan sosial tanpa diskriminasi. Sebagai mana firman Allah yang artinya:
“Tidak ada halangan bagi tunanetra, tunadaksa, orang sakit, dan kalian semua untuk makan bersama dari rumah kalian, rumah bapak kalian atau rumah ibu kalian …” (QS. An-Nur: 61)
Dalam hadist riwayat Abu Daud disebutkan bahwa dibalik ujian keterbatasan secara fisik, terdapat derajat yang mulia di sisi Allah.
“Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh seseorang niscaya punya suatu derajat di sisi Allah yang tidak akan dicapainya dengan amal, sampai ia diuji dengan cobaan di badannya, lalu dengan ujian itu ia mencapai derajat tersebut’” (HR. Abu Daud)
Terdapat beberapa jenis ketunaan yang dapat dialami oleh anak berkebutuhan khusus, di antaranya ialah tunarungu, di mana seseorang memiliki ketunaan pada pendengarannya. Hal ini terjadi dikarenakan adanya impairment pada telinganya, sehingga menyebabkan disabilitas atau konsekuensi fungsional dari impairment tersebut, berupa tidak berfungsi secara maksimal pada indra pendengarannya. Orang-orang dengan disabilitas pada pendengaran menyebutkan bahwa mereka lebih suka disapa dengan panggilan Tuli dibanding tunarungu.
Berdasarkan tingkat kemampuan pendengarannya, Winarsih (2007) mengelompokkan tunarungu ke dalam beberapa kategori, yakni:
- Kelompok I. Kehilangan 15-30 dB, setara dengan suara bisikan, termasuk ketunarunguan ringan (mild hearing losses) yang masih menangkap suara obrolan.
- Kelompok II. Kehilangan 31-60 dB, setara dengan suara percakapan di ruang publik, termasuk ketunarunguan sedang (moderate hearing losses) yang daya tangkap terhadap suara obrolan hanya sebagian.
- Kelompok III. Kehilangan 61-90 dB, setara dengan suara mesin cuci/knalpot motor, termasuk ketunarunguan berat (severe hearing losses) yang tidak menangkap suara obrolan.
- Kelompok IV. Kehilangan 91-120 dB, setara dengan suara petir/sirine ambulan, termasuk ketunarunguan yang sangat berat (profound hearing losses) yang tidak dapat menangkap suara obrolan.
- Kelompok V. Kehilangan lebih dari 120 dB, setara dengan suara mesin pesawat lepas landas, termasuk ketunarunguan total (total hearing losses) yang tidak dapat menangkap suara obrolan.
Di sini, penulis ingin sedikit membagikan pengalaman atau hasil dari mini riset yang penulis lakukan terkait persepsi masyarakat tentang tunarungu. Dalam mini riset yang dilakukan, kami menggali persepsi masyarakat terkait tiga hal tentang tunarungu, yakni terkait: definisi tunarungu, interaksi dengan tunarungu, dan pendidikan tunarungu.
- Persepsi Masyarakat terhadap Definisi Tunarungu
Dari hasil wawancara, terlihat responden telah mengenal tunarungu sebagai disabilitas atau ketidakmampuan dalam mendengar, yang biasa disebut juga dengan Tuli. Ada juga yang berpendapat bahwa tunarungu merupakan kecacatan pada pendengaran. Namun, untuk memahami tingkatan tunarungu, responden belum cukup mengetahui secara detail. Meskipun begitu, ada responden yang menjelaskan bahwa alasan seseorang memiliki tingkatan yang berbeda pada tunarungu ialah karena tergantung dari penyebabnya. Menurutnya, tunarungu dapat dialami oleh seseorang melalui faktor keturunan atau pun faktor kecelakaan, sehingga itulah yang menjadi penyebab adanya perbedaan tingkatan pada tunarungu.
Saat ditanyakan mengenai ciri fisik, mereka berpendapat bahwa orang yang mengalami tunarungu tidak terlihat memiliki ciri fisik tertentu yang menunjukkan bahwa mereka tunarungu. Karena itu, responden sulit mengenali orang tunarungu ketika sedang berada di keramaian. Namun, mereka dapat mengenali tunarungu dari caranya berkomunikasi dengan orang lain seperti cenderung memerhatikan gerak mulut lawan bicaranya dan memiringkan kepala ketika mendengarkan, juga dari komunikasi ketika menggunakan bahasa isyarat.
- Persepsi Masyarakat terhadap Cara Berinteraksi dengan Tunarungu
Ketika ditanyakan mengenai bagaimana perasaan mereka ketika bertemu tunarungu, mereka merasa sedih, kasihan, dan empati. Terlebih mereka juga kesulitan untuk mengajak bicara karena belum memahami bahasa isyarat. Jadi, cara mereka berinteraksi dengan tunarungu biasanya dengan suara yang lebih kencang atau menggunakan gerakan tangan yang dapat dipahami oleh tunarungu meskipun bukan dengan bahasa isyarat yang benar. Mereka juga dapat berkomunikasi seperti biasa dengan tunarungu yang menggunakan alat bantu dengar. Mengenai alat bantu dengar, responden merasa bahwa alat tersebut dapat sangat membantu kegiatan keseharian terutama bagi yang sudah bekerja.
- Persepsi Masyarakat terhadap Pendidikan Tunarungu
Bagaimana persepsi masyarakat mengenai pendidikan tunarungu? Pendidikan seperti apa yang cocok untuk tunarungu? Hal ini menghasilkan berbagai pendapat. Beberapa responden menjawab bahwa mereka lebih cocok untuk mengejar pendidikan di sekolah khusus seperti Sekolah Luar Biasa, beberapa responden menjawab bahwa anak tunarungu lebih cocok dengan sekolah inklusi agar dapat bersosialisasi dengan teman-teman non disabilitas. Terdapat responden yang menjawab bahwa anak tunarungu cocok menggunakan media belajar yang konkret, yang dapat mereka sentuh, dengan begitu tujuannya ialah memaksimalkan indra lainnya yang masih berfungsi dengan baik. Anak tunarungu juga dapat belajar dengan media seperti video, gambar, dan mic.
Kesimpulan dari hasil mini riset yang penulis lakukan ialah, mayoritas masyarakat sudah mengetahui tentang tunarungu meski dengan cara mendeskripsikan yang berbeda-beda. Mereka memahami tunarungu sebagai disabilitas pada pendengaran, meskipun belum secara detail mengetahui tentang tingkatan tunarungu. Mereka juga mengetahui bahwa interaksi dengan tunarungu dapat dilakukan dengan bahasa isyarat dan alat bantu dengar bagi tunarungu. Terkait pendidikan, terdapat berbagai persepsi di antaranya ada yang setuju mereka mengejar pendidikan di sekolah khusus dan ada juga yang lebih setuju mereka mengejar pendidikan di sekolah inklusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H