Wilayah tempat saya bertugas merupakan salah satu langganan banjir, dan salah satu yang sering memunculkan kecemasan warga di bantaran sungai adalah musim penghujan yang terkadang memicu jebolnya salah satu waduk besar di tempat kami.
Namun kondisi sedikit berbeda terjadi pada banjir besar yang terakhir kali melanda, pasalnya media massa justru menjadi sumber kecemasan baru bagi warga.
Saat media mainstream terkendala akses ke lokasi bencana, citizen journalism hadir menjadi pilihan utama informasi. Hingga warga justru lebih antusias dan sigap melaporkan kondisi terkini bencana di sejumlah grup facebook lokal yang anggotanya mencapai ratusan ribu pengguna.
Kecemasan mulai muncul saat berita seputar bencana dibagikan dengan pilihan kata yang penuh dramatisasi, semisal waduk jebol. Â Padahal kenyataannya air waduk hanya melimpas saja.
Warga yang cemas pun lantas bergegas mengungsi hingga kadang saking gugupnya, barang-barang berharga pun tertinggal bahkan dicuri maling yang sejak awal memanfaatkan keadaan.
Kecemasan serta keprihatinan berikutnya bertambah manakala ada wartawan media mainstream yang enggan turun ke lokasi bencana lantas memanfaatkan postingan di media massa sebagai sumber berita secara sepihak tanpa ada verifikasi fakta dulu. Mereka mengejar aktualitas media online yang juga dikelola oleh perusahaan tempat mereka bekerja namun abai pada akurasi berita.
Potret seperti ini saya pikir tak hanya terjadi di tempat kami, di lokasi bencana lain pun tampaknya kecenderungannya seperti itu. Dan Siaran Pers No. 317/HM/KOMINFO/12/2018 pada Rabu, 19 Desember 2018 Tentang 10 Konten Hoaks Paling Berdampak di Tahun 2018 memperkuat asumsi itu.
Salah satu hoaks yang jadi sumber kecemasan di 2018 adalah beredarnya broadcast konten melalui Aplikasi Whatsapp tentang gempa susulan di Palu yang kemudian juga disebarluaskan ke media sosial.
Berita itu tentu saja berdampak langsung kepada korban gempa dan tsunami yang masih mengalami trauma.
Dalam pesan berantai itu disebutkan bahwa Palu siaga 1. Informasi tersebut bersumber dari seseorang yang bekerja di BMKG ketika selesai memeriksa alat pendeteksi gempa. Pesan itu menyebutkan bahwa akan terjadi gempa susulan berkekuatan 8,1 SR dan berpotensi mengakibatkan tsunami besar. Padahal faktanya tidak ada satu pun negara di dunia dan iptek yang mampu memprediksi gempa secara pasti.
Informasi kini mengalir bak air bah. Banjir. Luber, melebihi kemampuan kita untuk menyerapnya. Semua informasi itu bahkan kini masuk ke ruang-ruang personal kita di layar smartphone, menyusup dalam pesan berantai di Whatsapp, Telegram, maupun Line.