Evaluasi secara rutin dan sistematis pun perlu dilakukan terhadap efektivitas program-program yang dimaksudkan sebagai implementasi branding tersebut. Tanpa kejelasan indikator keberhasilan dari kebijakan komunikasi, city branding tersebut sulit untuk menjawab apakah kebijakan tersebut berhasil atau gagal, perlu dilanjutkan atau dihentikan.
Itulah mengapa penentuan city branding tidak boleh dilakukan secara serampangan apalagi hanya sekadar latah atau ikut-ikutan. Pakar Pemasaran dan konsultan merek, AM Adhi Trisnanto menegaskan bahwa city branding harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, slogan kota hendaknya bisa menjual potensi dari daerah tersebut. Kalau tidak, maka merek itu akan menjadi kata-kata kosong yang tidak memiliki makna.
Tak ada salahnya kita berkaca dari kota-kota yang mungkin oleh kita sudah masuk kategori "mendunia". New York, Paris, Seoul, dan Singapura, selain letaknya yang memang berada di negara maju, masalah seperti sampah dan sanitasi sudah bukan lagi isu mereka, tidak ada persoalan mati lampu, jalan berlubang, macet atau sulitnya memperoleh air bersih di kota mereka. Mereka sudah selesai dengan masalah infrastruktur dasar dan hal-hal yang masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) di negeri ini.
Keinginan membangun agar dilihat sebagai daerah yang sukses bukanlah hal yang buruk selama pembangunan tersebut dibarengi dengan azas kebutuhan dan azas manfaat.
Membuat citra kota yang menarik dan booming sah-sah saja tapi sepatutnya juga diimbangi dengan pembangunan infrastruktur dasar yang dibutuhkan masyarakat.
City branding pun perlu mengkaji karakteristik dan budaya daerah setempat sehingga warga bisa ikut terlibat, karena sejatinya masyarakat bukanlah sekadar objek atau bagian dari eksperimen pembangunan. Mereka merupakan pemangku kepentingan yang memiliki hak dan peran penting dalam pembangunan yang partisipatif. Jika melibatkan masyarakat, berorientasi pada kebutuhan, maka hal-hal baru seperti city branding ini akan mudah diterima dan dipahami maksud dan tujuannya.
Membangun kota selayaknya juga membangun manusia. Karena peradaban bukan hanya soal gedung dan tampilan fisik infrastruktur, tapi juga makhluk yang hidup di dalamnya. Kota seharusnya menjadi ruang yang humanis di tiap sudut dan lekuknya. Tak ada salahnya mengadopsi program yang bagus dan berhasil dari kota-kota lain, namun hendaknya aspirasi dan pendapat masyarakatnya juga diperhatikan, karena mereka lah yang tinggal dan hidup di dalamnya, bukan para pengunjung atau masyarakat dari daerah lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H