Kendati begitu, fenomena city branding rupanya masih banyak mendapat kritikan akademisi dan para praktisi. Mereka menganggap banyak kota yang kemudian terjebak dalam konteks pariwisata. Sehingga, seolah-olah city branding itu undangan tamasya.
Padahal, bukan hanya pariwisata yang bisa ''dijual'' daerah. Contohnya, Selandia Baru. Mereka membangun citra negaranya dengan produk susu segar dan agrobisnisnya. Strategi itu rupanya dapat mengundang investor untuk berinvestasi ke bisnis pengolahan susu, peternakan sapi, serta perkebunan apel dan kiwi.
Cara pandang yang seperti inilah yang perlu terus dikembangkan saat menggagas sebuah city branding. Supaya ragam city branding kota-kota di Indonesia tidak terjebak dalam perspektif yang sama. Sekadar menginventarisasi aset kuno, kekayaan alam, varian kuliner, koleksi hotel dan mal, lalu sudah merasa cukup untuk promosi dengan label city branding. Bila ini yang terjadi, maka apapun city branding ataupun country branding yang dimiliki Indonesia, tidak akan pernah kompetitif ketika bersanding dengan negara lain.
Yang perlu ditekankan, city branding bukanlah untuk menggantikan strategi pembangunan di suatu daerah. Keberadaannya merupakan pelengkap. Namun demikian, city branding itu seperti suatu brand promise. Ia merupakan sebuah janji yang harus ditepati. Maka dari itu, city branding suatu daerah harus menjadi mimpi bersama seluruh masyarakat yang tinggal di sana.
Dan untuk mencapai hal ini memang butuh upaya ekstra. Sederhananya demikian, ada suatu daerah yang mengklaim kotanya bersih. Tapi baru sebentar berkeliling, pengunjung justru dengan mudahnya mendapati tumpukan sampah di pinggiran jalan.
Kota, pada dasarnya adalah komunitas yang tertata, baik secara psikis, fisik, ataupun juga interaksi sosialnya. Kota merupakan tempat tumbuh kembangnya peradaban. Di dalam sebuah kota, nilai-nilai dibangun dalam sejarah yang panjang. Maka dari itu, city branding mustinya tidak bisa instan. Brand value yang dibawa harus lahir dari nilai yang mengakar di masyarakat tersebut sehingga strategi branding bisa sejalan dengan kehidupan warganya.
Warga pelu terlibat dan senang berada di dalamnya. Karena itu, sejak awal warganya perlu ikut memetakan skala prioritas potensi wilayahnya. Potensi yang paling menonjol lah yang akan menjadi titik tolak bagi tahapan city branding berikutnya. Sejauh ini, pemerintah daerah seolah sendirian merancang semuanya, dan warga terkadang kaget dengan perubahan kota yang tiba-tiba. Dampaknya, banyak kebijakan pemerintah daerah yang justru jadi pemicu masalah baru di masyarakat.
Banyak daerah yang tahun ini dan tahun depan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Semestinya masa kampanye dan masa penyusunan RPJMD menjadi saat yang krusial dalam menetapkan ataupun mengevaluasi city branding masing-masing daerah. City Branding memang sepatutnya juga diprogramkan dalam RPJMD, kemudian setelah itu didukung juga dengan peraturan gubernur/bupati/wali kota, sehingga nantinya strategi promosi city branding ini dapat terencana dengan baik, terkoordinasi, dan konsisten.
Jangan sampai puas dengan logo dan tagline saja tanpa upaya eksplorasi makna lebih jauh yang kemudian diterapkan dalam perilaku serta karakter kota dan warganya. Dan yang lebih penting, harus ada lembaga yang ditunjuk untuk mengawal brand yang diterapkan.
Keberadaan logo dan slogan itu tidak boleh hanya sekedar dipakai di kaos-kaos suvenir atau di stiker-stiker saja tetapi maknanya juga harus tercermin dari aktivitas masyarakat.
Dan yang lebih penting lagi, pendekatan branding yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga harus lebih berorientasi pada pasar (wisatawan atau investor). Sejauh ini, penyelenggaraan event budaya di di banyak daerah masih bersifat pelestarian atau ekspresi seni kalangan tertentu tanpa mempertimbangkan keberadaan pengunjung/turis.