Menurut Philip Kotler (2008:383), citra merupakan seperangkat keyakinan, ide-ide dan kesan seseorang terhadap suatu objek.
Semua orang yang punya interaksi dengan publik butuh sebuah pencitraan positif akan dirinya. Begitu juga dengan sebuah perusahaan, mereka berlomba mencitrakan produk mereka sebagai yang terbaik guna mendapatkan keuntungan penjualan yang setinggi-tingginya.
Dalam sekup yang lebih besar, sebuah bangsa pun butuh pencitraan yang baik di mata bangsa-bangsa lain di dunia. Demikian pentingnya sebuah citra dalam mengkomunikasikan kepentingan bangsa, Presiden Jokowi sampai beberapa kali menggelar rapat terbatas guna merumuskan citra bangsa Indonesia, yang rencananya akan dipakai Indonesia saat menjadi tuan rumah ASIAN Games 2018 mendatang.
Tak tanggung-tanggung, Kantor Staf Presiden bekerjasama dengan Kementerian Perdagangan pun langsung melakukan riset guna mewujudkan harapan presiden tersebut.
Tak dapat dipungkiri event olahraga seperti ASIAN Games memang amat efektif membangkitkan nasionalisme warga negara. Ini adalah sesuatu hal yang wajar mengingat olahraga juga turut menyumbang citra suatu bangsa.
Hal itu bisa dilihat dari salah satu kriteria penyusunan peringkat nation brand yang digunakan oleh Anholt-GFK Roper Nation Brand Index 2016 dimana olahraga dimasukkan dalam kategori penilaian budaya kontemporer.
Merujuk Anholt-GFK Roper Nation Brand Index 2016, ranking Indonesia berada di posisi ke-40 dari 50 negara, jauh di bawah Tiongkok (24), Singapura (25), India (30), dan Thailand (31).
Peringkat Indonesia memang terendah di antara pesaing utama, dengan titik lemah ada pada unsur manusia (ramah, tapi skornya tidak tinggi untuk masalah tenaga kerja) dan budaya (skornya baik untuk warisan budaya tapi lemah dalam olahraga/budaya kontemporer).
Sementara itu, data The Good Country Index 2016 malah semakin menempatkan Indonesia pada posisi terpuruk di peringkatke-77 dari 163 negara dengan lima teratas diduduki Swedia, Denmark, Belanda, Inggris Raya, dan Swiss. Hal ini diduga karena jumlah wisatawan yang masuk ke Indonesia yang mencapai 10 juta orang, masing kalah jauh dibanding Singapura (15 juta), Malaysia (26 juta), dan Thailand (30 juta).
Ketika pilihan presiden adalah menyusun sebuah citra bangsa (baca : nation brand) untuk ASIAN Games 2018, maka hal itu tak keliru. Perhitungan di atas kertas, dengan hadirnya para atlet dari seluruh Benua Asia, akan memudahkan pemerintah dalam mengenalkan nation brand kita.
Citra bangsa akan berfungsi seperti merek dagang yang memiliki unsur khas yang membedakannya dengan negara lain. Bahasa marketingnya, ada deferensiasi produk yang ditawarkan.
Nah, unsur pembeda inilah yang diharapkan melekat terus di benak para atlet dan wisatawan, sehingga mereka akan terus mengingat Indonesia karena nation brand yang diciptakan.
Di Eropa atau Amerika Serikat, orang-orang justru lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia. Bahkan, yang lebih "nggeregetin", mereka ternyata lebih tahu tentang Malaysia tetapi tidak kenal dengan Indonesia --negara yang jauh lebih besar ketimbang negeri jiran tersebut.
Tapi apa daya, Malaysia lebih dulu sadar akan pentingnya pencitraan atau branding. Malaysia ke mana-mana selalu mengklaim negaranya sebagai Truly Asia. Cukup ke Malaysia saja, Anda sudah bisa lihat semua.
Jadi kini persaingan terjadi bukan hanya antarpebisnis, tapi juga antar penyelenggara negara. Setiap negara berlomba-lomba ingin lebih dikenal, dan lebih disukai investor, lebih mampu menyediakan lapangan kerja yang berkualitas, dan lebih ramai transaksi perdagangannya. Itu semua akan membuat uang yang datang dan beredar di negara tersebut menjadi lebih banyak. Dalam konteks inilah nation brand menjadi penting.
Berbicara tentang taktik mengenalkan potensi bangsa kepada dunia luar, tidaklah bijak jika kita hanya fokus pada prestasi olahraga dan event-nya saja, namun perlu disadari bahwa pada akhirnya nation brand tetaplah akan menjadi sekedar kosmetik saja. Sifatnya cuma semu alias palsu.
Padahal tren ke depan, ketika penghuni bumi ini satu-sama-lain makin saling terkoneksi, tak ada lagi tempat untuk menyembunyikan yang palsu. Takkan ada pencitraan dan kebohongan yang sulit ketahuan, sebab semua informasi kini bisa ditelusuri.
Semua klaim sepihak bisa diperiksa ulang. Semua data rekayasa bisa diteliti dan dibandingkan. Dan segala kepalsuan akan mudah terbantahkan. Semakin kita sibuk menutupi kepalsuan dengan pencitraan baru, semakin berkurang pula, kepercayaan dunia kepada Indonesia.
Jika kita kurang yakin, mungkin Buku Anholt tentang nation branding yang berjudul "Competitive Identity: The New Brand Management for Nations, Cities and Regions" bisa menjadi jawabannya.
Dari hasil kajian nation branding di berbagai negara, Anholt menyimpulkan adanya mis-informasi sekaligus miskonsepsi. Banyak penyelenggara pemerintahan mengira, ukuran tertinggi pencitraan negara mereka adalah menjadi the best secara nation brand. Sehingga yang kemudian dilakukan adalah beramai-ramai untuk menutupi kekurangan dan keburukan masing-masing, sementara substansi masalahnya, tak sungguh-sungguh ditangani.
Selama beberapa tahun Anholt menyusun peringkat Country Branding Index, ia memakai MARSS Model. MARSS adalah singkatan dari Morality, Aesthetics, Relevance, Sophisticationserta Strength. Kesemua itu sering disebut sebagai "the five drivers of national reputation".
Nah, dari beberapa kali penelitiannya, pada akhirnya Anholt menyimpulkan, bahwa dari lima aspek penentu reputasi suatu negara, yang dianggap paling berpengaruh secara signifikan, adalah moralitas.
Anholt lalu merunut lagi, lalu mencoba mengkritisi tentang alasan mendasar apa, yang membuat turis lebih suka negara tertentu, dan tidak dengan negara lain. Dan juga mengapa pemodal memfavoritkan untuk berinvestasi di negara tertentu, tapi tidak di negara yang lain?
Dengan logika yang diubah menjadi seperti itu, ternyata survey pun menghasilkan kesimpulan berbeda. Rupanya yang membuat turis berwisata ke suatu tempat, bukanlah karena negara yang dituju kaya raya. Bukan juga karena pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Atau karena teknologinya yang canggih dan modern. Juga bukan karena kehebatan pengaruh politiknya secara global.
Justru ini temuan surveynya : semakin terbuka sikap politik kenegaraan suatu negara, maka negara lain akan semakin respect, dan suka berbisnis dengan negara tersebut. Dampaknya, negara bersangkutan menjadi lebih kompetitif, makin disegani, dikagumi, dan diidamkan para turis maupun investor.
Kita agak mundur ke belakang, hasil peringkat Good Country Index 2014-2015 ini bisa jadi merupakan gambaran akan hal itu. Kenya, yang merupakan negara miskin secara ekonomi, justru ada di ranking istimewa: posisi ke-29. Tetangga sekitarnya pun peringkatnya lumayan: Namimbia (ada di posisi 46), Uganda (59), Tanzania (63), dan Botswana (64). Bandingkan, misalnya terhadap peringkat Negara-negara petro dollar, yang justru peringkatnya terpuruk seperti misalnya Uni Emirat Arab (urutan 87), lalu Saudi (92), Kuwait (93), dan juga Qatar (110).
Sementara itu, Amerika yang dulu dikenal super power hanya ada di urutan 21, lalu India di urutan 81, Rusia 95, sementara Tiongkok 107.
Peringkat ini makin memperkuat kesimpulan, bahwa negara yang mapan, maju, dengan reputasi pencitraan yang top, dan secara ekonomi mencatatkan pertumbuhan ekonomi luarbiasa, tidak otomatis menjadi good country.
Anholt lalu sampai pada kesimpulan bahwa alasan kita menyukai suatu negara dibanding lainnya adalah karena that countries are good.
Pencapaian good country lingkupnya harus strategis. Dilakukan terencana, tertata, dan berwawasan ke depan. Maka, tak seperti nation brand, upaya mencapai good country bukan dilakukan sekadar demi pencitraan Pemerintah. Good country juga tak mungkin dilakukan dengan tergesa-gesa, parsial, dan sektoral. Good countryjuga mustahil tercapai jika hanya mengandalkan promosi, kampanye dan iklan. Karena, ini bukan soal penciptaan opini instan di media arus utama.
Karena itu menjadikan event olahraga sebagai momentum peluncuran nation brand adalah sah-sah saja sepanjang langkah menjadi good country telah lebih dulu diikhtiarkan Nation brand ibarat brand promise. Ia juga janji. Jadi, harus ditepati. Karena itu, slogan sebuah negara harus menjadi mimpi bersama seluruh warga negaranya.
Itu tidak mudah. Contoh sederhananya begini. Negara kita mengklaim diri sebagai negara yang bersih. Tetapi, sebentar saja berkeliling ibukota, turis dengan mudah menemukan timbunan sampah di berbagai sudut. Sampah itu basah dan berbau pula. Artinya, sudah berhari-hari tidak diangkat.
Nation brand juga harus memperhatikan karakteristik dan budaya bangsa serta melibatkan warganya, karena masyarakat bukan hanya sekadar objek atau bagian dari eksperimen dalam pembangunan, namun juga sebagai pemangku kepentingan yang memiliki hak dan peran penting dalam pembangunan yang partisipatif. Jika melibatkan masyarakat, berorientasi pada kebutuhan, maka gagasan nation brand ini akan mudah diterima dan dipahami maksud dan tujuannya.
Saya berharap nantinya logo dan slogan nation branding tak hanya sekedar dipakai di kaos-kaos souvenir atau di stiker-stiker ASIAN Games saja tetapi maknanya juga harus tercermin dari aktivitas dan tingkah laku masyarakat Indonesia selaku tuan rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H