Anholt lalu merunut lagi, lalu mencoba mengkritisi tentang alasan mendasar apa, yang membuat turis lebih suka negara tertentu, dan tidak dengan negara lain. Dan juga mengapa pemodal memfavoritkan untuk berinvestasi di negara tertentu, tapi tidak di negara yang lain?
Dengan logika yang diubah menjadi seperti itu, ternyata survey pun menghasilkan kesimpulan berbeda. Rupanya yang membuat turis berwisata ke suatu tempat, bukanlah karena negara yang dituju kaya raya. Bukan juga karena pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Atau karena teknologinya yang canggih dan modern. Juga bukan karena kehebatan pengaruh politiknya secara global.
Justru ini temuan surveynya : semakin terbuka sikap politik kenegaraan suatu negara, maka negara lain akan semakin respect, dan suka berbisnis dengan negara tersebut. Dampaknya, negara bersangkutan menjadi lebih kompetitif, makin disegani, dikagumi, dan diidamkan para turis maupun investor.
Kita agak mundur ke belakang, hasil peringkat Good Country Index 2014-2015 ini bisa jadi merupakan gambaran akan hal itu. Kenya, yang merupakan negara miskin secara ekonomi, justru ada di ranking istimewa: posisi ke-29. Tetangga sekitarnya pun peringkatnya lumayan: Namimbia (ada di posisi 46), Uganda (59), Tanzania (63), dan Botswana (64). Bandingkan, misalnya terhadap peringkat Negara-negara petro dollar, yang justru peringkatnya terpuruk seperti misalnya Uni Emirat Arab (urutan 87), lalu Saudi (92), Kuwait (93), dan juga Qatar (110).
Sementara itu, Amerika yang dulu dikenal super power hanya ada di urutan 21, lalu India di urutan 81, Rusia 95, sementara Tiongkok 107.
Peringkat ini makin memperkuat kesimpulan, bahwa negara yang mapan, maju, dengan reputasi pencitraan yang top, dan secara ekonomi mencatatkan pertumbuhan ekonomi luarbiasa, tidak otomatis menjadi good country.
Anholt lalu sampai pada kesimpulan bahwa alasan kita menyukai suatu negara dibanding lainnya adalah karena that countries are good.
Pencapaian good country lingkupnya harus strategis. Dilakukan terencana, tertata, dan berwawasan ke depan. Maka, tak seperti nation brand, upaya mencapai good country bukan dilakukan sekadar demi pencitraan Pemerintah. Good country juga tak mungkin dilakukan dengan tergesa-gesa, parsial, dan sektoral. Good countryjuga mustahil tercapai jika hanya mengandalkan promosi, kampanye dan iklan. Karena, ini bukan soal penciptaan opini instan di media arus utama.
Karena itu menjadikan event olahraga sebagai momentum peluncuran nation brand adalah sah-sah saja sepanjang langkah menjadi good country telah lebih dulu diikhtiarkan Nation brand ibarat brand promise. Ia juga janji. Jadi, harus ditepati. Karena itu, slogan sebuah negara harus menjadi mimpi bersama seluruh warga negaranya.
Itu tidak mudah. Contoh sederhananya begini. Negara kita mengklaim diri sebagai negara yang bersih. Tetapi, sebentar saja berkeliling ibukota, turis dengan mudah menemukan timbunan sampah di berbagai sudut. Sampah itu basah dan berbau pula. Artinya, sudah berhari-hari tidak diangkat.
Nation brand juga harus memperhatikan karakteristik dan budaya bangsa serta melibatkan warganya, karena masyarakat bukan hanya sekadar objek atau bagian dari eksperimen dalam pembangunan, namun juga sebagai pemangku kepentingan yang memiliki hak dan peran penting dalam pembangunan yang partisipatif. Jika melibatkan masyarakat, berorientasi pada kebutuhan, maka gagasan nation brand ini akan mudah diterima dan dipahami maksud dan tujuannya.