Dalam perjalanan pulang pikiranku masih bersama wanita berwajah merah muda itu. Meski ingin sekali aku bertanya tentang ayahku, namun segala kekeringan yang memenjarakan aku sekian puluh purnama, mematahkan belenggu kerinduanku pada ayah, dan tak kuizinkan mulutku memuntahkan pertanyaan yang sudah lama menggunung di kepala. Namun mataku tak mampu berbohong. Genangan deras dari setiap sudutnya tak mampu kuhindari. Genangan yang telah sekian lama kutahan.
Beberapa detik kemudian, seseorang merengkuh kepalaku, dan membenamkan didadanya yang begitu luas. Lelaki yang telah lima tahun menjadi suamiku. Lelaki lembut yang dengan sabar mampu mengubah diamku menjadi hidup, dan mengubah heningku menjadi bernyawa. Padanya aku menemukan kembali kata "bahagia" yang beberapa tahun lalu telah kubuang.
      Seminggu kemudian, lelaki terbaikku dengan balutan seragam kebesarannya mengulurkan sebuah surat kabar. Terbaca sebuah judul "Pejabat Berinisial W, Divonis 12 Tahun Penjara Karena Kasus Korupsi", berikut dengan foto sang pejabat dalam balutan baju oranye dan tangan diborgol, sedangkan wanita berwajah merah muda berjalan di sisinya dengan mengenakan kaca mata hitam yang tak mampu menutupi air matanya. Andai dia tahu, bahwa  hakim yang hendak disuapnya seminggu yang lalu itu, adalah suamiku.
Catatan:
Cerpen ini merupakan salah satu cerpen penulis, yang telah dibukukan dalam sebuah buku antologi dengan judul "Yang Terpilih" yang diterbitkan oleh KMO Institute.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H