Jika Cinta, Mengapa Ada Cobaan dan Ujian, Ada Musibah, dan Ada Kesedihan?
Jalaluddin Rumi, Sang Penyair, pernah berkata,
“Kesedihan siapkanmu tuk jelang suka cita. Dia sapu habis-habisan semua isi rumahmu, agar suka cita baru dapatkan ruang tuk masuk…”
Dalam petikan syair lain, ia mengatakan,
“Hai, sobat, tahan nyeri jarum ini. Demi usir racun dari jiwa-gelapmu.”
“Dalam tangis, datang tawa tersembunyi. Carilah harta karun di bawah reruntuhan.”[1]
Semua petikan syair di atas tak lain menyiratkan makna bahwa segala bentuk cobaan dan ujian yang kita hadapi adalah demi mendidik kita, atau menyiapkan kita menjelang suka cita. Bukankah kita juga sering mendengar kutipan No gain without pain? atau Habis gelap, terbitlah terang? atau Badai pasti berlalu, dan lain sebagainya. Maka jelaslah, cobaan dan kesedihan tiada lain hanyalah jalan untuk mempersiapkan kita meraih kebahagiaan. Saya kira sudah banyak otobiografi para tokoh Nasional maupun dunia yang menginspirasi dan membuktikan pandangan ini. Silahkan baca beberapa sejarah hidup mereka sebagai salah satu contohnya. Atau jika tidak, ingatlah para Nabi yang diuji dan diterpa dengan berbagai ujian yang berat. Namun, mereka kuat karena cinta dan ketaatannya kepada Allah.
Sebagai contohnya, kurang dizalimi apa Rasulullah Saw. pada saat ia menyebarkan Islam pertama kali? Bukankah beliau dicaci, dimaki, dilempari batu atau tahi unta, diludahi oleh pengemis yang buta, difitnah, dan lain sebagainya? Adakah kita tahan jika diperlakukan sedemikian berat seperti yang beliau alami dulu? Namun faktanya, adakah beliau menganggap Allah tak berpihak padanya? Sungguh tiada pernah. Sebagai balasannya, ia justru bersikap kepada para pencaci dan penghinanya dengan penuh kasih. Itulah mengapa beliau disebut sebagai manusia rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam.
Terkadang kita sering fokus dengan sedikit sentilan dalam kehidupan. Saya berbicara ini bukan karena tak mengalaminya. Misalnya saja, jika ada yang putus cinta, maka sekonyong-konyong dunia seolah runtuh saat itu juga. Ada yang menangis sampai berminggu-minggu dan tidak mau makan, bahkan ada yang sampai bunuh diri karenanya. Padahal sudah jelas dalam al-Qur’an, bahwa ketika manusia dibangkitkan kembali pada hari perhitungan (yaumul hisab), banyak di antara mereka memohon untuk dikembalikan ke dunia, dan niscaya mereka akan berbuat kebajikan dan menaati-Nya. Itu menandakan bahwa usia hidup kita di dunia bahkan terlalu singkat untuk dapat berbuat kebaikan. Namun, selama kita masih bernafas, adakah kita benar-benar menghargai setiap detik dari nafas kita?
Kita menganggap Tuhan tega ketika kita terjerumus ke dalam nestapa, bencana, atau jenis kesedihan lainnya. Kita terlalu fokus pada masalah sehingga kita melupakan nikmat-nikmat-Nya yang lain yang tak dapat terhitung banyaknya. Kadang kita marah ketika tidak mendapatkan sesuatu sesuai dengan yang kita harapkan, kita merasa sebal dan putus asa, lalu menenggelamkan diri kita pada kenikmatan yang semu. Kita lupa bahwa kita masih merasakan nikmat lainnya yang tak kalah beraharga, seperti nafas, penglihatan, kaki yang mampu berjalan, tubuh yang masih bergerak, hidung yang masih mampu mencium, oksigen yang masih gratis, mulut yang masih berbicara, dan lain sebagainya.
Bahkan kaum diffable pun mampu lebih banyak bersyukur dengan menyempurnakan apa yang menjadi kekurangannya. Hellen Keller, misalnya, adalah seorang yang bisu, buta, dan tak bisa mendengar sejak kecil. Namun, ia masih memiliki tangan untuk meraba dan mempelajari segala sesuatu di sekitarnya, dan ia mampu menjadi tokoh cendikia cerdas ternama dan menginspirasi banyak orang di dunia.