Mohon tunggu...
Fithri Dzakiyyah
Fithri Dzakiyyah Mohon Tunggu... -

Fithri Dzakiyyah Hafizah, aktif dalam beberapa gerakan perdamaian, di antaranya sebagai trainer resmi Peace Generation Indonesia, sekretaris di sebuah organisasi kepemudaan Indonesia, Youth Studies Institute, dan sekretaris di sebuah organisasi Islam, Gerakan Islam Cinta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apakah Allah Mencintaiku?

31 Desember 2016   18:27 Diperbarui: 31 Desember 2016   18:54 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan yang menjadi judul pada tulisan ini sebenarnya saya dapatkan dalam salah satu status seseorang di Facebook. Terdapat sebuah pertemuan khusus yang akan mengkaji sebuah tema berjudul, “Apakah Allah Mencintaiku?” 

Saya menangkap dua kesan saat pertama kali membaca judul ini. Pertama, kesan akan adanya keraguan apakah Allah mencintaiku? Kedua, kesan akan rasa ingin tahu yang bermula dari rasa ketidaktahuan apakah Allah adalah Dzat yang Maha cinta, maka ia mencintaiku?

Dalam pandangan saya, perbedaan antara kedua kesan tersebut adalah, yang pertama menggambarkan bahwa si ‘aku’ menilai dirinya sendiri, kemudian berupaya menilai seberapa kuat intensitas kedekatannya dengan Allah. Sementara kesan kedua, dalam pandangan saya, berangkat dari rasa ingin tahu yang kuat, dimana si ‘aku’ memang ingin mengetahui apakah Allah adalah Sang Maha Cinta, sehingga sudah menjadi sifat sejati-Nya untuk Mencinta.

Tak Perlu Ragu

Jika pertanyaan itu muncul dari keraguan, maka saya lebih cenderung mengatakan agar 'Jangan pernah merasa ragu akan cinta-Nya'. Allah secara Dzati adalah Dzat Yang Maha Cinta. Karena cinta lah yang menjadi alasan dunia dan manusia tercipta. Cinta-Nya menyebar ke seluruh penjuru semesta. Lihatlah bagaimana Ia merancang alam begitu sempurna untuk ditempati manusia dan mahluk lainnya. Hal demikian sudah jelas adanya, namun kita sering kurang peka. Tidakkah sudah jelas dalam lafadz Bismillahirrahmanirrahim? Berapa kali kita ucapkan lafadz itu dalam satu hari? Hitunglah berapa kali kita mengucapkannya dalam shalat, saat mau makan, saat mau bepergian, saat mau melakukan sesuatu. Kita memulai segala sesuatu yang baik dengan mengucapkan lafadz yang sama, “Bismillahirrahmanirrahim”, yang bermakna “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang.”  Namun, seberapa banyak orang Islam yang menghayati maknanya?

Memang, tidak diragukan pula bahwa kita pun dianugerahi dengan rasa takut pada-Nya. Karena Allah juga memiliki sifat Jalal (Agung), yang mana Ia pun memiliki sifat murka. Salah satu sifat inilah yang akhir-akhir ini banyak disalahartikan. Kesalahpahaman akan makna sifat murka-Nya tak jarang berimplikasi kepada gambaran Allah Yang Maha Kejam di mata masyarakat, khususnya non-Muslim. Kesalahpahaman inilah yang pada akhirnya memunculkan istilah-istilah Islamophobia, Islam Teroris, dan lain sebagainya.

Tahun lalu, saya pernah ditemui seorang ibu paruh baya di sebuah toko buku. Dengan suara yang lembut, secara tidak langsung ia mengajak saya untuk menjadi seorang Kristian, dengan memberikan beberapa selembaran berisi kebijaksanaan ayat-ayat Injil mengenai hikmah dibalik perilaku binatang, seperti semut dan lebah. Sambil tersenyum, saya menerima selembaran tersebut, dan berbincang akrab dengannya. Saya katakan padanya, bahwa al-Qur’an pun membahas kebijaksanaan yang dijelaskan dalam ayat-ayat Injil ini. Namun, tak lama setelah itu saya dikejutkan oleh pernyataannya, “Saya dulu adalah seorang Muslim, namun setiap kali saya ikut pengajian, saya dibuat takut. 

Setiap ceramah sering sekali menyampaikan tentang siksa kubur, setelah siksa kubur ada siksa neraka, setiap manusia yang banyak dosa akan membuat Allah murka. Dan saya tahu betul bahwa saya bukan orang suci, saya manusia yang banyak dosa, namun saya dibayang-bayangi rasa takut akan Allah yang murka, siksa kubur, siksa neraka. Islam membuat saya merasa tidak aman dan ketakutan, sementara usia saya sudah cukup renta.” Ujarnya. Saya terperanjat mendengar itu dan berusaha sebisa mungkin kembali bersikap tenang.

“Namun, saya diperkenalkan dengan ajaran Kristus, isinya penuh cinta dan kedamaian, Tuhan dalam Kristus Maha Cinta dan mengampuni. Dari situ saya mantap memutuskan untuk pindah agama,” lanjutnya. Saya tertegun. Usai pertemuan itu, saya sempat menceritakan pengalaman saya kepada beberapa orang terdekat. Sebagian bereaksi dengan marah dan mengatai bahwa si ibu itu “murtad”, namun sebagian menanggapinya dengan rasa sedih, menyadari bahwa berarti selama ini ada yang salah dalam menyampaikan substansi Islam yang sesungguhnya pada orang-orang awam. Nah, bagaimana dengan anda jika menanggapi pengalaman saya ini?

Sekarang, kenapa Allah harus memiliki sifat murka? Jawabannya, sifat murka ini yang akan memberikan penerapan keadilan terhadap manusia, dan muara dari semua itu akhirnya akan kembali pada sifat cinta-Nya. Ingatlah, kita manusia dianugerahi kehendak bebas. Kita dianugerahi kemampuan untuk mengetahui mana yang baik dan yang buruk. Kita juga memiliki kehendak bebas untuk memutuskan dimana kita akan berjalan, apakah itu di jalan yang benar, atau jalan yang keliru. Lalu, adilkah jika Tuhan menyamakan perlakuan antara orang yang baik dengan yang buruk? Akan munculkah keadilan itu tanpa sifat murka-Nya?

Murka Allah akan selalu bermuara kepada kebaikan. Ia menciptakan kita dengan cinta, mustahil jika Ia murka tanpa alasan. Hanya kita yang terlalu sering berburuk sangka, dan prasangka itu muncul karena kita kurang mengenali-Nya. Cobalah fikirkan dari hal paling sederhana, adakah seorang ibu yang tak marah jika anaknya berbuat tak sepantasnya? Adakah seorang ibu bangga melihat darah dagingnya mengonsumsi obat-obatan terlarang yang membahayakan nyawa anaknya sendiri? Jika direnungkan kembali, adakah rasa marah semacam itu berangkat dari sifat kejam dan bengis seorang ibu? Sekali-kali tidak. Seorang ibu marah melihat anaknya berada di jalan yang salah, karena ia sangat menyayangi anaknya dan tak menginginkan anaknya mencelakakan dirinya sendiri dan merugi. Sekarang, jika dalam  manusia saja ada sikap yang demikian, apalagi pada Tuhan Yang Maha Esa? Ia murka jika melihat hambanya melukai mahluk lainnya, atau bersikap tidak adil pada yang lain, atau berbuat kerusakan, atau menyakiti dirinya sendiri, semua itu tak lain bersumber dari kasih sayang-Nya yang menginginkan hamba-Nya berada dalam keselamatan. Jika hamba-Nya tersadar dan memohon ampun, bukankah Ia juga Maha Pengampun? Maka, mengapa pula kita masih ragu dan menganggap murka-Nya terlepas dari kasih sayang-Nya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun