Mohon tunggu...
Fithra Faisal
Fithra Faisal Mohon Tunggu... -

An ordinary man who believes the sky is attainable

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Sepakbola dan Kehidupan

20 Mei 2012   12:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:03 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Sepak bola sesungguhnya merupakan sebuah miniatur kehidupan, sebuah pernyataan yang tentu akan diamini segenap penikmatnya jika merujuk pada dua drama teranyar dalam sepak bola: Manchester City dan Chelsea.

********************************************************************************************************

Tentu belum lekang dari ingatan kita peristiwa penolakan Carlos Tevez untuk dimainkan dalam laga Liga Champions kontra Bayern Munchen. Kala itu, City yang tengah tertinggal 0-2 dari Munchen membuat Roberto Mancini, pelatih Manchester City, harus memutar otak mencoba skema serangan baru yang mampu mengubah keadaan. Mancini kemudian melihat Tevez sebagai keping puzzle yang dapat menuntaskan skemanya itu. Alih-alih menurut, Tevez tetap duduk dibangku cadangan seakan enggan menanggapi permintaan Mancini. Emosi Mancini pun membuncah, di akhir pertandingan dengan ekspresinya yang khas Mancini pun bersumpah untuk tidak memainkan Tevez selama ia masih menjadi pelatih city. Sebuah sumpah yang hampir menjadi kenyataan karena memang setelah kejadian itu, Tevez benar-benar dipinggirkan oleh Mancini selama kurang lebih enam bulan lamanya. Dalam periode itu, atmosfer di ruang ganti City pun menjadi tidak kondusif. Hal ini berimbas pada naik turunnya penampilan City di liga Primer Inggris. Keunggulan City yang cukup jauh terhadap rival utamanya di klasemen, Manchester United (MU), perlahan-lahan tergerus hingga akhirnya MU bisa mengambil alih pimpinan klasemen di awal tahun 2012. Klimaks dari kejadian ini adalah ketika Mancini melemparkan handuk putih tatkala City sudah tertinggal delapan poin dari MU selaku penguasa klasemen pada saat itu.

Tapi, keyakinan itu masih tetap menggelora. Meski Mancini telah menyatakan menyerah dari perburuan gelar, Mancini masih menbar asa di ruang ganti kepada para pemainnya. Terlebih saat itu Tevez, si anak hilang, telah meminta maaf kepada Mancini dan siap bertarung menuntaskan mimpi-mimpi city. Titik balik dari perjuangan City di musim 2011-2012 muncul ketika City menghabisi MU di Etihad stadium sementara Tevez dijadikan sebagai starter dalam pertandingan itu. Meski tidak mencetak gol, tapi kepercayaan Mancini terhadap Tevez telah merestorasi kegairahan permainan City. Bahkan sebelum pertandingan melawan MU Mancini melemparkan puja-puji kepada Tevez dengan sebuah pernyataannya yang hiperbolik “Tevez ditakdirkan jadi penentu” ujarnya ketika itu.

Drama ini hampir berakhir tragis ketika City, di penghujung pertandingan liga Inggris, masih tertinggal 1-2 dari Queens Park Rangers (QPR) hingga menit ke 91. Ini artinya trofi masih belum akan lepas dari tangan MU karena pada saat yang bersamaan MU telah unggul 1-0 di kandang Sunderland. Tapi ternyata para pemain City terus menjaga asanya dengan tanpa henti memborbardir pertahanan QPR hingga detik akhir. Perjuangan ini pun berhasil dituntaskan oleh para tokoh protagonisnya Edin Dzeko dan Sergio Aguero. Dzeko berhasil membobol gawang QPR di menit ke 91 detik ke 15 sementara Aguero membuat seisi stadion bergemuruh tatkala menuntaskan serangan apik City dengan gol di menit 93 detik ke 20. Sebuah penantian trofi liga Inggris selama 44 tahun harus ditentukan hingga menit terakhir pertandingan Liga. “Hal terpenting bagi tim manapun adalah saat anda percaya. Jika anda percayapada diri sendiri, anda bakal menang. Kami percaya hingga menit akhir.” Ujar Pablo Zabaleta, pencetak gol pembuka City dalam pertandingan itu.

**************************************************************************************************************

Cerita yang tak kalah heroik datang dari sesama penghuni Liga Primer Inggris, Chelsea. Penunjukan Andre Villas-Boas (AVB) di awal musim menyiratkan sebuah harapan baru untuk Chelsea. Betapa tidak, pelatih muda jenius yang harus ditebus jutaan poundsterling dari Porto dianggap sebagai senjata baru untuk Chelsea utuk mengarungi kerasnya persaingan Liga Inggris. Meski ditebus sangat mahal, tapi tidak banyak yang heran mengingat AVB telah menuntaskan sebuah musim yang luar biasa bersama Porto dengan memenangi tiga piala sekaligus dalam semusim: Liga Portugal, Piala liga Eropa (dulu disebut Piala UEFA), dan Piala Portugal. Roman Abramovich, sang taipan asal rusia pemilik klub Chelsea, seakan ingin menghadirkan kembali “the special one” Jose mourinho ke Chelsea, terlebih lagi, Mourinho memang merupakan mentor langsung dari AVB semasa di Chelsea dan Intermilan.

Sempat menjanjikan di awal, kinerja AVB mulai dipertanyakan di tengah musim karena kerap menuai hasil buruk baik di Liga primer maupun di Liga Champions. Terjadinya periode negatif ini adalah akibat perselisihan AVB dengan pemain-pemain senior di Chelsea semisal Lampard, Terry dan Drogba yang harus menjadi korban rotasi pemain ala AVB.

Puncak kekesalan Abramovich adalah ketika Chelsea di gebuk 3-1 oleh Napoli di ajang Liga Champions. Seakan hendak menyelamatkan tim, Sang taipan langsung menunjuk Roberto Di Matteo, asisten AVB, untuk menjadi pelatih sementara Chelsea hingga akhir musim. Banyak pihak yang awalnya  meragukan kapasitas Di Matteo karena pelatih ini sangat minim pengalaman yang akan dengan mudah disingkirkan di akhir musim. Sinyal keraguan itu semakin menjadi di hari-hari awalnya menukangi Chelsea. Pada sebuah laga, Terry sang kapten Chelsea dari bangku cadangan tampak memberikan instruksi kepada rekan-rekannya meskipun di depannya ada Di Matteo yang juga tengah memberikan instruksi. Tetapi, alih-alih bersikap frontal, Di Matteo memilih diam dan melanjutkan pembicaraan dari hati-kehati dengan para pemainnya. Lambat laun suasana di ruang ganti menjadi semakin kondusif dan Di Matteo pun semakin mendapat respek dari para pemainnya. Dengan pembawaannya yang kalem, Chelsea dibawa lolos dari lubang jarum.

Kekalahan 3-1 Chelsea dari Napoli di leg pertama perdelapan final Liga Champions dibalikkan menjadi sebuah kemenangan yang heroik di Stamford Bridge kandang Chelsea. Chelsea menang 4-1 dan berhak lolos ke babak berikutnya. Kemenangan in akhirnya melentik semangat baru bagi para punggawa Chelsea untuk meraih kemenangan demi kemenangan demi melanjutkan tren positif. Bahkan klub terbaik dunia  sekelas Barcelona dibuat tak berkutik ketika keduanya bertemu di Semifinal Liga Champions dalam laga kandang mupun tandang. Kemenangan ini dilanjutkan dengan sebuah pentahbisan di kompetisi domestik dengan memenangi piala FA. Meski masih tercecer di Liga, tapi ini bisa dimaklumi mengingat skala prioritas Chelsea di Liga Champions dan piala FA.

Di Matteo, seakan bisa kembali membangkitkan para punggawanya yang tidur. Torres yang mandul dibuatnya menjadi kembali produktif. Drogba yang terpinggirkan, menjadi aktor protagonis baru. Lampard dan Terry yang semula antipati dibuat tunduk. Dan bahkan mereka berniat mempersembahkan piala demi piala agar Di Matteo tetap duduk di kursi panas, jauh dari tangan usil sang pemilik.

Drama itu pun berhasil dituntaskan  di Munich.  Bayern Munchen yang dikenal dengan mentalnya yang sudah sangat teruji dalam pertandingan-pertandingan besar harus terpuruk dalam kontes adu penalti. Sebuah hal yang tidak lazim mengingat dalam laga tos-tosan ini, Munchen dikenal sebagai jawaranya. Bahkan dari jauh hari Bastian Schweinsteiger telah berujar “Chelsea harus mengalahkan Bayern Munchen dalam 120 menit jika mereka ingin mencium trofi Liga Champions. Jika gagal, Munchen lah yang berpesta” sebuah ucapan yang harus ditelannya mentah-mentah karena dia merupakan salah satu eksekutor yang gagal menceploskan bola ke gawang Peter Cech selain Ivica Olic.

Dan Drogba pun menjadi pahlawan. Golnya di penghujung waktu normal dan keberhasilannya dalam mengeksekusi penalti terakhir membawa Chelsea menjuari Liga Champions pertama semenjak klub ini berdiri di 1905. Tidak ada yang menyangka Drogba yang terbilang uzur dapat  menjadi pahlawan. Tidak ada yang menyangka, Di Matteo yang hanya pelatih sementara dengan skuad yang compang camping dapat mempersembahkan piala kemenangan dalam Liga Champions bahkan berujung Double Winners karena sebelumnya juga memenangi piala FA. Bukan Mourinho yang spesial, bukan Scolari yang sudah teruji membawa Brazil merengkuh piala dunia di tahun 2002, bukan Guus Hiddink yang dipuja karena membawa Korsel masuk semifinal piala Dunia pertama kalinya, dan Bukan Anceloti yang sudah membawa Milan merengkuh dua kali duara di ajang liga Champions. Melainkan seorang Di Matteo, seorang yang bukan siapa-siapa yang mampu membawa Chelsea dicatat dalam buku sejarah.

************************************************************************************************************

Dari dua episode ini kita bisa belajar, tidak ada yang tidak mungkin. Sebuah impian memang harus diperoleh dengan perjuangan yang mengakar. Jatuh bangun adalah bumbu dari perjuangan yang justru harus melentikkan semangat kita dalam meraih segala impian kita.

Bravo City, Bravo Chelsea

Fithra Faisal Hastiadi

Dosen  di FEUI

Penikmat sepak bola

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun