"Dih" cibirku.
"Pokoknya kudu mudik. A coward must not be my brother. I know better that you're gentle because you're my brother. Mmm?"
Aku membuang napas lesu, "Mm"
Setelah mengucap salam, sambungan  terputus. Kuletakkan ponsel di atas kasur sembarangan.
Di luar hujan turun rintik-rintik, tidak lebat seperti dua hari yang lalu. Aku membuka laci lalu mencari benda kotak berwarna putih beserta pemantik api. Entah sejak kapan aku suka duduk di dekat jendela yang terbuka saat hujan dengan nikotin terselip di bibir. Jangan pandang aku laki-laki yang menyedihkan, meskipun aku tak mampu menolak jika aku terlihat demikian.
"Hujan, mau kah kamu mendengar pertanyaanku?" Tanyaku tiba-tiba setelah rokok yang sejak tadi mengunci bibir berakhir di asbak hadiah dari minimarket.
Jelas saja tidak ada jawaban, namun suara rintiknya masih terdengar karena awan kelabu belum menuntaskan muatannya.
"Ada seseorang yang merindu, namun dia tidak ingin bertemu. Dia sudah lama mengubur kenangan, nyatanya dia malah mengaburkan kenyataan. Apa yang seharusnya ak- dia lakukan?"
Angin berhembus dari luar jendela, Â membawa bulir-bulir hujan menerpa sebagian tubuhku. Aku tersenyum menatap tangan kananku yang agak basah. Kemudian aku beranjak ke atas kasur, meraih ponsel. Tanpa ragu kupesan tiket kereta api secara online. Sepertinya menghabiskan waktu di kereta akan membantuku menjawab pertanyaan tadi.
Seorang laki-laki tak selayaknya berlama-lama dalam memperbaiki hati.
***