Mohon tunggu...
FithAndriyani
FithAndriyani Mohon Tunggu... Lainnya - Read and Write

Write your own history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Serendipity

15 April 2018   12:10 Diperbarui: 15 April 2018   12:37 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir setiap orang di dunia ini tidak menyukai menyambut pagi di hari senin. Kelegaan dan kenyamanan di akhir pekan harus diakhiri di malam senin, kembali pada hiruk pikuk dunia. Dan itu sedikit memuakkan.

Namun, sebagian lainnya sangat bersemangat setiap hari senin. Sebelum bel dan suara menggelegar Pak Khoirudin menggema di koridor lantai satu, banyak orang berdesakan di depan mading. Tidak hanya murid perempuan SMA Universal yang bergerombol di sana, bahkan beberapa murid laki-laki.

"Kenapa J gak ketemu sama cewek itu sih?" tanya siswi berambut panjang yang berhasil menyibak kerumunan.

"Udah berapa purnama coba yang J lalui demi menunggu?"

"Puisi-puisi J sudah ditempel di mading hampir setahun"

Ya, siswa-siswi SMA Universal, yang tak sabar menunggu hari senin tiba, demi membaca puisi-puisi romantis yang hanya bisa mereka baca kelanjutannya di hari senin. Pengirim puisi itu hanya membubuhkan identitasnya dengan huruf J, tanpa inisial tambahan ataupun tanda tangan.

Menurut pengamatan pembaca, J adalah seorang laki-laki.

Pak Khoirudin keluar dari kantor. Para siswa yang berada di koridor segera bergegas ke kelas, bisa masuk catatan jika belum siap dengan atribut sekolah lengkap sebelum upacara. Kerumunan siswa di depan mading membubarkan diri segera.

_____

Seorang siswa berjalan tersuruk menuju kelas. Matanya masih terasa berat, dia masih mengantuk. Tangannya mengacak rambut kusutnya. Boro-boro keramas, sikatan aja kagak, batinnya sambil memejamkan mata. Hari ini dia bangun kesiangan, lagi. Karena hal ini bukan kali pertama.

Kepalanya membentur sesuatu. Matanya terbuka perlahan sehingga netranya menangkap sepasang sepatu kulit hitam mengilat beradu dengan Sneakers putihnya. Pupilnya melebar kala dia menyadari aroma parfum bapak-bapak mengusik penciumannya.

"Masuk lewat mana, kamu, Nak?"

Pemuda itu menelan ludah.

"Ikut bapak ke lapangan, sepertinya kamu butuh sinar matahari pagi untuk membuka lebar kelopak matamu yang masih mengantuk itu."

Dia menghela napas berat, dia terciduk pak Khoi lagi. Kakinya melangkah gontai mengikuti langkah mantap pak Khoi di depannya. Dalam hati dia menghitung apa saja yang pak Khoi catat dalam buku kecil di tangannya.

1. Datang terlambat

2. Melompati pagar sekolah

3. Tidak memakai sepatu hitam, topi dan dasi

Saat melewati mading, dia menolehkan kepalanya. Matanya memicing saat apa yang dicari tidak ditemukan.

"Jackson, kamu bisa baca puisi J nanti"

"Sebentar, Pak"

"Jackson"

Jackson menghela napas, "baik, Pak" sahutnya malas.

Baru beberapa langkah berjalan, Jackson behenti kembali. Kakinya menginjak sesuatu. Matanya nyaris keluar saat melihat kertas yang sudah terukir di atasnya bekas sepatunya, "What the-"

"Jacks-"

"Izinkan saya menempelkan puisi J ini dulu, pak. Se-ben-tar" pintanya. Pak Khoi hanya menghela napas pendek ketika Jackson sudah berbalik badan tanpa mendapat ACC darinya. 

Mungkin Jackson penggemar J juga seperti saya.

Usai menempelkan puisi, Jackson kembali mengikuti langkah gurunya.

4. Terciduk mengumpat

_____

"Kamu gak mandi ya?" tanya Soni sambil menutup hidung. Beberapa siswa yang berada di kantin menoleh ke arah Jackson.

"Kurang kenceng TOA nya" balas Jackson sinis.

Soni tertawa, tidak merasa berdosa.

"Aku belum mandi tak tuntuang tak tuntuang" Gilang menyanyikan lagu yang sedang hits itu.

"Tapi masih ganteng tak tuntuang tak tuntuang" lanjut Jackson.

"Apalagi kalau sudah mandi~" suara fals Soni menyambung.

"Pasti tampan sekali"

Tidak ada tepuk tangan ataupun komentar 'saya sih yes' setelah Jackson menutup lagu dengan suara terbaiknya. Hening. Dia beralih memilah kecambah dalam baksonya, kemudian memindahkannya ke mangkok Gilang di hadapannya.

Soni menilik botol plastik kecap di atas meja, "Pak Giman, kecapnya habis!" teriak Soni. Tindakannya itu mengundang tepukan keras dari Jackson tepat di punggung atasnya.

"Gak boleh teriak-teriak ke orang tua" komentar Gilang mewakili apa yang akan disampaikan Jackson.

"Iya, maaf" ujar Soni dengan wajah menunduk. Dia beranjak dari tempat duduknya, namun cekalan Jackson di tangannya menahannya.

"Biar aku yang ambil"

Wajah Soni kembali ditundukkan. Dia lupa jika Jackson sangat menghormati pak Giman, bahkan sudah menganggap beliau kakeknya.

"Wau wonten nedi kecap, Bu" (Jawa: Tadi ada yang minta kecap, Bu)

"Tadi teman saya yang minta kecap, Pak. Ngapunten, wau rencang kulo teriak-teriak" (Jawa: Mohon maaf, tadi teman saya teriak-teriak) istri pak Giman mengisi botol plastik yang dibawa Jackson.

"Owalah, mboten nopo-nopo, Mas"

Sebuah lengan tertutup seragam panjang mengulurkan botol plastik juga. "Maaf, bu. Saya juga mau ngisi kecap"

"Niki, le," (Jawa: Ini, nak) ibu itu menyerahkan kecap meja 25 kepada Jackson. 

"Sini, mbak"

Jackson sigap mengambil alih botol kosong dari tangan perempuan berkerudung putih itu. Dia menukarkan botol di tangannya yang sudah penuh.

"Oh? Makasih" ucap gadis itu sopan.

"Jangankan kecap, tukar ID Line juga boleh" goda Jackson. Gadis itu pergi tanpa menoleh ataupun merespon gombalan Playboy Universal.

"Jangan mau, mbak, dia belum mandi. Gilang001, add punya saya, mbak!"

"Bikes kamu, Lang" Jackson pura-pura ingin melemparkan botol kecapnya ke arah Gilang. Soni segera merebut botol itu, dia tidak bisa makan bakso tanpa kecap manis.

Jackson memutar kedua bola matanya, "Punya temen gak ada yang becus" ujarnya penuh penyesalan yang disambut tawa.

"Kalo mau tahu mbak berkerudung putih itu, Soni lah informan yang tepat" gumam Soni sembari menyeruput kuah baksonya.

Sendok Jackson terlepas dari tangannya, "Serius?"

Soni mengangguk, "Dua rius. Tapi gak gratis"

Sudah Jackson duga. Dia melengos dan melanjutkan makannya. Soni menyikut lengan Jackson pelan, menggoda Playboy pantang mundur itu. Jackson tak menggubris, dia sibuk menikmati bakso di mulutnya.

"Kamu mau apa emangnya?" ujarnya kemudian.

"Album Perfect Velvet Red Velvet"

"Gak"

"Sepatu Sketchers yang di-endorse Red Velvet sama EXO"

Jackson mendengkus malas, "Malah makin mahal aja. Yang lain!" serunya galak.

Soni menghentikan makannya. "Mmm... gratis makan bakso Pak Giman selama dua bulan tanpa minum, kalau pakai minum satu setengah bulan aja" tawarnya kemudian.

"Dih, pinter juga nih bocah" celetuk Gilang.

"Tekor Adipati. Kamu sekali makan kan dua porsi" Jackson melirik dua mangkok di hadapan Soni "yang lebih sosial lah sama dompet tipis ini"

Kedua teman Jackson mencebik. Dompet Jackson memang tipis, namun di ATM nya terdapat banyak uang dari kedua orang tuanya yang tajir melilit.

"Ya udah, aku lagi baik nih" Soni menyodorkan ponselnya ke arah Jackson. Dahi Jackson mengerut demi membaca postingan Instagram dari pihak PROMOTOR KONSER. "gak minta lebih kok, cuma tiket konser The Elyxion, ongkos Soni tanggung sendiri dah"

Jackson meletakkan ponsel ke atas meja segera. Jemarinya memijit pangkal hidungnya, pinter morotin emang nih bocah satu.

"Ya udah, makan gratis pake minum" putusnya dengan sangat berat  hati.

Soni mengepalkan tinjunya ke atas merayakan selebrasinya.

_____

Usai berlari mengitari alun-alun, Fai mengistirahatkan badannya di atas salah satu kursi panjang yang memuat dua orang. Diselonjorkan kakinya dengan badan betumpu di atasnya. Beberapa menit kemudian, gadis berkerudung biru langit itu meminum infused water yang dibawanya.


"Pasti bukan kamu, Fai" gumamnya meyakinkan diri sendiri.


Kepalanya menengadah ke atas dengan mata terpejam. Dia ingin mengenyahkan hipotesa-hipotesa yang bergumul di kepalanya setelah sekian lama hanya ia tumpuk tanpa perlu mengidentifikasinya. Helaan berat napasnya lolos begitu mendengar suara anak kecil di bangku seberang.


Nyala rokok itu membekas di sepatunya
Dan aku ingin menghapus dengan tanganku yang gemetar
Sesuatu yang bergairah menggetarkan semua
Menyala tanpa ia tiupkan bara.


"Istighfar, Fai. Astaghfiullahal'azhim" ucapnya kala potongan puisi pertama J yang berjudul 'Bara  dan Sepatu Cinderella' yang sampai saat ini selalu membuat kepalanya pening.


Dia menggeleng-gelengkan kepala.


Aku selalu iri pada hujan
Menghabiskan kerinduan setelah lama penantian
Diiringi nyanyian, melenakan
lalu bagaimana rinduku ini tersampaikan?
Mereka terus menumpuk dan membunuhku perlahan
Tolong bantu aku bertahan
.


"Biarkan aku tenang, J" erang Fai dengan menutup kedua telinganya. Napasnya menderu seolah dia sudah mengelilingi alun-alun seperti tadi.


"Jangankan kecap, tukar ID Line juga boleh"


Fai tahu siapa J, dan hal ini sangat mengganggu ketentraman hidupnya. Beberapa kali dia memergoki J sedang memasukkan kertas puisinya ke dalam Kotak Kata dalam Kaca yang disediakan bagian mading di depan kantor sekretariat Jurnalistik. Semalam sosok J dugaannya mengiriminya pesan-pesan receh via LINE. Mau tidak mau, hipotesa dan spekulasi siapa J yang misterius itu memenuhi kepalanya. Dan yang paling tidak masuk akal baginya adalah tentang puisi Bara dan Sepatu Cinderella.


Bara dan Sepatu Cinderella, matanya terpaku pada bekas sulutan rokok di sepatu kanannya. Bekas itu tidak besar, yang besar adalah kepercayaan dirinya. Dia menghela napas berat lagi menyadari mengapa ia menggunakan sepatu itu di saat dia sudah memiliki sepatu yang lain. TIDAK MUNGKIN karena ia terngiang puisi J yang satu itu.
Hei, aku bukan Cinderella, aku Fairuza, yakinnya sejak kemarin.


Telinganya berdengung tiba-tiba. Fai memperbaiki letak kerudungnya. Namun hal itu tidak membantu. Dia menikmatinya saja, siapa tahu sesudahnya akan selesai kelabilan jiwanya tentang J dan Cinderella.


GEDUBRAK!


"Yah... es cincau berhargaku!" seorang laki-laki yang terjatuh memandang miris pada es cincaunya yang sudah tumpah ke atas paving.


Melihat buku-buku dan alat tulis berserakan di depannya, Fai segera berjongkok memunguti. Matanya terpaku dan mulutnya menganga lebar melihat selembar kertas berwarna kuning gading yang ada di dekat kaki kanannya. Jantungnya berpacu cepat, ini tidak mungkin.


"Biyuh, puisiku, Beh!" seru suara berat pemilik buku yang kini berada di tangan Fai yang kaku.


"Fai-"


Fai tersadar dalam keterkejutannya. "Eh, ini" dia selipkan kertas itu di antara buku-buku di tangannya. Jackson mengambil buku-bukunya dengan wajah tegang. Kecewa karena es cincau yang tumpah sudah tidak lagi diberatkannya. Dia mengikuti Fai yang duduk di atas bangku penyebab dia terjatuh.


Hening.


Jackson bingung bagaimana menanyakan statusnya dan dia hanya duduk membatu di tempatnya seperti apa yang dilakukan gadis di sampingnya.


"Sialan itu yang buang permen karet sembarangan" Jackson menggerutu sembari membersihkan permen karet yang menempel di sepatunya. Dalam hati dia menebak jika sikap diam Fai karena gadis itu sedang terkejut. 

Dia mendesah pelan. 

Permen karet sialan. Coba aja tadibodo amat sepatuku lengket, gak mungkin ada adegan sinetron jatuh dan ketahuan gini kan. Mana Fai diam begitu, padahal sepikan semalem lumayan lah. Tsk!


"Maaf ya" ucap Fai pelan.
Jackson menolehkan wajahnya, dia menangkap alasan Fai meminta maaf. 

"Kamu li... hat ng... tadi itu?" tanyanya memastikan. Aku kok gak berharap dia jawab 'gue gak lihat, gue pake kacamata Rayban.'


Fai menunduk, "Jadi kamu beneran J si Penyair Misterius?" tanyanya.


"Iya"


Berarti Cinderella itu....


"Selepas subuh tadi hujan menemuiku
Dia menolak rindu yang kugenggam untuk Cinderella
Berkali-kali kurayu, tetap saja dia tak mau
Lalu dia meninggalkanku yang basah kuyup
Sia-sia tanpa misi terlaksana"


Jackson terkekeh sendiri, "Itu puisi yang baru saja kutulis" dia mengambil kertas puisi yang terselip di antara buku-buku kumpulan puisi yang dibawanya dari rumah. "kamu mau membacanya? Ini untuk edisi minggu depan."


Fai menyambut tanpa bisa menolak, takut tidak sopan dan membuat suasana bertambah kaku.


"Cinderella? Itu hanya karena sepatu kunci pertemuan kami
Belum juga membawa momen itu kembali
Kini, angin sore membawa semua kecewa
Semua rindu tanpa nama
Bersua bersama karbon dioksida yang dilepasnya
Aku sudah cukup bahagia"


Cepat Fai usap air matanya. Dia merasa sangat jahat pada Jackson tanpa alasan.
"Kenyataannya playboy pantang mundur Universal se-menye ini dalam urusan cinta, haha" ucap Jackson. Dia menertawakan dirinya sendiri. Selama ini dia digilai perempuan, namun dia lemah untuk menanyakan nama gadis yang ditabraknya di alun-alun Malang -- persis di tempat ini- setahun lalu. Puisi Bara dan Sepatu Cinderella yang ia tulis sangat menggambarkan kisah petemuan mereka.
Fai melirik jam digital di pergelangan tangannya, hari sudah beranjak perlahan menemui malam.


"Pulanglah, sudah petang
Bahkan sebuah kapal akan segera menemui muara
Mengapa asa harus terhenti begitu saja?"


Seutas senyum tercetak di bibir Jackson. Puisi Fai bagus juga.
"Ah, bisakah aku meminta agar sore ini
Menjadi panjang?
Baru sekejap kurasa lapang
Aku kalah cepat lagi dengan hari"
Mereka berdua meninggalkan bangku itu. Pulang, menemui muara segala rasa dan penat; rumah.
_____

Pagi buta, ada seseorang yang membunyikan bel rumah. Jika hanya sekali, Jackson tidak akan menghiraukan dan menganggap itu hanya ulah oang iseng atau orang gila. Tak tanggung-tanggung, bel rumahnya berbunyi tiga kali. Kedua orang tuanya sedang ke luar kota, asisten rumah tangganya pulang kampung.


Dengan setengah mengantuk, Jackson membuka pintu. Pemuda itu mengucek matanya, mencoba menjernihkan pandangannya. Di depan pintu tergeletak sebuah kotak berwarna abu-abu. Dia mencari siapa pelaku keributan di pagi hari yang kemungkinan besar juga pemilik kotak misterius di hadapannya.


Meski sedikit ragu, Jackson mengambil kotak itu. Untuk memastikan, digoncangkan kotak misterius di dekat telinganya. Sedikit berat. Matanya mengerjap-ngerjap memikirkan apa kemungkinan isinya. Bom? Granat? Atau... bayi? Jackson begidik sendiri memikirkannya.


Matanya melebar mendapati secarik kertas berwarna biru. Hati-hati dia menerawang surat tersebut di bawah cahaya lampu teras. Aman, bukan darah tintanya. Dengan hati berdebar, dia tutup pintu rumah. Perlahan dia buka surat itu karena penasaran.

Bersemangatlah,
Bahkan sebuah kapal akan segera menemui muara
Mengapa asa harus terhenti begitu saja?

Jackson semakin yakin jika pengirim kotak dan surat tersebut bukan orang jahat seperti apa yang ditakutkannya. Isi kotak itu adalah sebuah sepatu sport wanita tanpa pasangan. Mata Jackson segera tertuju pada bekas sulutan rokok yang menodai warna abu-abu polosnya. Itu sepatu Cinderella yang selama ini dicarinya.

___

Malang, 05 Februari 2018

PS: cerpen ini sebelumnya sudah saya post di akun Wattpad untuk lomba cerpen Jackson yang diadakan penerbit Haru. Versi ini sudah diadakan revisi sedikit dari versi Wattpad. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun