Pengunjung kafe sederhana di pinggiran kota ini masihlah sama. Hanya gadis berambut ikal alami di meja dekat pintu masuk yang menjadi penambah. Laki-laki gitar, gadis bermantel coklat lusuh, bapak berjas hitam, dan aku. Sudah seminggu aku kemari dan mereka yang kusebutkan sebelumnya menjadi pengunjung tetap.Â
Mata kami menatap jendela beberapa saat. Hujan lagi. Tahun ini cuaca tidak stabil. Hujan dan panas seakan berlotere, membuat manusia harus mengamalkan pepatah lama 'sedia payung sebelum hujan'.Â
 Seketika hatiku turut kelabu. Baper kata anak gaul zaman sekarang. Terlebih laki-laki gitar memainkan lagu sendu yang tak kutahu judulnya. Karena terlalu sering dimainkan sehingga sedikit ingat liriknya.
Picked up my old guitar
The confession that I couldn’t make and
the story I stubbornly swallowed
Revealing a song I’m about to tell you
(about) now. Just listen I’ll sing for you*
Dari dulu aku bertanya-tanya, Mengapa manusia mendadak galau jika hujan menyapa bumi? Ingin menyanyi dan mendengar lagu-lagu sendu saja? Tanpa sebab.Â
Dan aku salah satunya.Â
Memiliki kenangan dengan hujan? Iya. Bukan berkejaran dengan si dia mencari tempat berteduh seperti dalam cerita kesukaanku, tetapi berjuang mengayuh sepeda sampai rumah teman karena hujan deras mengaburkan pandangan. Teman, bukan dia. Dia juga teman, tetapi beda rasa. Rasanya hanya teman. Kau tau maksudku, 'kan?