Mohon tunggu...
Fiter Antung
Fiter Antung Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lebih senang disebut sebagai pemerhati Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Perjalanan ke Desa Setulang

19 Oktober 2016   11:13 Diperbarui: 19 Oktober 2016   11:32 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

They’re authentic, by comparing to the modern life, Setulang still keeping their traditional living” Demikian sebagian kekaguman yang diungkapkan seorang turis Amerika, saat kami berkunjung ke Tana Olen’, Desa Setulang. Salah satu ‘surga’ dalam kawasan hutan lindung di Kabupaten Malinau, Propinsi Kalimantan Utara.

Boleh dikata, Desa Setulang merupakan bagian dari pengembangan wisata Kabupaten Malinau berbasis ekonomi lokal dan pelestarian lingkungan. Kearifan dan budaya masyarakat setempat menjadi ketertarikan yang mendasari Haya, seorang turis berkewarganegaraan Amerika secara khusus menyambangi Kabupaten Malinau, untuk melihat langsung kehidupan masyarakat Suku Dayak Kenya.

Aura eksotis segera menyebar sesaat ketika kami memasuki wilayah Desa Setulang dengan penanda Gerbang ‘Selamat Datang’ yang menampilkan ukiran khas suku Dayak Kenya Uma’ Lung. Berhenti sejenak di depan pintu masuk tersebut, Haya, mulai menghamburkan runtutan jepretan kamera pocket yang memang disiapkannya untuk mengabadikan berbagai momen selama berkeliling di Setulang. Langkahnya kadang terhenti sekedar mengeluarkan kekaguman betapa uniknya ukiran yang terpahat pada batangan kayu Ulin di Gerbang tersebut. Padahal matahari cukup terik bersinar, namun tidak mengurangi semangatnya berpose cantik membelakangi gerbang. “Don’t forget to show that carving, I’m loving its so much with the details” pesan Haya pada saya setiap jepretan kamera yang terarah kepadanya. Kali ini saya adalah guide yang juga bertindak sekaligus sebagai photographerdan pengarah gaya. Tak apalah, bayarannya juga sepadan, saya membatin. Hehe..

Setulang memang dikenal sebagai desa wisata. Pemerintah Kabupaten Malinau menetapknya menjadi salah satu destinasi tourism untuk pelestarian lingkungan dan penguatan budaya serta upaya meningkatkan pendapatan asli daerah. Konsep ekowisata menjadi trademark yang dibangun agar terjadi peningkatan kunjungan ke desa ini setiap tahunnya. Bersinergi dengan masyarakat setempat, Pemerintah Daerah mengelaborasi prinsip-prinsip pengembangan ekowisata kedalam berbagai suguhan kesenian tradisional dan kearifan lokal. Satu prinsip ekowisata diantaranya adalah konservasi dengan penetapan daerah perlindungan dan pelestarian hutan. Konservasi kawasan Hutan Tana’ Olen menjadi wilayah yang sangat prestisius membawa nama Kabupaten Malinau mendunia. Selain pernah menerima penghargaan Kalpataru pada tahun 2003, Desa Setulang juga menjadi salah satu finalis World Water Contest yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang pada Maret 2003. Kontes ini memilih desa-desa di seantero dunia yang memiliki kegiatan berwawasan lingkungan dan berjuang dalam mengelola sumber daya airnya (Desa Setulang).

Setelah berunding tentang waktu keberangkatan dan kegiatan yang akan kami lakukan selama di Setulang, sayapun bergegas menyiapkan kendaraan dan perlengkapan sekedarnya untuk satu hari mengintari Desa wisata tersebut. Awalnya saya mewanti-wanti bahwa perjalanan cukup melelahkan dan harus melewati kondisi jalur yang menantang. Tetapi ternyata saya salah. Beberapa bulan yang lalu, akses menuju setulang memang belum memadai untuk kendaraan biasa (no 4wd), namun sekarang, luar biasa, jalan mulus beraspal hitam menjadi bagian promosi yang membanggakan untuk disampaikan kepada wisatawan yang akan berkunjung. Haya sendiripun memuji bahwa kondisi jalan seperti yang kami lewati jauh lebih baik keadaannya dibanding dengan beberapa lokasi didaerah lain, bahkan Ia mengkomparasikannya dengan daerah wisata di India dan Afrika. Keseriusan Pemerintah Kabupaten Malinau membangun fasilitas jalan menjadi pointpenting untuk menarik para tourism berkunjung ke Malinau. And I’m proud to be inhabitant.

Percakapan menarik dengan guyonan ala-ala Amerika menjadi flashing canda yang menghibur kami selama perjalanan menuju Setulang. Banyak terlontar jokes segar hingga waktu sejam berkendara tidak terasa. Sayapun akhirnya mengetahui berbagai hal tentang Haya. Seorang budayawan yang bekerja menjadi guru di salah satu perguruan tinggi di New York, Amerika Serikat. Ia terlahir sebagai orang Polandia, namun karena mengikuti orang tua yang bermigrasi ke Amerika, Haya kemudian memiliki status kewarganegaraan sebagai penghuni negeri Paman Sam, dengan Accent sebagai Poland yang masih kental terasa.  Tubuhnya terlihat bugar dan kuat, even she’s 65 years old. Dia sangat menjaga pola makan dan gaya hidup sehat. Tidak merokok dan menghindari minuman beralkohol. Seringkali nasehat bijak terlontar darinya untuk sedikit mengingatkan saya arti pentingnya hidup sehat. Pun sebagai western people, dia sangat respectdan mengerti budaya ketimuran. One more chance, I’m so proud to be Indonesian.

Mengemas sebuah produk destinasi dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat memang membutuhkan konsistensi dan komitmen semua pihak. Keterlibatan dan kreasi merupakan faktor penting agar wujud partnership dan collaborative developing on tourism mengarah kepada keberhasilan memunculkan Desa Setulang menjadi pilihan utama berwisata, khususnya di wilayah Propinsi Kalimantan Utara. Arah itu sudah dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Malinau bersama dengan masyarakat Setulang. Saya rasakan sendiri ketika berbagai event budaya disuguhkan di desa tersebut. Masyarakat setempat terbiasa dengan kedatangan turis-turis asing. Mereka senantiasa menyapa dan tersenyum. Efeknya juga dirasakan oleh Haya. Ia memuji kesederhanaan dan keramahan warga Setulang. Menurutnya, bagian penting dari hadirnya Setulang sebagai desa wisata merupakan alternative dari berbagai bentuk pariwisata konvensional. Banyak orang berduit yang berwisata dengan gaya hedonis, namun banyak juga orang-orang yang ingin kembali merasakan harmonisasi alam dan manusia. Dan Setulang menyuguhkan hal tersebut.

Saya mengutip penjelasan pada situs online Wikipedia tentang rumusan ekowisata yang pernah dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain pada tahun 1987. Hector mengemukakan bahwa ekowisata adalah perjalanan ketempat-tempat yang masih alami dan relatif belum terganggu atau tercemari dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, flora dan fauna, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini. Bagi kebanyakan orang, terutama para pencinta lingkungan, rumusan yang dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain tersebut belumlah cukup untuk menggambarkan dan menerangkan kegiatan ekowisata. Penjelasan di atas dianggap hanyalah penggambaran dari kegiatan wisata alam biasa. 

Rumusan ini kemudian disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990, yang menyatakan bahwa ekowisata adalah kegiatan wisata alam yang bertanggung jawab dengan menjaga keaslian dan kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat”. Penjelasan ini sebenarnya hampir sama dengan yang diberikan oleh Hector Ceballos-Lascurain yaitu sama-sama menggambarkan kegiatan wisata di alam bebas atau terbuka, hanya saja menurut TIES dalam kegiatan ekowisata terkandung unsur-unsur kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap keaslian dan kelestarian lingkungan serta kesejahteraan masyarakat setempat. Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan potensi sumber daya alam dan budaya masyarakat setempat untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan.

Sekira pukul 10 pagi kami tiba di Desa Setulang. Kendaraan saya parkir diseberang Balai Adat ‘Adjang Lidem’. Posisinya terpisahkan oleh lapangan bola yang menjadi pusat desa Setulang. Dari kejauhan, bangunan Balai Adat terlihat kokoh berdiri dengan arsitektur khas Suku Dayak Kenya. Jelas sekali bangunan ini menggambarkan betapa budaya masyarakat setempat sangat tinggi dan bersahaja. Ukiran-ukiran khas memenuhi setiap dinding dan tiang bangunan. Unsur kayu mendominasi Balai Adat tersebut. Ditemani oleh seorang bapak, kami diperkenankan masuk dan mengambil beberapa foto di dalamnya. Decak kagum selanjutnya mewarnai setiap perkataan Haya. Typical engraving dalam bangunan Balai Adat seakan bercerita tentang kehidupan dan betapa eloknya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.

Sesekali kami singgah dirumah-rumah penduduk yang oleh Haya sungguh otentik menggambarkan kehidupan masyarakat Dayak sesungguhnya. Bentuk rumah panggung yang menjadi ciri khas masyarakat Kalimantan dengan hiasan berupa sa’ung dan tameng berukir nampak menempel di dinding ruang tamu kebanyakan rumah warga.  Jelas sekali Haya sangat menikmati. “I don’t know how to say, but their so amazing. I won’t wasting my times and thank you to lets me know this wonderful village and its inhabitant as well” Ucap Haya sembari masuk kedalam rumah hingga ke dapur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun