Hidung anak itu kembang kempis, matanya berkaca-kaca, pipinya merona seperti habis dicubit. Sudah tiga hari anak itu terpaku di jendela kamar menyerupai lukisan dari halaman rumah. Lelaki itu tak kunjung datang. Tangan anak itu lesu, seperti ingin ditimang-timang di udara terik halaman rumah.Â
Lelaki itu sungguh manis, mengemas kenangan dengan cara sederhana. Bila aku akan bercerita, mungkin tidak akan cukup seharian, tentang bagaimana mereka, di halaman belakang rumah, tertawa bahagia. Hidung dipencet lalu timbul lagi, permen rasa anggur dibalik boneka beruang putih, wacana akan naik biang lala di pasar malam, bahu penopang saat anak itu menangis, mengusap-usap kepala anak itu dengan lembut, aku bisa merasakan kehilangannya.
"Kakak Abang kemana?" Pertanyaan yang selalu membuatku tak habis pikir. Berbohong dengan anak kecil lebih menyiksa. Ia kembali memandang jendela. Mengusap jendela dengan tangan gendut, yang baru ia gapai kalau naik koper.
Kontak itu sebenarnya masih ada di media sosial. Demi kebaikan hati aku masih memilih diam. Aku tak mau memulai untuk menghubunginya. Bagaimana bisa, padahal aku dan dia sudah tidak ada hubungan lagi. Sebetulnya tidak apa kalau hati ini sudah tidak rapuh. Ada kemungkinan dengan berat hati, aku akan meminta dia duduk di sofa rumahku. Bermain pesawat-pesawatan, seperti biasa dengan anak itu.
Membiarkan mereka bermain bersama, aku bisa memutuskan duniaku sejenak, mengumpat di kamar yang bikin aku sesak nafas oleh karbondioksida terbuang banyak. Sementar udara mengendap tak berpeluang menerobos celah-celah jendela yang sengaja kututup rapat. Lampu kamar aku matikan sehingga langit-langitnya kelihatan mendung. Dipenuhi oleh cemilan-cemilan dan gelas-gelas bekas teh hangat.Â
Ku kira dengan cara seperti itu hatiku merasa tenang, tetapi pada akhirnya aku malah tenggelam dalam kesedihanku sendiri. Mengkhayal lelaki itu memanggil-manggilku dari ruang tamu. Seperti biasa, kala kami masih menjalin hubungan. Hampir tiap pulang kuliah dia mampir ke rumah, berteriak memanggilku untuk turun ke lantai satu.Â
Setelah beberapa saat ia bersama anak itu di halaman rumah tanpa sepengetahuanku, dia sudah sampai. Asisten rumah tangga kami menyiapkan mangkuk untuk wadah makanan yang dibawa olehnya. Martabak, bakso, atau cemilan kecil, berganti-ganti dibekalinya, kecuali permen, pasti akan selalu ada. Intuisi anak itu lebih tajam kalau dia datang. Segera berlari ke pelataran rumah dan menyambut hangat dengan rengkuhan.Â
Menuntunnya ke halaman rumah berporos pohon beringin dengan ranting rumit. Ada tempat duduk dibawahnya yang teduh.  Lalu aku akan mandi berpakaian rapi menyusuri taman di mana jejak-jejak kebersamaan begitu menakjubkan. Dia memberi es krim kesukaanku dan menyeka es yang  berantakan dari pipiku. Sungguh aku usahakan bayang-bayang dia larut searah jarum jam sehingga terbiasa melewati waktu.
Kini, anak itu menarik lengan bajuku. Berharap mendapat kasih sayang serupa seperti sebulan lalu, dan diriku akhirnya selalu terjerat dalam kebohongan tak terselesaikan. Mengaku tak tahu ia berada dimana, padahal aku selalu bertemu dengannya di kampus, bersama pacar barunya.
Di akhir putusnya hubungan kami, dia pernah berkata kapanpun ia akan mampir, kalau nanti anak itu menginginkannya datang. Kini aku mementingkan hati yang belum sembuh, karena belum ikhlas ia mudah berganti hati. Bagaimana kalau sampai dia datang kesini? aku takut jika pandangannya mematikan. Misalnya saja, nanti, aku punya kesempatan memiliki ruang sejenak saat mengantarkan anak itu kepadanya, atau misalnya aku malah ikut berbaur karena anak itu memintaku ikut bermain bersama, atau sederhananya saja, aku memilih bersih-bersih rumah tak menghiraukan mereka. Tetapi tetap sisa-sisa aroma tubuh itu yang masih terisap, aku ingat! Lagipula utamanya tak etis.Â
Dia sudah memiliki pacar. Aku tahu betul pasti lelaki itu meminta izin kepada pacarnya kalau ingin main ke rumahku, sama seperti sikapnya kepadaku saat kami masih berpacaran, selalu meminta izin kalau ingin menghubungi mantannya sewaktu itu, jika ada kepentingan. Selama ini, bisa ku tebak pacarnya sebagai mahasiswa angkatan baru tahun ini, tidak tahu kalau aku adalah mantan-nya.Â
Mereka sering berpapasan denganku sambil pacarnya memeluk lengan lelaki itu dengan kepala bersandar di bahu tanpa memerhatikanku. Bila dari kejadian ini, ia sampai tahu kalau aku adalah mantan lelaki itu, pasti suasana di kampus menjadi kurang nyaman. Terlebih aku takut dianggap seperti memanfaatkan peluang untuk lebih dekat dengan lelaki itu. Ku rasa mereka sudah bahagia. Lelaki itu sudah move on.
Sebenarnya ini semua berkat keinginanku juga. Kedekatan mereka tak lain karena keinginanku meminta lelaki itu agar memberi waktu ekstra lebih banyak untuk anak itu daripada untukku. Anak itu lebih membutuhkan perhatian. Jauh sebelum ini, ia sudah pernah mengalami kehilangan yang lebih berat, saat ia masih bayi orangtua kami sudah bercerai. Ayahku memilih pergi. Aku yang dianugrahkan sebagai pelindung keceriaannya, secara kasat mata menangkap kehilangan itu. Â Sampai saat ini pertanyaan-pertanyaannya sulit untuk kujelaskan.
Tiga bulan lalu, saat bulan penghujan, ia mengungkit-ungkit apa yang kurang di sekolah, yang menjadi alasannya ingin seperti yang lain. Teman-temannya dijemput bergiliran oleh ayah dan ibu mereka sambi memekarkan payung. Aku mencoba mengalihkannya, agar ia paham bahwa hujan yang deras meluangkan waktu untuk bunga tumbuh. Kami bisa menanam di taman sehabis hujan reda.
Sebagai anak sulung dengan berbagai ujian yang sudah menerpaku sejak belia. Â Kata orang-orang watak-ku keras. Sebetulnya sulit sekali memperlakukan adikku dengan kasih sayang yang lembut. Aku tidak pernah menyakitinya, apalagi sampai memukulnya, aku rasa aku tidak akan pernah demikian. Tidak sanggup membiarkan dia menjadi murung oleh kekhawatirannya sendiri. Aku hanya bersikap dingin dan kaku. Tidak bisa menasehatinya selembut lelaki itu. Aku memilih menolak secara mentah-mentah kalau anak itu melakukan tindakan kurang tepat. Sudah berusaha seperti lelaki itu, tetapi anak itu tak menginginkannya dariku.
Seketika angin berhembus dari jendela mengacak-ngacak poniku. Debu-debu yang tak terlalu terlihat di cela-cela kipas angin berantakan. Aku merasa begitu egois. Aku sudah menebus anak itu dengan mengajaknya jalan-jalan untuk meluruhkan keinginannya tetapi tetap ia inginkan adalah Abangnya untuk bermain bersama berjam-jam.
Suara mobil sedan tua terdengar di pelataran rumah. Seketika anak itu langsung loncat dari bangku dengan muka sumringah. Langkah kakinya anggun menggapai teriakan itu.
"Abang"
"Ia, Adek."
"Mana permen meledak-ledak dimulut?"
 "Ada kok"
"Yuk duduk dulu"
Mereka bergandengan dengan suka cita ke arah halaman.
Setelah hampir dua jam mereka bercanda, dan makan bersama, kini saatnya aku akan menemui mereka di halaman. Aku akan jujur dengan anak itu, agar dia tidak harus menunggu terus dalam waktu yang lama. Aku tidak ingin mengelak lagi. Dia harus tahu!
"Abang mau pulang?" anak itu bertanya polos.
"Iya, Abang mau pulang, kamu harus istirahat, 'kan besok sekolah"
"Abang kapan kesini lagi?"
Kedua mata yang dulunya saling melengkapi terpanah.
"Adek, kamu harus tahu, sekarang Abang sudah punya kesibukan sendiri. Sama perkuliahannya, sama teman-temannya, bukan sama Kakak lagi. Jadi, Abang akan jarang banget main kesini."
 "Iya, Abang?"
"Iya, Abang pasti main, tapi tidak sesering dulu."
"Tidak apa, yang penting abang seneng sama teman-teman baru Abang."
Kata-kata polos itu keluar tanpa dosa, merasuk hatiku sampai ke celah-celah jari terasa nyeri. Aku si rapuh, harus berhadapan dengan anak setangguh ini. Seketika aku jadi merasa seperti debur angin dan anak itu adalah tempatku bercermin. Sungguh aku malu dibuatnya.
Lelaki itu mengeluarkan mobilnya. Anak itu tersenyum manis. Hatiku jadi merasa lebih kuat sekarang.
"Adek besok kakak daftarkan kamu les renang ya, supaya bisa bertemu dengan teman-teman baru kamu ya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H