Mereka bergandengan dengan suka cita ke arah halaman.
Setelah hampir dua jam mereka bercanda, dan makan bersama, kini saatnya aku akan menemui mereka di halaman. Aku akan jujur dengan anak itu, agar dia tidak harus menunggu terus dalam waktu yang lama. Aku tidak ingin mengelak lagi. Dia harus tahu!
"Abang mau pulang?" anak itu bertanya polos.
"Iya, Abang mau pulang, kamu harus istirahat, 'kan besok sekolah"
"Abang kapan kesini lagi?"
Kedua mata yang dulunya saling melengkapi terpanah.
"Adek, kamu harus tahu, sekarang Abang sudah punya kesibukan sendiri. Sama perkuliahannya, sama teman-temannya, bukan sama Kakak lagi. Jadi, Abang akan jarang banget main kesini."
 "Iya, Abang?"
"Iya, Abang pasti main, tapi tidak sesering dulu."
"Tidak apa, yang penting abang seneng sama teman-teman baru Abang."
Kata-kata polos itu keluar tanpa dosa, merasuk hatiku sampai ke celah-celah jari terasa nyeri. Aku si rapuh, harus berhadapan dengan anak setangguh ini. Seketika aku jadi merasa seperti debur angin dan anak itu adalah tempatku bercermin. Sungguh aku malu dibuatnya.