Mohon tunggu...
Fiska Aprilia
Fiska Aprilia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen "Kehilangan" Adek, Kamu Baik-baik

13 Januari 2019   20:01 Diperbarui: 13 Januari 2019   20:12 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mereka sering berpapasan denganku sambil pacarnya memeluk lengan lelaki itu dengan kepala bersandar di bahu tanpa memerhatikanku. Bila dari kejadian ini, ia sampai tahu kalau aku adalah mantan lelaki itu, pasti suasana di kampus menjadi kurang nyaman. Terlebih aku takut dianggap seperti memanfaatkan peluang untuk lebih dekat dengan lelaki itu. Ku rasa mereka sudah bahagia. Lelaki itu sudah move on.

Sebenarnya ini semua berkat keinginanku juga. Kedekatan mereka tak lain karena keinginanku meminta lelaki itu agar memberi waktu ekstra lebih banyak untuk anak itu daripada untukku. Anak itu lebih membutuhkan perhatian. Jauh sebelum ini, ia sudah pernah mengalami kehilangan yang lebih berat, saat ia masih bayi orangtua kami sudah bercerai. Ayahku memilih pergi. Aku yang dianugrahkan sebagai pelindung keceriaannya, secara kasat mata menangkap kehilangan itu.  Sampai saat ini pertanyaan-pertanyaannya sulit untuk kujelaskan.

Tiga bulan lalu, saat bulan penghujan, ia mengungkit-ungkit apa yang kurang di sekolah, yang menjadi alasannya ingin seperti yang lain. Teman-temannya dijemput bergiliran oleh ayah dan ibu mereka sambi memekarkan payung. Aku mencoba mengalihkannya, agar ia paham bahwa hujan yang deras meluangkan waktu untuk bunga tumbuh. Kami bisa menanam di taman sehabis hujan reda.

Sebagai anak sulung dengan berbagai ujian yang sudah menerpaku sejak belia.  Kata orang-orang watak-ku keras. Sebetulnya sulit sekali memperlakukan adikku dengan kasih sayang yang lembut. Aku tidak pernah menyakitinya, apalagi sampai memukulnya, aku rasa aku tidak akan pernah demikian. Tidak sanggup membiarkan dia menjadi murung oleh kekhawatirannya sendiri. Aku hanya bersikap dingin dan kaku. Tidak bisa menasehatinya selembut lelaki itu. Aku memilih menolak secara mentah-mentah kalau anak itu melakukan tindakan kurang tepat. Sudah berusaha seperti lelaki itu, tetapi anak itu tak menginginkannya dariku.

Seketika angin berhembus dari jendela mengacak-ngacak poniku. Debu-debu yang tak terlalu terlihat di cela-cela kipas angin berantakan. Aku merasa begitu egois. Aku sudah menebus anak itu dengan mengajaknya jalan-jalan untuk meluruhkan keinginannya tetapi tetap ia inginkan adalah Abangnya untuk bermain bersama berjam-jam.

Suara mobil sedan tua terdengar di pelataran rumah. Seketika anak itu langsung loncat dari bangku dengan muka sumringah. Langkah kakinya anggun menggapai teriakan itu.

"Abang"

"Ia, Adek."

"Mana permen meledak-ledak dimulut?"

 "Ada kok"

"Yuk duduk dulu"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun