Mohon tunggu...
Fiska Aprilia
Fiska Aprilia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Persiapan

25 Oktober 2018   23:29 Diperbarui: 25 Oktober 2018   23:32 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Isi tas lengkap. Popok, minyak kayu putih, cemilan-cemilan sudah termuat, ditenteng oleh Ibu mertua. Lebih cepat, jam keberangkatan dimajukan setelah berunding untuk membawa janin yang sudah gerah di dalam perut. Tentu supaya tidak kena macet. Meluncur menerabas jalan ibu kota yang kelam.  Kala itu hampir sore, orang-orang di dalam mobil menguatkan pasien sementara mereka belum isi perut.

"Berarti kita butuh tambahan utang nih yak Bu Bidan. Ntar lakinya suruh datengin mantan Bosnya dulu deh suruh bantuin."  Bidan Suci yang memboyong dua nyawa dalam satu badan mengutuk keadaan. Matanya lesu semalaman begadang melirik lambat. "Ya Bapaknya harus cari tambahan uang Bu, takutnya kita pakai jalan Sesar."

Masa dalam jangka waktu 9 bulan tidak diberikan oleh Tuhan jalan mengurus biaya persalinan? Apakah tidak ada persiapan matang untuk menyambut kebahagiaan? Banyak hal yang membutuhkan perhatian khusus agar proses berjalan lancar. Kalau saja si Bapak mau menabung, misalnya dalam sehari lima ribu rupiah, dalam 9 bulan sudah sangat membantu. Datanglah mereka pagi tadi ke klinik Bidan Suci, tidak membawa uang sepeserpun, memohon-mohon tanpa malu meminta untuk dirujuk ke rumah sakit paling murah. Sang suami yang bertubuh bugar digelendoti istrinya yang melemah, dibaringkan ke tempat tidur klinik. Berkas-berkas identitas mereka masih di kampung sebagaimana sangat dibutuhkan sekarang untuk syarat membantu membuat kartu kesehatan dari pemerintah, agar ditanggung pembayarannya. Seakan-akan akan ada perhelatan megah dimulai tanpa ancang-ancang dulu. Langit semakin temaram menudungi gedung pencakar langit ditangkap mata bersalah sang suami, yang  menyender ke kaca mobil. Tergerus kerikil-kerikil kehidupan oleh ban mobil yang tersendat-sendat memotong jalan kereta. Di dalam mobil semua orang pengap ingin keluar dari jendela menyambut kebahagiaan yang sebentar lagi tiba. Berharap nanti masih bisa untuk mengurus kartu kesehatan setelah melahirkan. Lalu sang suami akan menggunakan jasa pos untuk menerima sesederhana surat dari kampung sampai ke tangannya apabila tujuannya demikian. Sayangnya, selama ini niatan itu ditunda menjadi masalah berarti.

Memang rumah sakit yang akan dituju menjadi sorotan semua kalangan. Belakang digadang-gadang paling mewah dan megah memanjakan Ibu kota. Infrastrukturnya bertaraf internasional dinikmati dari kejauhan oleh lalu lalang yang tidak ingin terkoneksi. Peralatannya sudah canggih untuk dipercayai. Namun tentu model tidak berpengaruh terhadap prosedur yang memperkeruh jalannya perawatan terhadap pasien. Jutaan pasien dari berbagai pelosok negeri ini mendaftar ke rumah sakit secara manual. Setelah mendapatkan rujukan dari pusat kesehatan masyarakat daerah masing-masing, ataupun dari klinik swasta yang dikhususkan menangani persalinan. Agar menjadi lebih selektif  menjurus kepada siapapun utamanya  layanan ditangani rumah sakit. Ada yang bahkan rela menempuh perjalanan lewat jalan udara agar cepat sampai ditangani di sana. Ada yang merasa segan berhari-hari menumpang dengan sanak keluarga yang ada di Ibu kota untuk menunggu kepastian jadwal operasi. Seperti keponakan Bidan Suci, menjalini operasi jantung dan berhasil, dengan iuran bulanan yang tak sebanding. Sementara itu, di mana kita akan ditempatkan? Adakah kamar kosong kelas 3 yang paling murah bagi kami?

Teringat sekitar enam bulan lalu Bidan Suci mengantarkan pasien ke rumah sakit itu. Jarang memang Bidan Suci mengoper ke sana. Biasanya, ia mengoper pasien ke rumah sakit lain yang pembagian hasil kerjasama lebih besar.  Sewaktu itu, Ia bertemu teman seprofesinya di rumah sakit itu, sedang mengantarkan pasiennya yang tertahan di ruang UGD. Tidak ada tempat untuk kartu kesehatan yang bermasalah. Pasien itu lupa membayar uang iuran selama dua bulan setelah lima bulan ia rutin bayar. Ketika ditanya mengapa tidak bayar, ia berkata bahwa cukup berat. Memang iuran hanya dua puluh lima ribu, akan tetapi kalau jumlah keluarganya ada tujuh orang cukup memberatkan. Akhirnya setelah berjam-jam baru ditangani, sampai ari-ari bayi lengket, dan meninggal dunia dengan penuh penyesalan. Proses menggunakan kartu kesehatan pun kini ada yang diperuntukan bagi orang-orang yang tidak mampu tanpa harus membayar iuran tiap bulan. Sistemnya semakin diperbaiki agar dosa-dosa tak perlu terulang lagi.

 "Lagian Bapaknya main judi online mulu Bu Bidan." "Memang judi online itu gimana Bu?"  Napas Bidan Suci sesak melihat dibangku tengah dan belakang mobil keluarga pasien  komplit memaksa desak-desakan.  "Pake chips, ntar kalo misalkan menang chipsnya bisa ditransfer jadi uang. Tapi kan kalo gitu untung-untungan. Belum pasti ya Bu Bidan." Mereka tampak keringat dingin diterpa udara dari air conditioner. Dalam hati Bidan Suci berdenyut, apakah nanti kalau tidak ada tempat kita akan lahir di mobil saya saja? Tentu Bapaknya tidak keberatan kalau harus dioper ke rumah sakit yang biayanya lebih mahal sekalipun sesar. Bapaknya pasti rela kalau harus menukar jiwanya demi si janin.  

Seketika itu sang istri berteriak-teriak histeris. "Sabar Bu, istigfar." Ibu kandung dari sang Istri malah ikut menangis. Bidan Suci mencoba menenangi keadaan. "Bu, istigfar, bayinya mungkin udah enggak tahan mau keluar. Sabar aja Bu, semua akan baik-baik"

 Pak, ada jalan lain enggak?"  

"Ini udah paling longgar Bu, kalau tadi kita lewat jalan biasa pasti enggak bergerak sama sekali."  Supir Bidan Suci mulai ambil suara memecahkan keadaan.

"Yang sabar ya Bu. Nanti anaknya kalau keluar pasti lucu.  Ini istrinya lumayan sabar loh Mas. Anak pertama tuh biasanya sampe nendang-nendang. Mas harus kuat nih nanti cari duitnya." Bidan Suci mencoba memberi perhatian kepada si Bapak. "Ia nanti saya akan usahakan." Sang suami mengelap keringet istrinya yang bercucuran di dahi. Bidan Suci selalu berbasa-basi memberi tablet penenang yang sudah lama tak terpakai karena klinik sepi. Semenjak kartu  kesehatan beroperasi, klinik swasta seketika drastis sepi pasien. Banyak bidan swasta gulung tikar di wilayah Ibu kota. Sudah mencoba kerjasama dengan pemerintah, dengan cara klinik bidan bisa ikut program kartu kesehatan bagi para pasiennya, akan tetapi, sama saja seperti kerja bakti. Satu pasien dibiayai tujuh ratus ribu, seperti pendapatan  "orang pinter" yang terpercaya di kompleksnya, yang berani menolong dengan segala pengalamannya yang luar biasa dan keterampilannya, dan cairnya pun lama, hingga 4 bulanan seperti penulis majalah. Sementara itu bidan butuh obat-obatan yang dipakai oleh pasien dengan pemakaian tak pasti jika penangan beresiko menyebabkan harus ada tambahan obat.  Selain itu juga, untuk data-data pasien yang akan diberikan kepada pemerintah agar diolah harus lengkap. Data-data itu bisa dicurigai kalau dalam pengisian kurang jelas, entah waktu pasien tiba ke klinik, lahir pukul berapa, dan takaran-takaran mengenai kesehatan dan sebagainya.  Makanan pasien juga butuh disuguhkan paska lahiran. Bidan swasta tentu berdiri sendiri mempersiapkan segala kemungkinan. Terlalu besar tanggung jawab bidan mengikuti perantara kartu kesehatan. Termasuk  tak sanggup kalau harus  membayar para suster yang ikut menolong, yang ada menomboki. Patut diacungi jempol kalau jaman sekarang masih berani nolong pasien sendirian, melihat semakin banyak kelahiran yang bermasalah karena asupan makanan yang semakin tidak sehat saja.

Sebetulnya banyak juga bidan swasta yang pada akhirnya ingin ikut kerjasama dengan program pemerintah itu. Akan tetapi, tak dapat kesempatan karena kliniknya ada di gang kecil. Itu tidak memenuhi syarat kelayakan, sementara di Ibu Kota ini, gang-gang kecil terlahir dari apitan rumah yang padat. Surat-surat izin praktek pun harus lengkap. Bidan diwajibkan kuliah lagi sesuai ijazah yang dibutuhkan untuk memenuhi syarat izin praktek. Di sisi lain ada saja anak-anak mahasiswa yang baru keluar dari universitas ternama mencoba magang di gubuknya yang kecil itu. Dengan fasilitas pas-pasan, klinik swasta yang tersebar di berbagai titik Ibu Kota ternyata berpeluang besar menyerap tenaga kerja. Sayang sekali kalau terabaikan.

Jalur bawah yang kami lalui tetap kena macet. Cuaca semakin mendung di bulan penghujan ini. Telah disiapkan dari klinik beberapa payung di taruh bawah bangku mobil. Para pengendara motor, mobil, bus, dan alat transportasi lain saling berhimpitan di jam-jam sibuk. Sepanjang itulah kami tabah mendengar teriakan dari calon Ibu yang ternyata mulai rewel seperti meminta terus ditangani. Dibukalah kaca mobil agar udara semakin leluasa. "Bu Bidan memang gak bisa lahiran normal?" Mertua pasien ini memang paling ribet merasa tertipu anaknya dioper. Menurut keterangan keluarga, saat  hamil  hampir setiap hari, selesai solat subuh, sang istri menyantap mie instan, bubur instan, apapun yang instan-instan, yang rasanya sangat gurih sekali. Suaminya yang masih naf mengikuti kemauan bayi. Kini kakinya membengkak. Terlalu bahaya untuk di tolong sendiri sejak bidan suci pertama kali melihatnya. Mertua si istri menyangka Bidan suci tidak ingin ribet, maunya mengoper ke rumah sakit saja, lalu bisa sambil ongkang-ongkang kaki menerima penghasilan. Desas-desus itu terdengar dari ibu-ibu satu kompleks di daerah kliniknya itu. Padahal tak perlu diragukan, anak-anak yang numpang lahir ditempat Bidan Suci sudah sangat banyak di daerah kompleks itu dan telah tumbuh dewasa. Kalau bertemu dengannya suka cium tangan seperti ketemu guru ngaji. Lagi pula sang mertua harusnya bersyukur karena perantara dari bidan lebih murah. Kalau mereka datang sendiri ke rumah sakit belum tentu bisa semurah pembayaran nanti.

Bidan Suci tak berani sejak melihat pasien itu datang terlambat ke klinik. Tak mau menangani dengan resiko alat-alat yang kurang canggih. Kalau ada apa-apa bisa dipenjara. Seperti kejadian bidan Desi, temannya, yang perizinan prakteknya di cabut karena tidak cepat mengoper ke rumah sakit sampai pasien meninggal di rumahnya yang kusam menurut aparat pemerintah, saat mengecek standarisasi klinik swasta yang baik. Sekarang berganti alih profesi jadi penjual Es Tebu sembari berharap menumpang surat perizinan praktek dari anaknya sehabis kuliah bidan juga. Bidan Desi masih optimis dan berencana kembali buka klinik yang sulit mendapatkan pasien itu. Berbeda dengan teman-temannya yang menjajali bisnis lain.

"Mas ini pelajaran ya, lain kali enggak boleh datang beberapa saat pas mau lahiran kalau pembukaannya udah lengkap bisa berojol. Kita harus tetep usahain istri dikontrol selama 9 bulan. Padahal masih anak pertama loh Mas, biasanya antusias kan kita ya Bu kalau anak pertama?"

 "Iya Bu Bidan, ini mah udah kartu  kesehatan enggak diurus, istri juga enggak di liatin sama Bu Bidan, jadi makan juga sembarang."

"Bahaya loh Bu, kalau dateng ke saya cuma mau lahiran. Dateng cuma sekali periksa kehamilan, saya inget banget. Kalau sama bidan lain duh udah dimaki-maki Bu. Lain kali diawasin Bu"

"Gimana mau diawasin Bu, orang kalau saya tanya istri kamu udah diperiksa belum, jawabannya udah. Ya saya juga gak bisa ngontrol terus, pan jauh ngiterin kue."

Rintik-rintik hujan turun menyambut kami. kami kebasahan ingin cepat-cepat menyebrang dari mobil ke ruangan UGD. Satpam siap siaga di depan pintu UGD menyuguhkan kursi roda.

Sampai rumah sakit tersebut, Bidan Suci mulai kerepotan menghubungi petugas sana-sini. Ternyata sistem sekarang lebih cepat. Pasien langsung dapat ditangani dengan cepat. Jauh berbeda seperti beberapa bulan lalu. Pasien pakai kartu kesehatan memang antri, wajar, seperti fasilitas yang disediakan di negeri ini, yang sebagian besar antri -  melihat jumlah penduduk yang sangat padat. Tapi sistemnya semakin agak cepat. Seperti semua setara di tempat ini. Pasien yang darurat mendapat penangan yang cepat diutamakan. Tak melihat kelas apa yang dipilih. Kami hanya lima menit mendapatkan pelayanan yang kami inginkan. Pantas klinik Bidan Suci semakin bangkrut. Kami melewati lorong-lorong rumah sakit yang indah. Dipinggir-pinggirnya tertanam bunga merambat dengan pot yang besar. Semakin ke pojok, ruangan semakin dingin dan tampak bersih. Namun muka sang suami tetap murung.

 Sesampai di ruangan bersalin, pasien langsung diperiksa. Sang Ibu sudah mulai ketakutan seperti meminta perlindungan. Kontraksi berkali-kali dirasa hingga erangan mulai keluar. Sang istri mondar-mandir ruangan agar persalinan makin cepat. Ia sempat diurut-urut. Dokter meminta mencari posisi aman.   Suami menggenggam tangan memberi kekuatan. Bidan di rumah sakit beberapa telah berkumpul menyiapkan peralatan. Bidan Suci ikut melancarkan aba-aba ketenangan. Suami itu sangat sabar dicubit, dipukul-pukul, hingga tangannya memerah. Cukup lama persalinan ini berlangsung, terlihat sang istri sudah putus asa kecapean. Dieluslah rambutnya oleh sang suami yang melihat betapa perjuangan cinta sangat besar. Peralatan-peralatan beterbangan. Betapa terlihat syaraf-syaraf pasien menegang, bahkan terputus tak bisa tergantikan oleh sang anak yang mungkin nanti beranjak dewasa. Air dipercikan ke muka istri supaya tetap sadar. air diberikan pakai sedotan ke mulutnya yang mencut doa-doa sebagai sebuah harapan. Keringat-keringat bercucuran membasahi mereka semua. Bidan Suci ikut mengelapi darah yang menetes ke lantai dekat kaki dokter dengan lap yang tersedia. Lampu menerawang pergerakan. Elusan dan kasih sayang tak henti-henti. Setelah itu bidan suci memutuskan keluar ruangan agar tidak terlalu penuh. Memang tidak dianjurkan ia menolong dengan keadaan tidak steril. Di luar Bidan Suci langsung mengecek grup media sosial dari telepon genggamnya.

Dokter meyakini pasien dapat melahirkan normal. Mereka dengan tabah menjalani semua itu. Sampai akhirnya suara nyaring itu terdengar membuka sepanjang hari penantian. Sosok suci yang ditunggu-tunggu hadir diringi tangisan yang membuat siapapun luruh. Tersenyumlah sang Bapak mendekap malaikat hebat itu.

Sanak keluarga menyambutnya dengan suka cita di ruang inap ketika sang istri datang. Sang istri menangis sejadi-jadinya digenggam pria yang tak mewah tetapi selalu tabah menemaninya. Tak ada lagi kerisauan, tak ada lagi wajah-wajah murung. Melihat kebahagiaan itu, Bidan Suci keluar ruangan inap. Ia berniat untuk menginap di sana untuk memantau sampai pasien pulang, lagian sudah lewat tengah malam. Tak terasa waktu begitu cepat. Supirnya sudah ia izinkan pulang ke rumah mengantarkan anak-anak sanak keluarga pasien yang masih kecil-kecil. Kini yang menemani sang istri hanya tiga orang. Ibu mertua, suaminya, dan kakak ipar perempuan.

Sejujurnya di luar ruangan yang dingin di rumah sakit ini Bidan Suci begitu takut. Sudah banyak hal ia temukan di rumah sakit ini sejak masih tinggal di asrama rumah sakit ini sewaktu kuliah. Dulu, belum seramai sekarang, pohon-pohon besar mengelilingi lebat daripada beton-beton tinggi. Pernah ia dibangunkan dengan sesosok perempuan berambut panjang dengan baju putih menjuntai tanpa kaki menunjuknnya sambil melotot. Ia berlarian ke luar ruangan. Setelah diusut ternyata wanita itu serupa dengan foto yang ada di ruangan bayi. Barangkali ia marah dengan Bidan Suci karena tertidur di ruangan bayi, tak menghiraukan bayi yang nangis. Pernah juga ia bertemu dengan suster yang mirip dengan pasien yang di dorong seseorang melewatinya. Pernah ia bertemu sesosok yang kecil di kamar mandi ketika ospek sedang dikurung kakak kelasnya di kamar mandi lantai 5. Makanya Bidan Suci memutuskan ingin menunggu di restoran cepat saji ala western saja yang buka 24 jam. Ia ingin makan burger dan secangkir kopi hangat. Letaknya tepat di depan rumah sakit ini. Namun kakinya sangat pegal. Ia ingin selonjoran dulu. Terlalu lelah ia genap dua hari begadang. Semilir angin menghempaskan rambutnya. Di depannya menjulang taman rumah sakit yang ditengah-tengahnya ada pohon beringin besar. Tiba-tiba ia kedatangan pasien yang baru saja lahiran di dorong ibu mertua pakai kursi roda tepat di sebelah bidan suci. Ibu mertua kembali ke dalam kamar pasien.

"Ada yang dikeluhin Bu?" Bidan suci menegur. Pasien itu melihatnya tersenyum.

"tidak Bu."

 Dari kejauhan terlihat dua orang dokter pria jalan mengangkang melewati taman. Postur tubuhnya tinggi proposional, hidungnya mancung, ganteng sekali. Mereka saling mengobrol ke arah Bidan Suci. Semakin dekat, terlihat wajah keduanya blasteran. Mungkin dari negeri sebrang. Namun semakin mendekat rasa-rasanya semakin aneh. Kakinya berbentuk huruf O dan bergoyang-goyang, mulut mereka ngobrol seperti orang mengunyah makan dengan sangat lahap sehingga seluruh muka ikut bergoyang. Rahang pipinya pucat mengembang.

" Selamat malam, Dok."

Bidan suci menegur tetapi tiba-tiba keduanya menghilang.

Seketika munculah setelah itu sesosok sebesar pohon dengan sekujur tubuhnya dipenuhi rambut lebat ingin menerkamnya dan memasukannya ke dalam goa di atas pohon yang terbuka. Bidan suci berlari cepat. Dari kejauahan pasien itu ia suruh mendekatinya, akan tetapi pasien mengarahkan kursi roda ke ruang bersalin di mana ada bayinya di dalamnya.

"Bu, bangun Bu. Saya tidak terima! Kasus ini bakalan saya perpanjang! Ibu seenak-enaknya ongkang-ongkang kaki di sini! Saya bakalan tuntut ibu! Istri saya meninggal pendarahan tadi pagi! Ibu tau gak! Ibu malah di sini ! Dokter minta tanda tangan Ibu!  Saya dari pagi cari biaya, Ibu di sini gak bertanggung jawab jagain istri saya!  Saya bakalan tuntut Ibu!

 Restoran cepat saji yang belum ada pengunjung pagi itu, diisi oleh kericuhan. Para pelayan melihat ke arah mereka sampai sang suami yang selama ini sabar pergi membanting pintu restoran.

Karya ini murni lahir dari saya, Fiska Aprilia Ibtiyah Arli, sebagai penulis tunggal.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014

a. bahwa hak cipta merupakan kekayaan intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mempunyai  peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan  kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni,  dan sastra, sudah demikian pesat sehingga memerlukan peningkatan  pelindungan dan jaminan kepastian hukum bagi pencipta, pemegang Hak  Cipta, dan pemilik Hak Terkait;

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun