Mohon tunggu...
Fiska Aprilia
Fiska Aprilia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Persiapan

25 Oktober 2018   23:29 Diperbarui: 25 Oktober 2018   23:32 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalur bawah yang kami lalui tetap kena macet. Cuaca semakin mendung di bulan penghujan ini. Telah disiapkan dari klinik beberapa payung di taruh bawah bangku mobil. Para pengendara motor, mobil, bus, dan alat transportasi lain saling berhimpitan di jam-jam sibuk. Sepanjang itulah kami tabah mendengar teriakan dari calon Ibu yang ternyata mulai rewel seperti meminta terus ditangani. Dibukalah kaca mobil agar udara semakin leluasa. "Bu Bidan memang gak bisa lahiran normal?" Mertua pasien ini memang paling ribet merasa tertipu anaknya dioper. Menurut keterangan keluarga, saat  hamil  hampir setiap hari, selesai solat subuh, sang istri menyantap mie instan, bubur instan, apapun yang instan-instan, yang rasanya sangat gurih sekali. Suaminya yang masih naf mengikuti kemauan bayi. Kini kakinya membengkak. Terlalu bahaya untuk di tolong sendiri sejak bidan suci pertama kali melihatnya. Mertua si istri menyangka Bidan suci tidak ingin ribet, maunya mengoper ke rumah sakit saja, lalu bisa sambil ongkang-ongkang kaki menerima penghasilan. Desas-desus itu terdengar dari ibu-ibu satu kompleks di daerah kliniknya itu. Padahal tak perlu diragukan, anak-anak yang numpang lahir ditempat Bidan Suci sudah sangat banyak di daerah kompleks itu dan telah tumbuh dewasa. Kalau bertemu dengannya suka cium tangan seperti ketemu guru ngaji. Lagi pula sang mertua harusnya bersyukur karena perantara dari bidan lebih murah. Kalau mereka datang sendiri ke rumah sakit belum tentu bisa semurah pembayaran nanti.

Bidan Suci tak berani sejak melihat pasien itu datang terlambat ke klinik. Tak mau menangani dengan resiko alat-alat yang kurang canggih. Kalau ada apa-apa bisa dipenjara. Seperti kejadian bidan Desi, temannya, yang perizinan prakteknya di cabut karena tidak cepat mengoper ke rumah sakit sampai pasien meninggal di rumahnya yang kusam menurut aparat pemerintah, saat mengecek standarisasi klinik swasta yang baik. Sekarang berganti alih profesi jadi penjual Es Tebu sembari berharap menumpang surat perizinan praktek dari anaknya sehabis kuliah bidan juga. Bidan Desi masih optimis dan berencana kembali buka klinik yang sulit mendapatkan pasien itu. Berbeda dengan teman-temannya yang menjajali bisnis lain.

"Mas ini pelajaran ya, lain kali enggak boleh datang beberapa saat pas mau lahiran kalau pembukaannya udah lengkap bisa berojol. Kita harus tetep usahain istri dikontrol selama 9 bulan. Padahal masih anak pertama loh Mas, biasanya antusias kan kita ya Bu kalau anak pertama?"

 "Iya Bu Bidan, ini mah udah kartu  kesehatan enggak diurus, istri juga enggak di liatin sama Bu Bidan, jadi makan juga sembarang."

"Bahaya loh Bu, kalau dateng ke saya cuma mau lahiran. Dateng cuma sekali periksa kehamilan, saya inget banget. Kalau sama bidan lain duh udah dimaki-maki Bu. Lain kali diawasin Bu"

"Gimana mau diawasin Bu, orang kalau saya tanya istri kamu udah diperiksa belum, jawabannya udah. Ya saya juga gak bisa ngontrol terus, pan jauh ngiterin kue."

Rintik-rintik hujan turun menyambut kami. kami kebasahan ingin cepat-cepat menyebrang dari mobil ke ruangan UGD. Satpam siap siaga di depan pintu UGD menyuguhkan kursi roda.

Sampai rumah sakit tersebut, Bidan Suci mulai kerepotan menghubungi petugas sana-sini. Ternyata sistem sekarang lebih cepat. Pasien langsung dapat ditangani dengan cepat. Jauh berbeda seperti beberapa bulan lalu. Pasien pakai kartu kesehatan memang antri, wajar, seperti fasilitas yang disediakan di negeri ini, yang sebagian besar antri -  melihat jumlah penduduk yang sangat padat. Tapi sistemnya semakin agak cepat. Seperti semua setara di tempat ini. Pasien yang darurat mendapat penangan yang cepat diutamakan. Tak melihat kelas apa yang dipilih. Kami hanya lima menit mendapatkan pelayanan yang kami inginkan. Pantas klinik Bidan Suci semakin bangkrut. Kami melewati lorong-lorong rumah sakit yang indah. Dipinggir-pinggirnya tertanam bunga merambat dengan pot yang besar. Semakin ke pojok, ruangan semakin dingin dan tampak bersih. Namun muka sang suami tetap murung.

 Sesampai di ruangan bersalin, pasien langsung diperiksa. Sang Ibu sudah mulai ketakutan seperti meminta perlindungan. Kontraksi berkali-kali dirasa hingga erangan mulai keluar. Sang istri mondar-mandir ruangan agar persalinan makin cepat. Ia sempat diurut-urut. Dokter meminta mencari posisi aman.   Suami menggenggam tangan memberi kekuatan. Bidan di rumah sakit beberapa telah berkumpul menyiapkan peralatan. Bidan Suci ikut melancarkan aba-aba ketenangan. Suami itu sangat sabar dicubit, dipukul-pukul, hingga tangannya memerah. Cukup lama persalinan ini berlangsung, terlihat sang istri sudah putus asa kecapean. Dieluslah rambutnya oleh sang suami yang melihat betapa perjuangan cinta sangat besar. Peralatan-peralatan beterbangan. Betapa terlihat syaraf-syaraf pasien menegang, bahkan terputus tak bisa tergantikan oleh sang anak yang mungkin nanti beranjak dewasa. Air dipercikan ke muka istri supaya tetap sadar. air diberikan pakai sedotan ke mulutnya yang mencut doa-doa sebagai sebuah harapan. Keringat-keringat bercucuran membasahi mereka semua. Bidan Suci ikut mengelapi darah yang menetes ke lantai dekat kaki dokter dengan lap yang tersedia. Lampu menerawang pergerakan. Elusan dan kasih sayang tak henti-henti. Setelah itu bidan suci memutuskan keluar ruangan agar tidak terlalu penuh. Memang tidak dianjurkan ia menolong dengan keadaan tidak steril. Di luar Bidan Suci langsung mengecek grup media sosial dari telepon genggamnya.

Dokter meyakini pasien dapat melahirkan normal. Mereka dengan tabah menjalani semua itu. Sampai akhirnya suara nyaring itu terdengar membuka sepanjang hari penantian. Sosok suci yang ditunggu-tunggu hadir diringi tangisan yang membuat siapapun luruh. Tersenyumlah sang Bapak mendekap malaikat hebat itu.

Sanak keluarga menyambutnya dengan suka cita di ruang inap ketika sang istri datang. Sang istri menangis sejadi-jadinya digenggam pria yang tak mewah tetapi selalu tabah menemaninya. Tak ada lagi kerisauan, tak ada lagi wajah-wajah murung. Melihat kebahagiaan itu, Bidan Suci keluar ruangan inap. Ia berniat untuk menginap di sana untuk memantau sampai pasien pulang, lagian sudah lewat tengah malam. Tak terasa waktu begitu cepat. Supirnya sudah ia izinkan pulang ke rumah mengantarkan anak-anak sanak keluarga pasien yang masih kecil-kecil. Kini yang menemani sang istri hanya tiga orang. Ibu mertua, suaminya, dan kakak ipar perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun