Mohon tunggu...
Fisio Yuliana
Fisio Yuliana Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Praktisi Fisioterapi

Perkuat literasi dengan membaca! Sebuah Halaman yang membagikan kualitas kesehatan mental, fisik, gerak tubuh, dan hubungan manusia. Bacalah 1 artikel setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Mengapa Banyak Orang Takut Memiliki Anak pada Masa Kini?

11 September 2024   16:15 Diperbarui: 12 September 2024   11:47 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini merupakan opini, ditulis dari sudut pandang penulis. Informasi yang terkandung dalam penulisan merupakan realitas kehidupan sehari-hari. 

Anak dan Rejeki

Anak adalah berkat dan anugerah yang dititipkan oleh Yang Maha Kuasa. Kehadiran anak-anak dapat membawa kegembiraan, kebahagiaan, kedamaian, dan cinta kasih baik dalam keluarga dan masyarakat.

Anak-anak merupakan simbol masa depan dan generasi penerus eksistensi manusia itu sendiri. Setiap anak yang lahir akan berjalan menuju kedewasaan dan mewarisi segala hal yang ada di muka bumi ini.

Anak yang lahir dari buah cinta kedua orang tuanya  dapat menjadi cahaya dalam keluarga. Kehadirannya dinanti dan kedatangannya disambut dengan suka cita.

Seorang ibu sudah berjuang keras selama 9 bulan mengandung sang anak dan tentu berbahagia menyongsong kelahiran buah hati.

Begitu pula seorang ayah sangat terharu dan bersyukur dengan perjuangan istrinya dalam melahirkan anak yang sehat. Kehadiran anak dapat semakin menguatkan cinta dan mengikat kasih dalam hubungan keluarga antara suami dan istri. 

Orang jaman dahulu memiliki prinsip, "ada anak ada rezekinya". Pepatah ini memiliki sisi positif dimana orang-orang yang menikah berupaya menghasilkan anak sebanyak-banyaknya.

Orang dahulu hidup dengan keadaan ekonomi yang sulit namun memiliki banyak anak. Anak-anak yang lahir dibesarkan dengan kasih sayang walau dalam kondisi sulit. 

Seorang ayah dan ibu pada jaman dahulu bekerja dengan menggendong anaknya yang masih balita dan bahkan masih bayi. Mereka bekerja dalam sektor informal seperti menjadi buruh, petani, pemetik buah atau sayuran, penebas rumput, dan sebagainya. Anak yang sudah dapat beraktivitas, biasanya mengikuti orang tuanya bekerja.

Walau masih kecil, anak-anak tersebut dapat melakukan kegiatan ringan seperti mengangkat kayu-kayu kecil, memungut buah atau sayuran yang terjatuh, dan menepikan rumput yang sudah ditebas. 

Sumber: unsplash.com
Sumber: unsplash.com

Anak yang lahir dari keluarga dengan ekonomi sulit, sebagian besar ikut berjuang bersama orang tuanya untuk mempertahankan hidup. Bagi mereka terus berjuang dan berusaha keras dapat mengubah nasib anak-anak mereka di masa depan.

Oleh karena itu orang tua jaman dahulu yang melatih anaknya untuk hidup mandiri dan berjuang cenderung memupuk mental anak yang kuat dan sabar dalam menjalani kehidupan.

Setiap anak yang lahir memiliki rejeki hidupnya sendiri. Setiap anak pantas mendapatkan cinta dari orang tua dan orang di sekelilingnya.

Seorang anak yang lahir, ia bagaikan selembar kertas putih. Walau ini pepatah yang klise, namun ini sungguh benar adanya. Bila seorang anak diperlakukan dengan baik sejak ia dilahirkan, ia akan menjadi berlian bagi masa depan dirinya, keluarganya, dan orang di sekelilingnya.

Sebaliknya, jika ia dibesarkan dengan amarah dan kekerasan, maka ia akan menjadi pisau bagi masa depannya, keluarganya, dan bagi hidup orang lain. 

Orang tua jaman dahulu memang banyak yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya, namun anak-anak tersebut banyak yang memiliki kecerdasan tinggi.

Anak cerdas dengan keadaan keluarga sulit, biasanya akan berjuang untuk hidup lebih baik dengan terus belajar hingga dapat terus bersekolah dengan bantuan beasiswa.

Mereka tidak menyerah pada keadaan, hanya pendidikanlah yang dapat mengubah nasib hidup. Mereka berpendidikan tinggi dan menjadi cendekiawan di masa depan. 

Selain itu, banyak juga anak yang cerdas dalam berwirausaha sederhana meniru kegiatan orang dewasa di sekitarnya, sehingga mereka terus berlatih dan melakukan trial and error sampai bisnisnya besar di masa depan.

Maka banyak kita dengar orang sukses dalam berbagai bidang ternyata memiliki latar belakang keluarga yang sulit di masa dahulu. Ketika kita melihat orang besar di masa sekarang, dimana mereka merupakan orang yang berpengaruh di suatu negara, seorang pemimpin di universitas, Jaksa termasyhur, dan pemilik gurita bisnis, kita belajar memahami bahwa kehidupan itu terus melangkah maju dan hidup hari ini untuk masa depan. 

sumber: unsplash.com
sumber: unsplash.com

Karakter Seseorang Dibentuk dari Orang Tua

Seorang anak merupakan cerminan kedua orang tuanya. Perilaku dan cara pandang seseorang terbentuk dari bagaimana ia diasuh oleh orang tuanya sejak masa kanak-kanaknya.

Selain itu, karakter anak juga dibentuk oleh lingkungan sekitarnya dan warisan genetik dari kedua orang tuanya. Seorang dewasa cenderung mengingat masa kanak-kanaknya, jika ia mendapat luka dari masa kecilnya, luka itu akan membentuk dirinya yang pemarah, rapuh, pendendam, mudah sensitif, dan pemurung. 

Banyak orang mengalami luka masa kecil. Mereka tumbuh menjadi pribadi yang rentan terhadap permasalahan mental. Orang tua yang bercerai, tidak rukun, suami istri sering silent treatment, dan tidak peduli satu sama lain sangat mempengaruhi kondisi kejiwaan anak.

Anak mempelajari keadaan di sekitarnya, terutama yang terdekat yaitu hubungan kedua orang tuanya. Perangai orang tua yang demikian semakin memperburuk keadaan rumah dan membuat suasana tidak nyaman sehingga anak mulai merasakan keegoisan orang tua yang melukai hatinya. 

Orang tua yang mendidik dan membentuk anaknya untuk mampu hidup mandiri sejak kecil akan membentuk anak dengan karakter sedemikian rupa. Bila orang tua mendidik anak dengan pengertian etika, disiplin, dan bertanggung jawab, maka demikian pula karakter anak ketika ia dewasa kelak. 

Karakter anak yang penuh kemandirian dan disiplin banyak dimiliki oleh orang dewasa yang dididik oleh orang tua generasi boomer yang memiliki ekonomi sulit dan segala hal menuntut tanggung jawab dan kemandirian.

Anak-anak dahulu sejak kecil sudah dididik untuk bertanggung jawab dengan kebersihan diri sendiri dimana pada usia 3 tahun anak sudah mandi sendiri, berpakaian sendiri, mencuci piring, menjaga adiknya, dan bahkan mengambil makanan sendiri yang telah disiapkan oleh sang Ibu.

Sementara orang tua pergi bekerja, anak-anak mereka dibiarkan di rumah, dimana anak yang agak lebih besar akan membantu menjaga adiknya dan memberinya susu. 

Kehidupan orang dahulu boleh dibilang memang sangat mandiri, tetapi dengan pola asuh seperti itu, sang anak terbiasa untuk menjalani hidup mandiri. Bahkan, penerapan pola asuh mandiri dari orang tua jaman dahulu ini, masih banyak diterapkan oleh orang tua di pedesaan pada jaman sekarang. Faktor yang mendasarinya yakni permasalahan ekonomi. Orang tua berusaha mencukupi kebutuhan hidup keluarga dan membesarkan anak-anaknya. 

Orang tua yang mendidik anaknya dengan memanjakan segala kebutuhan hidup sang anal akan menjadikan anak pribadi yang manja, tidak memiliki jiwa pejuang hidup, mudah mengeluh, dan cepat menyerah jika menghadapi kesulitan.

Karakter manja pada anak lebih banyak terjadi pada anak dengan orang tua yang makmur dalam hal ekonomi. Orang tuanya memberikan kemakmuran hidup sehingga anak kurang mandiri. Walau tidak semua orang tua kaya mendidik anaknya dengan kemewahan dan kemudahan berbagai akses dalam hidup. 

Sedangkan orang tua yang membesarkan anaknya dengan kekerasan dan pengabaian akan membentuk anak dengan karakter pemarah, pendendam, dan tidak segan menyakiti orang lain.

Orang tua demikian akan membentuk anak dengan penyimpangan kepribadian. Bila anak tersebut dewasa dan menikah, anak-anaknya akan mendapat pengasuhan yang kurang lebih sama dengan pola asuh seperti di masa ia kecil, sehingga anak-anaknya juga mewarisi penyimpangan karakter. 

Demikian pembentukan karakter pada setiap orang. Orang yang dibesarkan dengan cinta akan mewarisi cinta, bila orang dibesarkan dengan luka maka ia akan mewarisi luka tersebut. Luka masa kecil yang mendalam pada seseorang dapat menyebabkan traumatik dan penyebab depresi. Gambaran yang diingatnya semasa kecil terus menghantui dirinya di saat dewasa. Seseorang dengan luka masa kecil perlu mendapatkan bantuan profesional agar mengalami pemulihan batin. 

Sumber:unsplash.com
Sumber:unsplash.com

Populasi Anak-anak di Masa Depan

Pada era modern ini, anak-anak di seluruh dunia terutama di negara maju sudah mengalami penurunan populasi. Setiap tahun, angka kelahiran anak menurun secara bertahap dan bahkan menurun drastis bersaing dengan angka kematian yang semakin tinggi di sejumlah negara besar. Populasi dewasa dan lanjut usia lebih besar dibandingkan populasi anak di berbagai belahan dunia.

Negara Jepang mengalami depopulasi yang paling signifikan dimana beredar informasi bahwa sekolah taman kanak-kanak dan sekolah dasar banyak yang tutup karena tidak adanya murid baru pada beberapa tahun belakangan. Seringnya tidak ada murid baru menandakan jumlah anak-anak yang mendekati usia pra sekolah sama sekali tidak ada. 

Bahkan ada satu sekolah di daerah pinggiran salah satu desa kecil di Jepang yang murid SMA nya hanya 1, ketika anak itu tamat SMA, sekolah tersebut baru ditutup. Selama tiga tahun belakangan tidak ada satu pun murid baru di sekolah tersebut. Dalam artian, tidak ada anak usia sekolah di daerah tersebut. 

Desa dan kota kecil di Jepang banyak dihuni oleh populasi dewasa dan lansia, anak muda banyak merantau ke kota besar seperti Tokyo, di mana di sana orang dewasa muda hanya bekerja dan hidup sendiri, mereka tidak terpikir untuk menikah dan memiliki anak.

Tingginya biaya kebutuhan hidup dan pertimbangan biaya besar dalam membesarkan anak membuat orang muda di Jepang tidak tertarik untuk menikah dan memiliki anak. Bahkan pemerintah di sana memberikan tunjangan bila pasangan muda mau menikah dan memiliki anak, hal ini tetap tidak menarik perhatian anak muda di sana. 

Bagi anak muda di Jepang, bekerja dan berkarir lebih adalah hal yang utama. Pendidikan mereka semakin tinggi dan mereka menganggap bahwa berumah tangga terlalu merepotkan. Apalagi memiliki anak, otomatis tanggung jawab semakin besar.

Selain itu, tuntutan tugas kerja yang tinggi dan jam kerja yang padat menyebabkan tekanan besar bagi mereka, sehingga tidak ada waktu untuk menjalin kehidupan dengan orang lain. Sejumlah faktor inilah yang menyebabkan dewasa muda di Jepang lebih fokus untuk menghidupi diri sendiri.

Selain di Jepang, depopulasi anak-anak juga terjadi di Korea, Eropa, Amerika, bahkan Cina. Dahulu negara Cina dijuluki negara dengan populasi tinggi, setiap tahun angka kelahiran sangat tinggi.

Namun semakin tahun, setelah penerapan program pemerintah Cina yang membatasi setiap keluarga hanya boleh memiliki 2 anak, perlahan negara tersebut mengalami penurunan angka kelahiran. Bahkan dewasa muda di Cina juga banyak tidak tertarik untuk menikah dan memiliki anak.

Sumber:unsplash.com
Sumber:unsplash.com

Semakin tingginya perkembangan jaman dan perubahan teknologi disertai dengan tuntutan hidup yang semakin tinggi, membuat orang dewasa muda di sejumlah negara tidak lagi memikirkan generasi penerus. Ada negara yang membuka kesempatan orang dari negara lain untuk berimigrasi ke negara tersebut, asalkan mau menikah dan memiliki anak di negaranya. 

Selain itu, akibat penurunan jumlah kelahiran dan orang muda di berbagai negara membuat beberapa negara mengalami penurunan populasi. Sejumlah negara mengalami krisis kurangnya tenaga kerja yang akhirnya memaksa untuk mengimpor pekerja ke negaranya. Contohnya Jepang dengan populasi lansia yang tinggi, dimana kurangnya tenaga kerja yang dapat bekerja sebagai perawat lansia, menyebabkan negara Jepang mengimpor perawat lansia dari berbagai negara termasuk Indonesia. 

"Orang-orang di berbagai negara lebih tertarik untuk memelihara kucing dan anjing dibandingkan anak-anak", demikian yang disinggung oleh Paus Fransiskus saat melawat ke Indonesia pada 3-6 September 2024 kemarin.

Pendapat ini memang realita, ironinya populasi kelahiran anak kucing dan anjing setiap tahunnya mengalami peningkatan. Saat ini dunia sudah mengalami krisis populasi anak. Mengapa demikian?

Kembali lagi, orang pada era modernisasi cenderung lebih self sentris dimana orang-orang muda tidak mau dipusingkan dengan kehidupan dan komitmen dalam berumah tangga apalagi membesarkan anak. 

Jika setiap tahun angka kelahiran anak semakin menurun, maka pada masa depan bumi akan mengalami kekurangan populasi manusia. Dunia akan dipenuhi  oleh orang dewasa dan lansia. Pada masa kini orang-orang muda banyak ditakuti dengan  segudang kesulitan membesarkan anak dimulai dari biaya persalinan hingga biaya pendidikan anak yang cenderung meningkat setiap tahunnya.

Biaya pendidikan tidak lagi murah, bahkan saat ini SPP taman kanak-kanak di sejumlah kota besar rata-rata di atas 1 juta rupiah per bulannya. Kenaikan biaya pendidikan anak tidak sebanding dengan kenaikan upah pekerja. Hal inilah yang menjadi pertimbangan besar beberapa pasangan yang sudah menikah menunda memiliki anak bahkan tidak ingin memiliki anak. 

Sumber:unsplash.com
Sumber:unsplash.com

Kehidupan tidak Selalu Menakutkan Jika Memiliki Anak

Kehidupan manusia saat ini memang banyak mengalami evolusi dalam berbagai lini bidang kehidupan. Dampak perubahan besar yaitu di bidang teknologi. Kemudahan hidup dengan bantuan inovasi teknologi ternyata mampu memanjakan kehidupan manusia. Akibatnya, manusia lebih banyak berinteraksi dengan teknologi ketimbang berinteraksi dengan sesama manusia. Maka dapat kita simpulkan, banyak orang dewasa muda lebih nyaman dengan hidup sendiri dan merasa bebas melakukan apa saja tanpa ikatan dengan orang lain.

Orang dahulu cenderung memandang masa depan kehidupan dengan berusaha mengembangbiakan diri. Mereka lebih mengutamakan meneruskan generasi, dimana dengan lahirnya generasi penerus, kehidupan akan jauh lebih baik. Demikianlah prinsip orang dahulu.  Namun, tidak dengan jaman sekarang, justru menikah dan memiliki anak bagi sebagian orang di dunia ini terasa merupakan beban hidup. Memikirkannya saja sudah menjadi beban, apalagi menjalaninya. Orang sekarang lebih menginginkan kehidupan bagi kebebasan dan kebahagiaannya sendiri. Apalagi orang-orang yang dibesarkan dari orang tua toxic, merasa hidup lebih damai tanpa ikatan dengan orang lain. 

Anak-anak merupakan simbol generasi penerus manusia dan meneruskan kehidupan suatu negara. Anak-anak dapat menjadi tongkat dan tonggak majunya kehidupan di dunia. Anak-anak yang lahir dalam peperangan, akan menjadi anak-anak yang kuat di masa depan. Walau perang memporak-porandakan negerinya, justru jumlah anak di negara perang tersebut semakin hari semakin banyak, hal ini mencerminkan bahwa anak-anak korban perang tersebut merupakan anak terpilih yang akan meneruskan kehidupan negaranya. Seperti itulah kita lihat pada anak-anak Gaza yang dengan tegar dan kuat walau mereka menderita, kelaparan, penuh air mata, dan penuh luka kesedihan karena kehilangan orang-orang terkasihnya, namun masa depan mereka selalu menyertai mereka.  

Semakin banyak bom menghancurkan negerinya, anak-anak terus lahir, dan anak-anak semakin dewasa dengan kemandirian dan penuh ketegaran menjalani kehidupan. Orang tua mereka tidak pernah takut untuk memiliki anak dalam tekanan perang, lalu kenapa negara maju yang bebas perang malah sebaliknya?

Hal ini menjadi menarik untuk kita amati. Fenomena memelihara anak kucing dan anjing menjadi sesuatu hal biasa yang menjamur di seluruh dunia. Dewasa muda di setiap rumah pasti memelihara salah satu anak kucinga atu anjing. Bahkan pasangan yang sudah menikah banyak yang lebih memilih memelihara binatang dibandingkan memiliki anak sebagai penerusnya sendiri. Seperti yang sudah dibahas, bahwa orang dewasa muda masa kini lebih banyak menganggap membesarkan anak berarti harus lebih banyak menyiapkan biaya dan sehat secara mental.

Sebetulnya, memiliki anak tidak selalu menakutkan. Hal ini hanya soal sudut pandang. Bila seseorang terlalu fokus memikirkan biaya kehidupan dan takut stress menjalani kehidupan rumah tangga dan memiliki anak, maka orang tersebut akan sulit keluar dari pemikirannya sendiri. Namun, bila kita memiliki pikiran lebih terbuka, maka pandangan memiliki anak tidak selalu menakutkan. Berikut berbagai alasan yang membuat orang takut memiliki anak:

1. Takut tidak mampu membiaya kehidupan sang anak.

2. Takut tidak mampu mendidik karakter anak dengan baik.

3. Takut menghadapi perilaku anak yang sulit diatur.

4. Takut melukai hati anak karena belum selesai dengan diri sendiri.

5. Merasa tidak pernah siap memiliki anak.

6. Takut merasa stress dan tertekan untuk membesarkan anak.

7. Tidak mau dipusingkan dengan anak.

Sejumlah alasan di atas banyak dipikirkan oleh dewasa muda di kota besar di berbagai belahan dunia. Mereka lebih fokus dalam karir dan membangun masa depan bersama pasangan. Banyak dari mereka memutuskan untuk child free. Ketakutan akan tidak mampu bertanggung jawab dalam membesarkan anak membuat pasangan muda cenderung lebih nyaman hidup berdua bersama pasangan. Memang hal ini merupakan keputusan dan hak pilih bagi setiap pasangan. Tetapi, perlu dipertimbangkan lagi bahwa kehidupan akan lebih baik sebenarnya jika seorang anak hadir dalam sebuah keluarga.

Sumber:unsplash.com
Sumber:unsplash.com

Mengapa kita harus takut tidak mampu membesarkan seorang anak? jika di antara kita merasa perlu mendapatkan ilmu parenting sebelum memutuskan menikah dan memiliki anak, Anda patut mendapatkan apresiasi. Membekali diri sejak dini dengan ilmu parenting yang baik akan menjadi motivasi memiliki anak di masa mendatang. Saat ini buku ilmu parenting dan bahkan bimbingan parenting sudah menjamur baik luring maupun daring. Anda dapat memulainya kapan saja. Mulai belajar ilmu parenting tidak perlu menunggu saat Anda akan menikah, Anda dapat memulainya saat ini. 

Belajar mengasuh seorang anak juga dapat dilakukan dengan merawat keponakan. Tidak ada salahnya belajar memandikan bayi, mengganti popoknya, dan memberinya makan.

Awal mula memang agak canggung, namun bila terus belajar, bahkan di suatu hari nanti, Anda sudah siap membesarkan anak. Anak kecil yang hadir dalam keluarga memberikan kehangatan dan kebahagiaan. Anak bayi dapat merangsang hormon bahagia seorang ibu.

Dari sekian banyak ibu yang penulis tanyai, kenapa mereka terus melahirkan anak sebanyak-banyaknya bahkan melahirkan 4 hingga 6 anak pada jaman modern ini, mereka menjawab bahwa mereka sangat senang memiliki seorang bayi. Masa bayi dari seorang anak sangat menyenangkan. Hal itulah yang membuat mereka tidak pernah takut memiliki anak.

Walaupun melahirkan itu sakit, tapi dengan anak itu lahir, sakit yang dirasakan akan sirna sesaat. Maka, saat ini banyak kita temui produksi boneka bayi yang sangat mirip bayi asli. Wanita yang membeli boneka bayi merasa sangat bahagia menggendong seorang bayi, walaupun itu hanyalah boneka. Maka, Anda pun akan merasa bahagia bila menggendong seorang bayi. 

Kembali lagi pada pepatah lama, "ada anak ada rejekinya". Setiap anak yang lahir akan mendapatkan rejekinya sendiri. Tidak perlu risau sang anak akan kekurangan, tapi risaulah bila kita sendiri belum cukup untuk siap memiliki anak. Sampai kapan kita tidak siap memiliki anak dan tidak siap menikah, maka pada sampai titik itulah kita sudah sadar bahwa usia kita sudah terlalu tua untuk memiliki anak. Oleh karena itu, jangan pernah takut memutuskan untuk memiliki anak.

Sebelum itu, mantapkan hati Anda untuk memilih orang terbaik untuk Anda nikahi. Ingatlah bahwa Indonesia saat ini memasuki era dimana terjadi darurat perceraian dimana-mana. Jangan pernah mudah memutuskan untuk menikah bila Anda hanya termotivasi oleh usia, meneruskan generasi, kesepian, dan faktor lainnya. Tetapi menikahlah ketika Anda sudah siap baik itu siap mental dan siap keuangan Anda. 

Jika Anda memutuskan untuk memiliki anak, perjuangkan kehidupan Anda sebaik-baiknya, besarkan anak dengan penuh tanggung jawab, dan hargailah setiap waktu yang diberikan kepada keluarga kecil Anda.

Bekerja sama dengan pasangan dalam membesarkan anak dapat mewujudkan kehidupan yang harmonis dan sinergis. Anak dapat tumbuh dengan baik dalam kehidupan keluarga penuh kasih. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun