Green chemistry atau "kimia hijau" merupakan bidang kimia yang berfokus pada pencegahan polusi, tujuannya untuk mengatasi masalah lingkungan baik itu dari segi bahan kimia yang dihasilkan, proses ataupun tahapan reaksi yang digunakan.Â
Bahaya bahan kimia yang dimaksud dalam konsep green chemistry ini meliputi berbagai ancaman terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, konsep ini juga erat kaitannya dengan energi dan penggunaannya baik itu secara langsung maupun yang tidak langsung seperti penggunaan suatu bahan dalam hal pembuatan, penyimpanan dan proses penyalurannya.
Saat ini konsep green chemistry semakin banyak digunakan dalam berbagai lini kehidupan, seiring dengan kesadaran manusia bahwa Bumi semakin tua dan anak cucu butuh Bumi sebagai tempat tinggal yang layak. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menemukan tagline "go green", ya itulah salah satu bentuk usaha pengaplikasian green chemistry, yaitu menganjurkan kita untuk selalu bertindak ramah pada lingkungan, termasuk go green untuk batik. Apa yang dapat dilakukan dari selembar kain batik sebagai bagian menjaga lingkungan? Caranya, dengan membuat batik ramah lingkungan atau dikenal dengan green batik.
Batik merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang telah ditetapkan oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi (masterpieces of the oral and intangible heritage of humanity). Sehingga tanggal 2 Oktober, seminggu yang lalu, ditetapkan menjadi Hari Batik Nasional, beragam lapisan masyarakat dan pejabat pemerintah disarankan untuk menggunakan batik pada tanggal ini.
Batik yang diwariskan oleh leluhur ini tanpa disadari sebenarnya sudah mengusung konsep green batik karena pewarnaannya menggunakan tumbuhan dan bahan-bahan yang tersedia di alam, proses pembuatannya pada jaman dulu pun masih sederhana. Namun, seiring berjalannya waktu, semua dituntut serba cepat, instan dan praktis, sehingga muncul pewarna sintetis yang penggunaannya sangat mudah, tapi disisi lain menghasilkan limbah yang merusak lingkungan serta mempengaruhi kesehatan kulit pengguna batik.Â
Berawal dari keprihatinan inilah seorang  ibu rumah tangga lulusan Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada yang bertempat tinggal di Pamulang, Tangerang, yaitu Sancaya Rini tergerak untuk mengeksplorasi pewarnaan batik menggunakan bahan pewarna alami yang terbuat dari berbagai tumbuhan dan sampah organik yang ada di sekitar tempat tinggalnya, seperti kulit jengkol, kulit rambutan, kulit dan daun mangga, kayu secang serta tumbuhan indigo. Rini menekuni batik kontemporer di bawah bendera usaha bernama Creative Kanawida. Nama kanawida berasal dari bahasa kawi yang bermakna warna-warni untuk menyebut warna batik yang dihasilkan oleh tanaman tropis.
Studi Kanawida sebagai Green Batik
Pada tahun 2014, Hidayat dan Fatmahwaty dari Universitas Pelita Harapan melakukan studi mengenai green batik pada Kanawida. Batik Kanawida dipilih sebagai studi kasus green batik karena relatif konsisten dalam memproduksi batik ramah lingkungan selama 6 tahun sejak didirikan pada tahun 2007 dan memiliki misi mengenai keberlanjutan yaitu: (1) melestarikan dan mengembangkan warisan budaya batik dari Indonesia dan mempromosikannya kepada generasi yang lebih muda, sehingga generasi muda Indonesia akan menyukai warisan mereka, (2) melindungi alam, (3) memberdayakan masyarakat dan membantu perekonomian lingkungan sekitar, sehingga menimbulkan dampak sosial ekonomi.
Isu utama di green industri sebagai bagian dari green chemistry adalah penghematan energi yaitu menghemat bahan baku dan konsumsi energi agar bisa mendapatkan kelestarian bahan baku dan pasokan energi bagi generasi mendatang. Ada tiga hal yang harus dilakukan oleh satu industri untuk menjadi green, yaitu (1) mengurangi konsumsi energi, (2) efisiensi penggunaan energi, (3) meminimalkan limbah beracun dari proses produksi.
Pada batik Kanawida, konsumsi air, gas dan minyak tanah diperhatikan terlebih dahulu. Untuk menghemat bahan bakar, produk batik tidak diproses satu per satu namun oleh sekaligus 20 produk yang dikelola dalam satu siklus proses produksi.Â
Cara kedua untuk menghemat bahan bakar dilakukan dengan menggabungkan beberapa alat yang digunakan oleh pengrajin dengan rasio 4: 1. Ini berarti bahwa 1 alat digunakan oleh 4 pengrajin. Produksi limbah batik beracun yang berasal dari pewarna buatan telah dieliminasi karena batik Kanawida sudah menggunakan pewarna alami dari tumbuhan. Batik kanawida juga telah menggunakan lilin lebah untuk menggantikan lilin bahan bakar minyak seperti parafin.
Selain mengurangi dampak kesehatan dan lingkungan dalam skala mikro, dalam konteks penggunaan green batik itu sendiri, produksi batik Kanawida memiliki dampak makro dalam waktu yang lebih lama, di bidang ekologi, ekonomi dan sosial. Batik kanawida menciptakan lapangan kerja bagi perempuan yang tinggal di sekitar lingkungan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjadi pengrajin batik, sehingga mereka memiliki kesempatan untuk bekerja dan membantu ekonomi keluarga mereka.Â
Kanawida juga mengajar anak jalanan tentang pembuatan batik sehingga mereka memiliki kesadaran akan tindakan ramah lingkungan, keterampilan dan pengetahuan tentang warisan budaya mereka. Dengan demikian, batik Kanawida, pada tingkat tertentu, sudah memiliki karakter hijau dan lestari.
Warna-warni nan Ayu Batik Kanawida dalam Meet The Makers 12
Minggu, 7 Oktober 2017 yang lalu saya berkesempatan datang di acara Meet The Makers 12 yang berada di Nusa Gastronomy, Kemang, Jakarta Selatan. MTM12 kali ini dilaksanakan tanggal 5-7 Oktober dengan mengangkat tema "Mengakar". Datangnya saya di acara ini tidak luput dari ajakan sehari sebelumnya dari teman saya yang memang sudah pernah datang pada perhelatan tahun sebelumnya.Â
Melihat antusiasme teman saya dan kepo instagram @mtmindonesia akhirnya saya memutuskan untuk datang, sebelum menyesal, karena acara ini hanya digelar satu kali dalam setahun. Kapan lagi bisa bertemu seni kriya kekayaan Indonesia sekaligus bertemu pembuatnya.
Di acara inilah saya bertemu dengan Creative Kanawida dan jatuh cinta dengan warna-warna cantiknya, terutama warna biru yang sudah dalam bentuk pakaian jadi. Belakangan saya ketahui bahwa pakaian ini berlabel kanagoods yang memang menyasar anak muda, dengan tujuan memperkenalkan batik berkonsep eco fashion.Â
Sancaya Rini sebagai pendirinya ingin generasi muda tertarik dan ikut melestarikan batik dengan teknik pewarnaan alami melalui ciri khas busana casual berwarna biru, warna alam dari tanaman indigofera atau dikenal sebagai tanaman indigo atau tarum. Saking cantiknya warna biru ini, saya hampir tidak percaya bahwa pewarnanya berasal dari pewarna alami.Â
Diakui Rini, proses pewarnaan batik dengan menggunakan pewarna alami memang membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Prosesnya lebih lama dibandingkan dengan pewarna sintetis, serta dibutuhkan sederet persyaratan lainnya untuk mendapatkan batik dengan warna alami yang bagus.
Kekhasan lain dari batik Kanawida yaitu menggunakan bahan baku kain yang ramah lingkungan untuk dibatik, antara lain dari serat nanas, rami dan sutera. Harus kain yang dibuat dari serat alami agar pewarna alaminya tahan lama menempel di kain. Namun untuk kain-kain ini Rini tidak membuat sendiri, melainkan dengan menggandeng perajin dari beberapa daerah sebagai pemasok kain.
Borneo Chic (Kalimantan), menjadikan ulap doyo sebagai produk berkualitas tinggi yang dikemas menjadi berbagai pakaian, tas dan produk layak pakai lain yang mengedepankan kualitas dan ramah lingkungan. Tenun ulap doyo sendiri  merupakan kain tradisional masyarakat Suku Dayak Benuaq di  Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Pekunden Pottery (Jakarta), dengan karya keramik bercorak khas Indonesia dan pengembangannya tak hanya tradisional tapi juga modern.
Brahma Tirta Sari (Yogyakarta), menyelaraskan keunggulan dan kearifan lokal antara tradisi dengan budaya masa kini, batik diangkat ke level lebih tinggi melalui seni serat menjadi produk kerajinan batik kontemporer tak hanya di tingkat nasional tapi juga internasional.
Tafean Pah (NTT), ciri khas tenun tafean pah adalah penggunaan benang dari kapas yang dihasilkan dari kebun sendiri serta penggunaan warna alami.
Marenggo Natural Dyes (Yogyakarta), batik yang sangat khas dengan pewarna alami yang didapatkan dari daun mangga, daun rambutan, kayu mahoni, kayu nangka, daun jambu, daun marenggo, kayu jati,  indigo, kayu  secang hingga kulit manggis. Batik ini memiliki tema unik dan menarik yang tidak mengikuti motif yang sudah dikenal selama ini.Â
Omah Batik Sekar Turi (Yogyakarta), hadir sebagai upaya mempertahankan tradisi batik tempo dulu dengan motif klasiknya dan konsep baru dengan motif inovatif atau kontemporer. Sementara proses pembatikan dilakukan secara eksklusif dengan teknik pewarnaan unik sehingga karya yang dihasilkan sangat khas.
Wiru (Yogyakarta), corak kontemporer dan penuh warna menjadi ciri khas wiru. Rika sebagai kreatornya selalu membuat produknya secara terbatas berupa kain, syal, selendang dan pakaian unik di studionya.
Cinta Bumi Artisans (Bali-Sulawesi), dengan mengangkat kerajinan kain kulit kayu menjadi beragam produk yang tak lekang oleh zaman, seperti tas, dompet hingga aksesori wanita.
Tenun Molo-BIFE (NTT), Rumah tenun BIFE mendukung pelestarian tenun molo khas NTT menjadi karya inovatif yang ramah lingkungan sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat dengan mengangkatnya di tingkat nasional dan internasional. Â
Gerai  Nusantara-AMAN (Jakarta), merupakan inisiatif usaha ekonomi yang dibangun oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam mempromosikan produk unggulan di lebih dari 40 komunitas adat di seluruh nusantara.
Savu (NTT), pola tenun ikat savu sangat khas, halus, cantik dan juga sarat makna. Tenun ini dibuat dengan pewarna alami yang didominasi warna biru dan hitam dari nila serta merah dari morinda (buah mengkudu).Â
LAWE (Yogyakarta), mengangkat lurik yang identik dengan masyarakat kelas bawah menjadi berbagai produk fashion, tas dan perlengkapan modern lainnya.
Batik Rifayah (Batang), keunikan batik ini masih terjaga dengan dominasi motif alam, terutama tumbuh-tumbuhan, kalaupun ada motif binatang, tubuhnya tidak lengkap karena batik ini memiliki pakem  yang ketat sesuai ajaran islam.
Demikian kayanya Indonesia dengan berbagai kriya yang diturunkan secara turun-temurun dan sarat makna. Sebagai generasi masa kini, kita harus mengetahui sejarah dan proses pembuatan kriya ini, sehingga kita bisa menghargai, mencintai, menjaga dan melestarikannya sebagai warisan budaya luhur.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H