Mohon tunggu...
Nina F. Razad
Nina F. Razad Mohon Tunggu... Editor/Jurnalis -

Lahir di Jakarta, besar di Bandung dan jatuh cinta pada Kota Daeng, Makassar. Jebolan ESP Unpad yang "nyasar" menjadi Jurnalis Investigasi & Hukrim untuk Harian Jakarta. Kini bertugas sebagai Editor Website P2KKP (d/h PNPM Mandiri Perkotaan). Tergabung dlm komunitas Rose Heart Writers (RHW), melahirkan buku Kumpulan Cerita Hukum (Cerkum) Good Lawyer (2009) dan Good Lawyer S.2 (2010).

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Harusnya yang Demo itu Pemimpin Perusahaan, Bukan Sopir

22 Maret 2016   12:08 Diperbarui: 23 Maret 2016   11:20 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Penumpang umum terpaksa turun dan berjalan dari Semanggi menuju tujuan masing-masing (dok. pribadi)"][/caption]Hari ini, sungguh istimewa. Demo besar-besaran angkutan umum, taksi dan ojek reguler terhadap angkutan umum online. Konon, ini akibat aspirasi mereka tidak didengarkan oleh Kementerian Perhubungan--ehem.. koreksi, ternyata Kominfo. Masa iya? Yakin itu alasannya?

Tahu nggak sih, KawaNina, saya benar-benar berpikir bahwa demo ini adalah gerakan perusahaan memperalat para sopir angkot dan taksi oleh perusahaan mereka masing-masing. Sebenarnya mereka (jajaran manajemen perusahaan angkutan umum) itu sadar betul, mereka harus beranjak dari zona nyaman. Bikin inovasi yang bersaing dengan jasa angkutan online. Masalahnya, mereka sudah terlalu nyaman dengan "kemonopolian" mereka.

Di sisi lain, yang paling merasakan drastisnya perubahan/berkurangnya pendapatan adalah sopir-sopir angkutan umum ini. Mereka tak berdaya bersaing dengan jasa angkutan umum online, karena memang kebijakan perusahaan tidak berubah. Malah terus "mencekik" mereka dengan setoran tinggi, berdalih BBM naik.

Ketidakberdayaan, memuncak menjadi kemarahan terpendam.

Sayangnya, amarah dan ketidakberdayaan mereka diarahkan justru ke para pelaku jasa angkutan online, yang sebenarnya sama-sama mencari nafkah (halal) untuk keluarga mereka. Tidak ada bedanya mereka itu, sopir angkutan offline dan online. Sama-sama bekerja mencari nafkah. Sama-sama berkeringat. Sama-sama menghadapi macetnya Jakarta. Bedanya di besaran setoran.

Sopir angkutan online "hanya" dipotong 20% dari total pendapatan mereka per hari. Sebagai gantinya, mereka dikoordinir melalui aplikasi yang mudah diakses oleh penumpang pengguna smartphone berbasis android dan iPhone. Catat: HANYA PENUMPANG PENGGUNA SMARTPHONE. Bagaimana dengan penumpang yang tidak pakai smartphone? Yaaa angkutan umum biasa/reguler.

Pada tahu nggak ya, para sopir angkutan offline itu, bagaimana peraturan yang dihadapi oleh sopir angkutan online?

[caption caption="Semanggi lautan angkot dan taksi (dok.pribadi)"]

[/caption]Sebagai pengguna angkutan umum di Jakarta, saya gaul dengan both online dan offline. Berikut ini saya paparkan peraturan sopir online dari obrolan-obrolan kami. Catatan, saya ngga tau soal uber, jadi di bawah ini saya hanya bicara soal gojek dan grab ya.

1. Sopir angkutan online HANYA BOLEH mengangkut penumpang yang menggunakan aplikasi online. Mereka dilarang mengangkut penumpang umum biasa di jalan. Jika tidak = akan kena sanksi pelanggaran.

2. Sopir angkutan online hanya boleh mengangkut pelanggan YANG SAMA paling banyak 2x dalam 2 minggu. Jika tidak = akan kena sanksi pelanggaran.

3. Sopir angkutan online HARUS MAU mengantarkan penumpang ke manapun dan jam berapapun yang penumpang mau, SESUAI yang tertera di dalam ordernya. Jika tidak mau = akan kena sanksi pelanggaran.

4. Sopir angkutan online WAJIB MEMATUHI PERATURAN LALIN. Penumpang boleh mengajukan komplain, jika sopir angkutan online-nya membuat tidak nyaman. Sopir bisa kena sanksi pelanggaran.

5. Diberlakukan peringkat REPUTASI kepada sopir angkutan online lewat rating dan bintang yang diberikan penumpang melalui aplikasinya. Jika reputasi driver/biker tidak meningkat dalam 1 bulan, akan kena sanksi. Atau jika rating bintang-nya di bawah 4,1 (skala 5 bintang) maka biker/driver bisa kena sanksi berupa penutupan aplikasi driver. Untuk membukanya, harus ke kantor dan ikut penataran lagi---ini info baru update, diinfokan oleh biker grab yang saya ajak bicara hari ini

6. Waktu transaksi bid, mulai dari order sampai dijawab oleh driver/biker adalah 5-20 detik. Lebih dari itu, diulangi.

7. Jarak maksimal driver/biker dari penumpang yang mengorder adalah 2 km atau maksimal 10 menit. Jika tidak, bisa kena komplain dan turunnya reputasi driver/biker.

8. Terdapat lebih dari 60 poin etika yang WAJIB DIPATUHI seorang driver/biker. Salah satu poin etika tersebut adalah kenyamanan penumpang. Jika membuat penumpang marah, atau tidak puas dengan layanan, biker/driver bisa kena sanksi.

Apa sanksi pelanggarannya? Driver/biker akan diskorsing tidak boleh "narik" (tidak ada pendapatan) antara 2 hari sampai 2 minggu, tergantung beratnya pelanggaran. Jika memang fatal, akan langsung dikeluarkan dari keanggotaan, bahkan di-blacklist, sehingga sampai kapanpun tidak bisa lagi bergabung dengan armada penyedia jasa online tersebut.

[caption caption="Bapak, hari ini ngga narik. Nanti keluarga Bapak makan apa, Pak? (dok.pribadi)"]

[/caption]Tau nggak, penumpang juga diberi rating oleh driver/biker. Jika ada penumpang yang cerewet, driver/biker akan memberi review yang bisa dibaca oleh driver/biker berikutnya. Biasanya penumpang nyebelin begini sulit mendapat "matching" driver/biker ketika dia memesan berikutnya. Trus, kalau udah ketahuan penumpang fiktif, itu aplikasi otomatis memblokir si pengguna--email/nomor telepon yang didaftarkan tidak boleh lagi menggunakan aplikasi online--ini demi melindungi mitra driver/biker mereka.

Apa bisa aplikasinya diakali oleh driver/biker online?

Tidak bisa. Semuanya terkoneksi di gps dan terekam di sistem gojek/grab. Ketahuan mengakali, sanksinya adalah dikeluarkan, bahkan di-blacklist.

Sebagai pengguna angkutan umum, justru ini jadi nilai plus, membuat saya jadi lebih percaya pada keamanan menggunakan jasa mereka. Otomatis, perjalanan jadi nyaman. Tapi jikapun angkutan umum online sedang sibuk dan saya tidak kunjung mendapat sinyal, yaaa tetap saja pakai angkutan umum offline lah.. Tak masalah.

Oh ya, tarif yang berlaku untuk mengangkut penumpang dengan rider (roda dua) adalah Rp1.500-Rp2.000 per kilometer. Dan di aplikasi, order sudah jelas menuliskan kilometernya. Tidak kurang dan tidak lebih.

Contoh: Dari rumah saya ke kantor itu jaraknya sekitar 21,8 km. Dengan gojek, saya membayar sekitar Rp45.000. Dengan grabbike saya membayar sekitar Rp35.000. Dengan ojek reguler, saya membayar Rp70.000. Dengan taksi express saya membayar Rp110.000. Dengan taksi Bluebird saya membayar Rp140.000. Dengan grab car saya membayar Rp89.000.

Coba hitung, mana lebih untung, angkutan online atau offline?

Trus kenapa angkutan umum offline harus cemburu dengan "peraturan" seperti di atas itu? Apa karena mereka berpelat hitam? Trus ojek di pangkalan itu pelatnya apa? Kuning? Nggak kan? Kalau mau ditertibkan menjadi pelat kuning semua, ya cukup para pemimpin perusahaan aja mengajukan ke Menhub. Ngga perlu pakai demo yang akhirnya malah jadi anarkis dan menyusahkan pengguna angkutan umum.

[caption caption="Angkutan umum cemburu pada angkutan online? Padahal... (dok.pribadi)"]

[/caption]Apa mereka ngga iba melihat ibu-ibu membawa barang berjalan tertatih-tatih menyusuri panasnya aspal Jakarta, gegara Semanggi diblokir dan di-sweeping (angkutan umum/taksi yang tidak mau demo, "dipaksa" berdemo) oleh pendemo hari ini? Seharusnya mereka bisa nyaman sampai ke Tanah Abang, terpaksa berjalan kaki dari Semanggi. Ibu-ibu paruh baya, bayangkan!

Sekali lagi, menurut saya, kalau mau demo, suruh saja para bosnya yang berdemo. Mereka itu yang berkepentingan. Sopir angkutan umum, baik offline dan online, harusnya diperlakukan sebagai mitra. Bukan buruh. Kan mereka juga yang memperkaya perusahaan. Seharusnya mereka tetap bekerja mencari nafkah untuk keluarganya seperti biasa. Dengan berdemo begini, anak istri mereka makan apa hari ini, terpikir gak?

Plus minusnya tulisan ini, saya mohon maaf. Tidak ada kepentingan saya membela suatu perusahaan tertentu. Saya hanya seorang pengguna jasa angkutan umum yang merasa prihatin dengan kondisi seperti ini. Prihatin kepada sopir online maupun offline, dan prihatin kepada sesama pengguna angkutan umum.

Mengutip ucapan sopir angkutan umum yang tempo hari tidak mau ikut demo: "Tidak ada kemuliaan yang bisa didapat dari berdemo. Kalau saya dipaksa berdemo, lebih baik pulang saja ke rumah, berkumpul dengan anak istri. Itu lebih aman dan nyaman buat keluarga saya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun