Mohon tunggu...
Nina F. Razad
Nina F. Razad Mohon Tunggu... Editor/Jurnalis -

Lahir di Jakarta, besar di Bandung dan jatuh cinta pada Kota Daeng, Makassar. Jebolan ESP Unpad yang "nyasar" menjadi Jurnalis Investigasi & Hukrim untuk Harian Jakarta. Kini bertugas sebagai Editor Website P2KKP (d/h PNPM Mandiri Perkotaan). Tergabung dlm komunitas Rose Heart Writers (RHW), melahirkan buku Kumpulan Cerita Hukum (Cerkum) Good Lawyer (2009) dan Good Lawyer S.2 (2010).

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Harusnya yang Demo itu Pemimpin Perusahaan, Bukan Sopir

22 Maret 2016   12:08 Diperbarui: 23 Maret 2016   11:20 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Contoh: Dari rumah saya ke kantor itu jaraknya sekitar 21,8 km. Dengan gojek, saya membayar sekitar Rp45.000. Dengan grabbike saya membayar sekitar Rp35.000. Dengan ojek reguler, saya membayar Rp70.000. Dengan taksi express saya membayar Rp110.000. Dengan taksi Bluebird saya membayar Rp140.000. Dengan grab car saya membayar Rp89.000.

Coba hitung, mana lebih untung, angkutan online atau offline?

Trus kenapa angkutan umum offline harus cemburu dengan "peraturan" seperti di atas itu? Apa karena mereka berpelat hitam? Trus ojek di pangkalan itu pelatnya apa? Kuning? Nggak kan? Kalau mau ditertibkan menjadi pelat kuning semua, ya cukup para pemimpin perusahaan aja mengajukan ke Menhub. Ngga perlu pakai demo yang akhirnya malah jadi anarkis dan menyusahkan pengguna angkutan umum.

[caption caption="Angkutan umum cemburu pada angkutan online? Padahal... (dok.pribadi)"]

[/caption]Apa mereka ngga iba melihat ibu-ibu membawa barang berjalan tertatih-tatih menyusuri panasnya aspal Jakarta, gegara Semanggi diblokir dan di-sweeping (angkutan umum/taksi yang tidak mau demo, "dipaksa" berdemo) oleh pendemo hari ini? Seharusnya mereka bisa nyaman sampai ke Tanah Abang, terpaksa berjalan kaki dari Semanggi. Ibu-ibu paruh baya, bayangkan!

Sekali lagi, menurut saya, kalau mau demo, suruh saja para bosnya yang berdemo. Mereka itu yang berkepentingan. Sopir angkutan umum, baik offline dan online, harusnya diperlakukan sebagai mitra. Bukan buruh. Kan mereka juga yang memperkaya perusahaan. Seharusnya mereka tetap bekerja mencari nafkah untuk keluarganya seperti biasa. Dengan berdemo begini, anak istri mereka makan apa hari ini, terpikir gak?

Plus minusnya tulisan ini, saya mohon maaf. Tidak ada kepentingan saya membela suatu perusahaan tertentu. Saya hanya seorang pengguna jasa angkutan umum yang merasa prihatin dengan kondisi seperti ini. Prihatin kepada sopir online maupun offline, dan prihatin kepada sesama pengguna angkutan umum.

Mengutip ucapan sopir angkutan umum yang tempo hari tidak mau ikut demo: "Tidak ada kemuliaan yang bisa didapat dari berdemo. Kalau saya dipaksa berdemo, lebih baik pulang saja ke rumah, berkumpul dengan anak istri. Itu lebih aman dan nyaman buat keluarga saya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun