Contoh: Dari rumah saya ke kantor itu jaraknya sekitar 21,8 km. Dengan gojek, saya membayar sekitar Rp45.000. Dengan grabbike saya membayar sekitar Rp35.000. Dengan ojek reguler, saya membayar Rp70.000. Dengan taksi express saya membayar Rp110.000. Dengan taksi Bluebird saya membayar Rp140.000. Dengan grab car saya membayar Rp89.000.
Coba hitung, mana lebih untung, angkutan online atau offline?
Trus kenapa angkutan umum offline harus cemburu dengan "peraturan" seperti di atas itu? Apa karena mereka berpelat hitam? Trus ojek di pangkalan itu pelatnya apa? Kuning? Nggak kan? Kalau mau ditertibkan menjadi pelat kuning semua, ya cukup para pemimpin perusahaan aja mengajukan ke Menhub. Ngga perlu pakai demo yang akhirnya malah jadi anarkis dan menyusahkan pengguna angkutan umum.
[caption caption="Angkutan umum cemburu pada angkutan online? Padahal... (dok.pribadi)"]
Sekali lagi, menurut saya, kalau mau demo, suruh saja para bosnya yang berdemo. Mereka itu yang berkepentingan. Sopir angkutan umum, baik offline dan online, harusnya diperlakukan sebagai mitra. Bukan buruh. Kan mereka juga yang memperkaya perusahaan. Seharusnya mereka tetap bekerja mencari nafkah untuk keluarganya seperti biasa. Dengan berdemo begini, anak istri mereka makan apa hari ini, terpikir gak?
Plus minusnya tulisan ini, saya mohon maaf. Tidak ada kepentingan saya membela suatu perusahaan tertentu. Saya hanya seorang pengguna jasa angkutan umum yang merasa prihatin dengan kondisi seperti ini. Prihatin kepada sopir online maupun offline, dan prihatin kepada sesama pengguna angkutan umum.
Mengutip ucapan sopir angkutan umum yang tempo hari tidak mau ikut demo: "Tidak ada kemuliaan yang bisa didapat dari berdemo. Kalau saya dipaksa berdemo, lebih baik pulang saja ke rumah, berkumpul dengan anak istri. Itu lebih aman dan nyaman buat keluarga saya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H