Hujan begitu deras menghujam bumi. Bau tanah basah menyeruak dari kisi-kisi daun jendela. Desiran angin malam yang lembab meliuk-liukkan tirai bak selandang bidadari. Membuat atmosfer kamar Kirana terasa semakin membeku. Sweater merah muda yang membungkus tubuh rampingnya tak cukup menghalangi dingin yang menusuk pori-pori kulitnya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 2 lewat 15. Kirana menutup notebook kesayangannya. Percakapan dengan Michelle Muller via messenger, teman satu apartemennya di New York, ia sudahi barusan. Sebenarnya tubuh Kirana kian lelah. Seharian tadi ibu mengajaknya berkunjung sekaligus berpamitan ke rumah para saudara. Karena seusai subuh besok ia harus mengejar penerbangan pagi, kembali menuju Negeri Paman Sam. Cuti dari kantornya akan segera berakhir.
Ditemani i Pod-nya, Kirana berusaha menjemput kantuk. Bibirnya terus bersenandung kecil, melantunkan lagu legendaris ‘Somewhere Over The Rainbow’.
Somewhere over the rainbow Way up high There’s a land that I heard of Once in a lullaby Somewhere over the rainbow Skies are blue And the dreams that you dare to dream really do come true
Someday I’ll wish upon a star And wake up where the clouds are far behind me Where troubles melt lemon drops Away above the chimney tops That’s where you’ll find me Somewhere over the rainbow Where birds fly Birds fly over the rainbow Why then oh why cant I If happy little bluebirds fly Beyond the rainbow Why, oh, why cant I
[caption id="attachment_205118" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi : www.korananakindonesia.com"][/caption]
Entah mengapa ia masih begitu mencintai suara kanak-kanak nan bening milik Judy Garland di film hitam putih ‘Wizard of Oz’, meskipun setelahnya lagu itu berkali-kali dinyanyikan oleh penyanyi lainnya. Mungkin karena lagu itu mengingatkan tentang impian masa kecilnya. Di mana sang imajinasi mampu membawanya berkelana ke seluruh jagad raya. Mengambil bulan. Memetik bintang. Menelusuri lekuk bumi. Merebahkan diri di atas empuknya awan bak kembang kapas. Bahkan, berseluncur di lengkungan pelangi, hingga menemukan ujungnya – di sebuah negeri – yang konon semua impianmu bisa menjadi kenyataan ….
Akhirnya Kirana menyerah. Sepasang matanya belum mau jua dipaksa untuk terpejam. Sembari beringsut dari pembaringan, pandangan Kirana pun menyapu ruangan 4x4 itu. Sekilas senyum harunya terkembang. Ia baru menyadari, kalau formasi barang-barang di kamarnya tak banyak berubah sejak dulu. Ibu menatanya sama seperti jaman Kirana masih duduk di Taman Kanak-kanak. Beragam boneka, buku, majalah tersusun rapi di tempatnya. Sambil pikirannya menerawang, telunjuk Kirana menelusuri ratusan buku dan majalah yang masih tampak terawat dan tertata rapi di lemari kayu.
Mendadak telunjuk gadis itu terhenti di sebuah majalah. Dadanya berdesir. Donal Bebek. Majalah favoritnya. Entah edisi ke berapa. Sekilas memang tak ada yang istimewa. Namun majalah usang itu mengandung makna yang dalam baginya. Lalu Kirana pun segera melucutinya dari susunan majalah-majalah yang lain.
Sejurus kemudian ia terduduk di tepi kasur sambil menekuri lembaran majalah komik itu satu persatu. Kirana tersenyum geli melihat tingkah polah tokoh-tokoh kartun Walt Disney tersebut. Interaksi antara paman dan keponakan, seperti Donal dengan tiga bersaudara – Kwak, Kwik, Kwek – ataupun dengan Paman Gober, pasti akan memancing gelak tawanya. Namun, tiba-tiba saja dalam sekejap mata, selembar memori Kirana bagai terhempas ke sebuah lorong waktu karenanya. Ke sebuah masa, tujuh tahun yang lalu…
Seketika Kirana mendapati dirinya seperti sedang duduk berhadapan dengan seorang bocah perempuan di beranda Rumah Singgah ‘Asih’. Tangan mungil bocah bernama Dewi itu sedang memegang sebuah majalah komik Donal Bebek yang ia pinjamkan. Meski muka bocah itu kelihatan lusuh tersapu debu jalanan ibukota, namun mata cerdasnya begitu berbinar-binar.
“Kak Kirana, aku juga pengen kayak Paman Gober! Aku pengen bisa nemuin harta karun yang banyaaaaaaaak banget! Biar emak dan bapak gak perlu capek-capek mulung. Dan supaya sakit batuk bapak juga bisa diobatin dokter…!” celetuk Dewi seolah sedang memandang hamparan pundi-pundi emas di hadapannya.
Untuk bocah berusia 9 tahun seperti Dewi, Kirana menganggap khayalan itu biasa saja. Karena imajinasi masa kecilnya pun tak berbeda dengan Dewi. Namun, cita-cita mulia bocah itu membuat Kirana sangat terharu. Di tengah kesulitan hidupnya yang terlahir dari keluarga miskin, Dewi masih bisa tertawa dan mempunyai semangat hidup yang tinggi untuk membantu keluarga. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di jalanan sebagai pemulung mengikuti jejak orang tuanya. Putus sekolah dan makan seadanya dengan mengais rezeki dari sampah jalanan maupun di Tempat Pembuangan Akhir adalah nasib yang harus dijalaninya. Masa kecil bocah itu terenggut paksa oleh kejamnya kehidupan. Beda sekali dengan masa kecil Kirana yang gemilang.
“Hatimu mulia sekali, Dek… Tapi untuk menemukan harta karun gak semudah itu, Sayang…,” ujar Kirana sambil menjentik pucuk hidungnya yang tak mancung. Dahi Dewi berkerut. Wajah lugunya tampak penasaran mendengar ucapan Kirana.
“Kenapa gak mudah, Kak? Kok di majalah ini Paman Gober bisa nemuin harta karun itu di sebuah negeri di ujung pelangi? Memangnya ujung pelangi itu di mana, Kak?”
Kirana terkesiap. Pertanyaan Dewi cukup sederhana. Namun entah mengapa ia harus meraba-raba untuk mencari jawabannya.
“Hmmmm…. Menurut Kak Kirana, ujung pelangi itu ada di sekolah…”
“Hah? Kenapa begitu, Kak?” Mata Dewi membulat.
“Karena jika kita bersekolah, kita bisa belajar dan mendapatkan banyak ilmu pengetahuan. Nah, ilmu pengetahuan itulah harta karun yang paling berharga, Adekku. Bukan sekedar limpahan uang yang harus terus menerus kita jaga. Lihat saja Paman Gober, karena takut hartanya dicuri, dia membangun sebuah tempat penyimpanan uang. Tapi kalau kamu punya harta berupa ilmu pengetahuan, kamu gak perlu takut orang lain mencurinya. Bahkan semakin banyak kamu berbagi ilmu pengetahuan, maka semakin bertambahlah ilmu pengetahuanmu.”
“Apa ilmu pengetahuan bisa bikin kami gak sering kelaparan dan bisa ngobatin sakit bapakku, Kak?”
Skak! Kirana tertegun sesaat mendengar pertanyaan polos Dewi barusan. Ya Tuhan… Kenapa anak sekecil ini bisa melontarkan pertanyaan yang justru bikin aku semakin kelihatan bodoh?
Sebagai salah seorang tutor anak jalanan di rumah singgah asuhan kampusnya itu, Kirana menyadari ternyata selama dua bulan itu ia masih belum mampu sepenuhnya menyelami kehidupan anak-anak jalanan sebagai adik-adik pendampingannya. Ia merasa naïf sekali bercerita tentang sekolah dan sebagainya, padahal urusan perut saja belum sepenuhnya mampu terpenuhi oleh keluarga mereka. Belum sempat bibir Kirana menjawab, Dewi langsung bangkit dari bangkunya. Lalu menyampirkan sebuah karung lusuh di balik punggungnya yang mungil.
Sambil tersenyum Dewi pun berucap kemudian. Ucapan yang menurut Kirana cukup dewasa untuk anak seumuran Dewi. “Aku mau terusin mulung dulu ya, Kak. Besok aku kemari lagi. Aku mo bilang ama emak dan bapak supaya dibolehin sekolah lagi. Doain ya, kak, semoga aku bisa nemuin sepatu dan tas yang masih bagus. Biar ntar bisa kupake ke sekolah. Pokoknya aku pengen nemuin harta karunku…. di negeri yang ada di ujung pelangi…”
Lalu bocah itu meninggalkan Kirana yang masih termangu. Kirana hanya menatap punggung mungil itu menjauh tanpa mampu berkata-kata lagi. Entah mengapa airmatanya meleleh begitu saja saat itu. Bahkan, ia tak menyangka sama sekali kalau pertemuan tersebut merupakan pertemuannya yang terakhir kali dengan Dewi. Karena sejak hari itu, Dewi tak pernah muncul lagi di rumah singgah. Bahkan, gubuk reyot keluarganya di pinggiran TPA pun sudah habis tergusur pembangunan kota. Keberadaan gadis mungil dan keluarganya pun raib bagai di telan bumi. Tanpa jejak, tanpa berita.
***
[caption id="attachment_205298" align="alignright" width="150" caption="Ilustrasi : www.shutterstock.com"][/caption]
Kirana terperanjat! Beberapa detik ia mematung di antara lalu lalang manusia dan suasana hingar-bingar Bandara Changi sore itu. Berdiri menatap suatu objek yang tak pernah ia sangka sama sekali bisa ia temukan di tempat asing tersebut. Apalagi pesawatnya cuma transit beberapa menit saja di sana, sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju JFK International Airport.
“Dewiii…!” Refleks bibirnya menyerukan sebaris nama yang masih lekat diingatannya. Nama yang semalam kembali mengukir kenangannya tentang sebuah impian seorang anak jalanan. Seorang gadis remaja berkulit sawo matang menoleh. Ia tampak baru saja keluar dari toilet bandara. Hanya dalam jarak 3 meter, tentu saja Kirana merasa tak mungkin salah memandang. Seraut wajah itu sungguh tak asing lagi buatnya. Paling tidak dalam beberapa tahun yang lalu.
Kirana melangkah pelan-pelan. Setengah mati ia menahan gemuruh di dada. Degup jantungnya begitu kencang dan tangannya terasa membeku. Entah mengapa ia begitu yakin bahwa penglihatan dan feeling-nya benar. Bocah perempuan yang dulu menghilang itu kini hadir hanya berjarak tak kurang dari semeter di hadapannya. Meski kelihatan jelas jika tampilannya amat sangat berbeda.
Gadis mungil yang dulu kurus dan dekil kini telah menjelma menjadi seorang gadis remaja nan jelita. Tubuhnya yang tinggi semampai berbalut tank top pink dan jins biru gelap. Tak lupa sebuah syal warna silver mengalung di leher jenjangnya dan sepasang sepatu keds putih melengkapi kemodisannya.
“Dewi….,” ucap Kirana lirih. Mendadak segala kalimat sapaan menguap dari otaknya. Sopan santun ketimurannya ketika bertemu orang lain, serta merta menjadi tak bermakna. Ia hanya ingin segera meyakinkan bahwa dugaannya benar. Rasanya detik itu juga ingin sekali ia menghambur untuk memeluk gadis itu.
“Dewi? Who is she?” Gadis manis itu tampak semakin keheranan. Namun seulas senyum ramah mengantarkan uluran tangannya pada Kirana. “I’m Regine… Regine Mortensen. Who are you?”
Kirana terhenyak. Tiba-tiba saja ia merasa sangat kecewa. Dugaannya salah! Padahal matanya belumlah rabun untuk meyakinkan bahwa raut wajah di depannya itu jelas-jelas Dewi, bocah pemulung yang ia kenal dulu. Ia masih ingat Dewi mempunyai tahi lalat di pelipis kiri dan rahang kanannya. Tapi mengapa gadis itu menyangkal? Apa semua ini hanya kebohongan?
Perlahan Kirana balas menjabat tangan gadis yang mengaku bernama Regine tersebut. “Oh,…Hi…I’m Kirana… Emm… Sorry… Kamu benar-benar gak ingat saya? Rumah Singgah ‘Asih’?” tanya Kirana ‘keukeuh’.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Regine malah balik bertanya. Sejenak ia mengernyitkan dahi. Wajahnya tampak benar-benar dilanda kebingungan. Kirana semakin ragu kalau gadis tersebut berpura-pura tak mengenali dirinya.
“Saya merasa pernah bertemu anda sebelumnya. Sekitar tujuh tahun yang lalu. Di Jakarta, Indonesia. Anda mengingatkan saya pada seorang anak kecil bernama ‘Dewi’. Dia salah seorang adik pendampingan saya di Rumah Singgah ‘Asih’….Maaf kalau saya salah mengenali…”
“Oh, never mind, Kirana…..” Regine mengibaskan tangannya sambil tertawa renyah. Sekilas Kirana seperti kembali merasakan ‘dejavu’ ketika mendengar tawa Regine. Sekali lagi ia teringat tawa Dewi yang ceria. “Hmmm… Indonesia? Saya baru saja usai berlibur di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, bersama kedua orangtua saya. Itu mereka…”
Kirana menoleh ke arah objek yang ditunjuk Regine. Sepasang suami istri bule setengah baya tampak melambaikan tangan dari kejauhan, seperti mengajak Regine untuk segera berangkat. Regine membalas lambaian itu sambil mengangguk. Kemudian pandangan gadis itu kembali beralih pada Kirana yang masih terpaku. “I have to go now, Kirana…”
“Where?” tanya Kirana gugup. Ia sempat terperanjat melihat kedua orangtua Regine yang berbeda ras dengan gadis itu. Berjuta tanya semakin memberondong otak Kirana. Hingga terbentuklah sebuah keyakinan bahwa Regine adalah anak adopsi pasutri bule tersebut.
“Holland… Aku minta maaf karena gak bisa ngobrol lebih lama dengan anda. Oh, ya aku turut prihatin. Semoga saja anda bisa segera bertemu lagi dengan Dewi,” jawab Regine dengan mimik yang kelihatan sedikit menyesal. Paling tidak, Kirana menangkapnya seperti itu. Mungkin pertemuan singkat tersebut sedikit membekas buat Regine, duga Kirana yang berubah menjadi sebuah pengharapan.
Entah mengapa perasaan Kirana begitu sedih. Ia seolah enggan untuk berpisah dengan Regine. Apalagi ketika mengingat betapa kemiripan Dewi dengan Regine sulit diingkari. Namun, suka tidak suka, gadis itu memang harus pergi dari hadapannya saat itu juga. Tiba-tiba Kirana teringat sesuatu.
“Wait! Wait a minute, Regine…!” seru Kirana seraya bergegas mengeluarkan sebuah majalah usang dari dalam tas cangklongnya. Entah mengapa semalam hatinya tergerak untuk menyelipkan benda itu guna membunuh kebosanan di atas pesawat selain beberapa novel terbaru yang dibelinya kemarin lusa di toko buku. Cepat-cepat dituliskannya beberapa baris kalimat di halaman depan majalah itu. Lalu diserahkannya segera ke tangan Regine.
Sesaat sebelah alis Regine terangkat. “Donal Duck Comic?”
“Di situ kutuliskan alamat email-ku. Jika kamu mengingat sesuatu setelah membaca komik itu, emm… tentang Negeri di Ujung Pelangi, maksud saya… please…. hubungi saya…”
“Negeri di Ujung Pelangi?”
“Yeah… “ Angguk Kirana dengan wajah sendu. Sesendu hatinya ketika harus melepas kepergian Regine yang membuatnya seperti kembali terlempar ke tujuh tahun yang lalu, di saat ia terakhir kali melihat senyum Dewi. Apakah ini pertanda bahwa ia pun takkan pernah bertemu lagi dengan Regine? Entahlah… berbagai rasa bergejolak di benaknya. Sebuah misteri kehidupan terpampang di depan matanya. Tanpa jawaban, tanpa penjelasan.
[caption id="attachment_205302" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi : www.shutterstock.com"][/caption]
Dalam hati Kirana berharap, bila Regine memang Dewi, semoga saja gadis itu dapat mengingat kembali sejarah hidupnya dari mana ia berasal dan impian kanak-kanaknya yang indah, terlepas dari apakah dia mengalami amnesia atau apapun. Namun, seandainya pun Regine bukan Dewi, semoga saja kehidupannya bersama keluarga adopsinya bisa lebih baik daripada kehidupan Dewi – sang pemulung cilik yang begitu merana dalam kemiskinan keluarganya – yang kini menghilang entah kemana.
“Di mana pun engkau berada, semoga kau mampu menemukan Negeri Di Ujung Pelangi yang kau impikan, Adikku…. Di mana semua impianmu menjadi kenyataan…,” bisik Kirana sambil menatap syahdu selengkung spektrum cahaya berwarna-warni dari balik kaca jendela pesawatnya yang menembus gumpalan awan di langit. “…Semoga….seindah pelangi….”
***
*Catatan :
- Cerpen ini hanya fiksi belaka. Jika terdapat kesamaan cerita & nama tokoh, hal tersebut hanyalah ketaksengajaan semata.
- Cerpen ini terinspirasi oleh momen “Hari Anak Nasional” tanggal 23 Juli sekaligus menjawab tantangan Ibu Sri Budiati kepada penulis untuk membuat sebuah cerita tentang anak jalanan. “Bu Sri.. maaf yaaa, cerpennya baru terealisasi sekarang dan kisahnya mungkin masih kurang memuaskan…” :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H