"Kamu..."
"Mas mau nanya siapa laki-laki itu kan?" potong Rinjani yang serta merta membalikkan tubuhnya menantang Daffa - yang telah berdiri di hadapannya. Rinjani mendongak, menatap nanar wajah Daffa yang masih terlihat tenang.
"Apa salahnya kalau aku menanyakan itu?" Daffa tersenyum tulus.
Keegoan Rinjani muncul dengan segala panas di hati. "Apa gak bisa nanyanya besok aja? Aku lelah, Mas! Aku bukan anak kecil lagi yang harus selalu diinterogasi!!!"
Daffa menghela nafas sejenak. Seperti berusaha meredam apapun yang dirasakannya saat itu. "Oke, aku minta maaf soal ini. Aku hanya kuatir ama kondisi kamu. Kamu sering gak ngangkat tiap aku menelpon, Rin. Kamu tanggungjawabku sekarang...."
Rinjani meleparkan senyum sinis tak berempati. "Ingat janji kita, Mas? Kamu gak akan terlalu jauh untuk mencampuri urusan privasiku. Toh, aku juga gak pernah nanyain apapun sama kamu? Impas kan?"
"Ya, aku menepati janjiku selama kamu menjalani aktivitasmu dalam kondisi normal..."
"Kondisi normal gimana?" sahut Rinjani sewot. "Toh, aku baik-baik aja... gak kurang suatu apapun!"
Daffa terdiam sejenak. Tampak jelas ia sedang berjuang melawan emosinya menghadapi makhluk keras kepala di hadapannya. Berusaha untuk merangkai kata-kata yang terdengar lebih bijak. "Apakah dalam kondisi normal namanya jika seorang istri pulang larut malam bersama seorang pria yang notabene adalah mantan kekasihnya?"
Plasss!! Wajah Rinjani memerah padam mendengar kalimat yang terlontar dari bibir suaminya barusan. Rinjani terhenyak! Adrenalinnya terpacu hingga ada yang mendesak diubun-ubunnya. Entah ada setan dari mana, Rinjani langsung menyembur Daffa dengan kata-kata bak sembilu. "Apa urusanmu mengatur hidupku, Mas? Kau lelah kan menghadapi aku? Dari awal pun kau tahu kalau aku sama sekali tidak mencintaimu!!! Tapi kenapa kau masih saja mau mengikuti kehendak papi-mami untuk menikahi aku? Karena balas budi? Karena harta?"
Tiba-tiba saja Daffa mencengkeram kedua lengan Rinjani dan menyandarkan tubuh gadis itu ke dinding ruangan. Raut Daffa yang tenang berubah menjadi kaku dan rahang kokohnya tampak gemeretak menahan emosi yang meluap-luap. Matanya memerah, menatap tajam ke manik mata istrinya. "Dengar, Rinjani... aku gak peduli seandainya kamu berpikir seburuk apapun tentang aku. Tapi jangan sekali-kali kamu menganggap kedua orangtuamu serendah itu! Mereka bukanlah manusia yang ingin menukarkan harga diri orang lain dengan uang! Seandainya pun aku berusaha membalas budi atas asuhan mereka selama ini, apa aku salah? Tapi itu bukanlah alasan utamaku menikahimu, tapi karena........."