"Aku... sebenarnya udah cukup lama tau soal ini," ungkap Kak Bayu pelan. "Soal ayahmu...."
"A... apa???" pekikku terhenyak. Hampir saja aku tak mengenali suaraku sendiri.
"Gak sengaja aku bertemu ayahmu di acara ulang tahun Fenita, keponakanku, sebulan yang lalu. Awalnya aku juga gak tau. Tapi waktu ayahmu membersihkan riasan wajahnya setelah acara itu selesai, aku....... langsung mengenalinya... Ayahmu juga kaget! Namun pada akhirnya, beliau mau juga menceritakan semuanya padaku."
"Ta... tapi kenapa baru sekarang Kakak memberitahukan aku?" tanyaku sengit. Tiba-tiba saja aku merasa dipermainkan. Mataku kembali basah. "Huh...! Ternyata benar tuduhan para tetangga tentang pekerjaan ayah yang menjadi badut sulap! Ayah sudah resign dari kantornya kan? Kenapa ayah tega membohongi kami?"
Rahang kokoh Kak Bayu tampak mengeras. Kedua telapak tangannya merangkum pipiku sambil menatapku dalam-dalam. "May..., dengar! ayahmu memang sudah resign dari perusahaan itu sejak sebulan yang lalu. Beliau dikambinghitamkan dalam sebuah kasus di kantornya. Sebenarnya ayahmu tak takut kalau harus dipenjara sekalipun, karena ia merasa tak bersalah! Namun beliau tak mau anak-anaknya terlantar. Maka itu, rumah keluargamu pun terpaksa dijual untuk menutupi kasus itu. Ayahmu menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya, May..... Apalagi kamu akan mengikuti ujian akhir.... Beliau memintaku untuk menyembunyikan semuanya. Tapi sampai pada titik ini, aku tak sanggup lagi! Kamu telah dewasa, May... Kamu berhak tau tentang apapun yang telah menimpa ayahmu...."
Hening. Sontak aku terpaku memandang sepasang mata elang itu. Tak pernah aku melihat Kak Bayu menatapku setajam itu. "Percayalah... ayahmu hanya ingin berbuat yang terbaik untuk kalian berdua. Maka itu, tunjukkanlah yang terbaik pula untuk ayahmu...... Kamu harus lulus dengan prestasi gemilang. Buatlah ayahmu bangga, May..."
Mendadak hatiku mengharu biru. Tangisku kembali pecah mendengar ucapan Kak Bayu barusan. Aku merasa menjadi orang tertolol di dunia! Kak Bayu langsung merangkulku ke dalam pelukannya. Berusaha memahami perasaanku saat itu....
*
"Besok aku gak mau sekolah lagi, Kak!!!!!" "Lho, kenapa bisa gitu? Kamu kan harus rajin sekolah Ikhsan. Kan kamu pengen jadi dokter?"
"Aku malu................ Teman-teman semua ngeledekin aku, Kak! Anak badut sulap! Anak badut sulap! Semua ngetawain aku, Kak..."
Aku termangu melihat wajah Ikhsan yang tertunduk. Sesekali bocah 8 tahun itu mengucek-kucek sepasang matanya yang masih sembab. Sesunggukannya masih terdengar juga meski tak sesering tadi. Kuusap lembut kepala adikku satu-satunya itu. Seragam putih merah masih melekat di tubuh mungilnya. Tas sekolah yg menyelempang dan sepatunya pun belum juga dilepas. Belum pernah ia seperti itu sebelumnya. Â Ia tampak benar-benar terpukul. Sama seperti perasaanku dulu. Namun semua berusaha kututupi di hadapan Ikhsan, maupun di hadapan ayah. Bahkan sampai saat ini beliau tak tahu kalau aku telah mengetahui semuanya.