Mohon tunggu...
Lia Agustina
Lia Agustina Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bukan manusia sempurna....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ketika Ayah Harus Menjadi Badut...

7 Juni 2010   12:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:41 1220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Alunan jazz instrumental 'Sleep Away' dari Bob Acri begitu lembut menyapa telingaku. Suasana sejuk di dalam mobil itu sedikit membantuku mendinginkan hati dan pikiran. Sesekali Kak Bayu mencuri pandang padaku di balik kemudi. Seperti mengerti kegundahan yang kurasakan, ia pun tak banyak bicara sejak tadi.

Aku masih saja terpaku. Menelusuri rasa hatiku yang tak menentu. Berharap agar semuanya cuma sekedar mimpi. Tetapi, ketika tadi kulihat dengan mata kepalaku sendiri, ternyata semua tak hanya rumor semata.

Semua berawal dari beberapa hari yang lalu. Seperti biasa, sebelum pergi ke sekolah aku harus berbelanja ke warung dan memasak. Maklumlah, ibuku sudah tiada sejak melahirkan adik semata wayangku, Ikhsan. Sejak itu, aku pun harus berperan menjadi ibu rumah tangga. Selintas aku mendengar ibu-ibu berbisik-bisik di dekatku. Meski bernada pelan, tapi sorot mata dan senyum geli mereka mengarah padaku.

[caption id="attachment_161013" align="alignleft" width="188" caption="Ilustrasi : http://abuhasif.wordpress.com"][/caption] Tak pelak, aku langsung sedikit 'merasa'. Apalagi keluargaku memang baru di daerah itu. Tiba-tiba saja, seorang ibu menyeletuk padaku, "Mbak.. mbak... katanya ayahnya kerja di perusahaan ekspor impor ya? Kok kemaren saya lihat cuma jadi badut sulap? .... Hahahaha..."

Duuhh!!

Kejadian itu memang sudah seminggu berlalu. Namun gelak tawa mereka masih saja seperti peluru yang dimuntahkan ke gendang telingaku. Aku berusaha tak menggubris semua omongan tetangga. Karena yang aku tahu, ayahku memang bekerja di sebuah perusahaan ekspor-impor terkenal selama 10 tahun.

Hingga tadi pagi pun aku melihat ayah masih berpakaian rapi dan menjinjing tas kerjanya. Ia pergi kerja seperti biasa, meski tanpa sepeda motornya lagi. Yang kutahu, kendaraan itu ayah jual untuk keperluan kuliahku nanti - yang hanya tinggal beberapa bulan lagi. Ayah memang sangat antusias untuk menyekolahkan kami setinggi mungkin. Syukurnya aku sudah diterima di sebuah perguruan tinggi negeri terkenal di kotaku melalui jalur PMDK. Paling tidak, hal itu bisa sedikit meringankan beban ayah.

Sebulan yang lalu, ayah menjual rumah kami di sebuah kompleks perumahan. Menurut ayah, beliau akan join bisnis dengan temannya dan membutuhkan modal. Walau menyayangkan, namun aku tak banyak bertanya. Aku dan Ikhsan pasrah saja ketika harus pindah ke rumah yang lebih kecil di kawasan perkampungan.

Sebenarnya aku memang sudah curiga dengan gelagat ayah yang lebih pendiam dan tertutup akhir-akhir ini. Beliau tak banyak bersenda gurau lagi dengan aku dan Ikhsan seperti biasanya. Padahal kami sering kali mengobrol dari hati ke hati sesudah makan malam. Ayah tak pernah lupa menanyakan persiapanku menjelang ujian akhir SMA dan nilai-nilai ulangan Ikhsan yang memang selalu membuatnya bangga. Oh, aku benar-benar terharu melihat betapa ayah selalu memperhatikanku dan Ikhsan! Ia berusaha untuk menjadi ayah sekaligus ibu yang baik bagi anak-anaknya. Padahal kami sudah mendorong ayah untuk menikah lagi, namun ayah masih tetap saja sendiri. Cintanya pada ibu tak lekang oleh waktu, meski telah terpisah dunia....

Hingga kemarin siang, Kak Bayu menyampaikan sesuatu yang semakin memancing kepenasarananku. Ia berjanji akan menunjukkan sebuah fakta yang patut aku ketahui dan kumengerti. Namun sayangnya, Kak Bayu tetap bungkam, meski telah kuberondong dengan beribu pertanyaan. "Besok kamu akan tahu semuanya.....," ujarnya pelan.

Maka itu, sepulang dari kampusnya sore tadi, Kak Bayu buru-buru menjemputku dari tempatku mengajar privat. Bersama jeep hitamnya, kami melaju ke sebuah perkampungan di pinggir kota. Sebuah tempat yang cukup asing buatku. Namun kuikuti saja langkah Kak Bayu menelusuri tempat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun