Ya Tuhan...., ini pasti sangat sulit kamu dijalani...
Hmmm.... mulanya memang sangat sulit aku menerimanya, Cahaya. Tapi kujalani saja sidang demi sidang dengan harapan yang tak pernah pupus, bahkan sudah sampai pada tahap Kasasi. Namun... keadilan itu tak pernah datang untukku. Sekarang aku hanya mengharapkan keputusan dari Peninjauan Kembali, apakah aku masih mendapatkan kesempatan hidup lebih lama atau harus berakhir di pelaksanaan eksekusi? Tapi.... aku sudah siap menjalani takdir ini, karena saat-saat yang terberat justru telah kulalui...
Saat-saat seperti apa itu, Mas?
Ketika ibuku meninggal dunia dan aku tak dapat mengantarkannya ke peristirahatan terakhir, tapi aku belajar untuk mengikhlaskan semuanya, Cahaya. Hmm...kalau boleh aku meminjam kata-kata guru ngajiku, Pak Kus, bahwa ikhlas itu adalah pelajaran yang tersulit dalam hidup, namun bila kamu mampu menjalaninya dalam takdirmu, kamu akan menemukan kebahagiaan hidup yang sejati.....Ah, bagaimana mungkin seorang napi seperti aku dengan lancangnya mengucapkan kata-kata ini pada seorang gadis anak konglomerat terpandang?
Mas Elang! Kamu sudah tahu aku....
Sebelum kamu datang pun, aku sudah mengetahuinya. Siapa yang tak kenal ayah dan keluargamu? Mungkin orang lain bisa terkecoh dengan penyamaranmu, tapi aku tidak... Elang tertawa pelan. Aku benar-benar merasa sangat bodoh. Tapi entah mengapa aku sangat menyukai suara tawanya yang lepas - yang pertama kali aku dengar - dan nantinya akan selalu aku rindukan selamanya.
Semua proses untuk menyelesaikan tugas akhir itu pun berusaha aku nikmati karena aku bertekad tak akan menunjukkan kecengenganku lagi. Hingga pada satu titik, aku baru menyadari bahwa Elang pun telah terjebak pada sebuah perasaan yang seharusnya tak terjadi. Cinta. Ya Tuhan, Ia mencintaiku... Tapi....ia tak pernah mengatakannya, aku hanya mendapat informasi itu dari seorang sipir penjara yang secara tak sengaja pernah mendengar percakapan Elang dengan seorang napi lain yang dianggapnya sebagai ustad sekaligus ayahnya sendiri, Pak Kus. Oh... saat itu aku benar-benar tak mengerti harus bagaimana mengatur perasaanku, pantaskah aku merasa bahagia - karena ternyata perasaanku yang terpendam ini tak bertepuk sebelah tangan? Ataukah aku harus menepisnya dan bersikap seolah-olah tak pernah ada yang bergemuruh di hatiku ketika mendengar namanya? Aku benar-benar kacau! Aku pun telah terjebak pada perasaan ini.....
Namun sungguh malang, entah bagaimana caranya dan bahkan tanpa aku ketahui melalui siapa, kabar tentang kedekatan antara aku dan Elang sampai juga ke telinga kedua orang tuaku. Papa sangat berang dan memaksa aku kembali ke rumah melalui pengawal-pengawalnya. Aku benci sekali ketika helikopter itu sudah membawa tubuhku meninggalkan pulau terpencil tersebut. Aku terus meronta-ronta dan menangis sejadi-jadinya, tak rela terpisahkan dengan cinta sejatiku dengan cara seperti ini. Sampai-sampai aku harus dibius agar tak nekad menerjunkan diri dari helikopter itu.
Berhari-hari aku dibuat agar tetap tak sadarkan diri dengan cara dibius. Mungkin terdengar kejam, namun orangtuaku punya alasan sendiri. Mereka tahu bila aku dalam kondisi sadar, aku takkan bisa dicegah untuk kembali ke pulau itu. Pembenaran dari mereka - paling tidak, aku dibius hanya untuk sementara sampai saatnya tiba. Saatnya tiba? Ya, saat di mana pelaksanaan eksekusi Elang akan dilakukan. Hari ketika aku dijemput paksa dari pulau itu, merupakan hari di mana kabar tentang keputusan Peninjauan Kembali (PK) kasus Elang ditolak. Harapan Elang untuk mendapatkan keadilan bagi dirinya telah terkubur! Aku bisa merasakan bagaimana hancurnya hati Elang saat itu, meski hanya dari alam bawah sadarku. Ya, aku sangat bisa merasakannya....! Karena walaupun dalam kondisi tidur - efek dari bius itu, aku tetap bisa bertemu dengan Elang walau hanya dalam mimpiku. Elang memelukku dengan erat dan seolah tak ingin ia lepas lagi. Aku menangis di dadanya, tak terima dengan takdir yang sepertinya tak pernah mau berpihak pada cinta kami berdua. Sesaat kemudian, Elang membisikkan sesuatu di telingaku..... Jaga dirimu baik-baik, Cahayaku... karena kelak di keabadian, aku - Elang, akan mengepakkan sayapku untuk mencarimu, Cahaya yang selalu menyinari relung jiwaku.... Setelah itu, dalam mimpi tersebut Elang melepaskan pelukannya dan menghilang entah ke mana, meninggalkan aku yang hanya mampu memanggil-manggil namanya sambil terus menangis dan menangis.....
Di sini, di depan nisanmu, lima tahun setelah kepergianmu.... aku belum juga mampu memusnahkanmu dari hati dan memori otakku, Elang. Bahkan sepucuk surat milikmu yang dikirimkan oleh kepala penjara untukku setelah eksekusi itu terjadi, masih terus kusimpan rapi. Sebuah surat yang sudah usang, namun sangat berarti dalam hidupku. Kalaupun surat ini kelak akan hancur lebur, namun ingatanku akan selalu meresapinya dalam hatiku, dalam jiwaku.... Kau tahu? Aku sudah hapal di luar kepala apa isinya, dan setiap tahun, disetiap aku menziarahi pusaramu pada hari jasadmu dikembalikan ke bumi, aku akan membacakannya lagi, membayangkan bahwa kamulah yang mengucapkannya untukku....
Cahaya......