Mohon tunggu...
Firno Ardino
Firno Ardino Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Tinggal di Indonesia Pernah belajar di Politeknik Negeri Ujung Pandang (PNUP), Makassar. Blog: www.delapan-penjuru.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Terjal di Hari Kebangkitan Teknologi Nasional Kita?

27 Agustus 2017   22:37 Diperbarui: 29 Agustus 2017   16:23 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ritech expo (Dok.Pribadi)

Dari layar kaca saya menyaksikan penerbangan perdana Pesawat N250 GatotKaca besutan Mantan Presiden Indonesia BJ Habibie. Saya lalu membayangkan berada di kerumunan orang banyak kala itu. Rasanya menakjubkan, deru laju pesawat saat lepas landas lalu mengangkasa kemudian di sambut tepuk tangan dan decak kagum para penonton. Dari ruang kemudi sesekali bapak BJ Habibie menerangkan berbagai komponen kendali pesawat.

Hari itu tepat tanggal 10 Agustus 1995. Sekian tahun lamanya akhirnya Indonesia mampu membuat pesawat terbang komersil untuk dalam negeri.  Hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Namun, belum memasuki fase produksi secara massal, proyek pesawat N250 di hentikan tahun 1998. Kini, dua pesawat jenis yang dibuat tersebut telah terparkir menjadi besi tua di Apron PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Sementara pesawat buatan Eropa jenis ATR, justru merajalela dan dipakai oleh berbagai maskapai dalam negeri untuk melayani penerbangan hingga ke pelosok-pelosok Indonesia.

Penerbangan perdana pesawat N250 pada tanggal 10 Agustus di Bandung kala itu, menjadi tonggak kebangkitan teknologi nasional Indonesia. Peristiwa tersebut menjadi bukti bahwa negara ini punya "inovasi dan kreatifitas". Hasil karya anak bangsa itu terekam dalam arsip Republik ini dan telah berhasil menjadi pemupuk semangat jiwa untuk terus berpacu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang membanggakan hingga ranah Internasional. Dari peristiwa bersejarah tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 71 tahun 1995, momen 10 Agustus setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas).

Setelah menyaksikan detik-detik penerbangan Pesawat N250 dari layar kaca, muncul berbagai pertanyaan yang berkecamuk dipikiran saya, "Masih adakah semangat jiwa pengembangan teknologi di kalangan kawula muda saat ini?" "Benarkah teknologi membantu umat manusia ataukah hanya sekedar gagasan imaji belaka?" dan pertanyaan-pertanyaan itu sangat mengganggu. Apalagi jika saya melihat kondisi disekitar yang masih sering mengajukan keraguannya terhadap sains. Ibarat sungai, sains sebagai hulu dan teknologi sebagai hilirnya. Di sinilah saya melihat ada satu kesatuan  yang tak dapat pisahkan.

Di tahun 2016 perayaan Hakteknas dilangsungkan di kota Solo dan tahun ini diadakan di Makassar. Tepatnya di seputaran kawasan Center of Point Indonesia atau biasa disebut CPI. Banyak rangkaian acara yang disajikan seperti Car Free Day, Bakti teknologi, Anugrah Iptek hingga Pameran Inovasi Teknologi. Salah satu kegiatan yang cukup menarik perhatian saya adalah pameran inovasi teknologi (Ritech Expo).

Hari itu saya menjajali berbagai stand pameran. Sekedar menengok-nengok apa saja teknologi yang ada. Ternyata ada banyak stand dari berbagai instansi pemerintah dan perguruan tinggi Nasional. Semua stand menampilkan hasi riset (berupa produk) teknologi terbaru. Di salah satu stand perguruan tinggi asal Surabaya, ada sebuah produk inovasi motor listrik yang sedang ramai di bicarakan berbagai media. Terakhir motor listrik tersebut sudah melakukan uji coba sejauh 1200 km Jakarta-Bali. Jika tak ada aral melintang 2018 sudah dapat dipasarkan.

Menarik bila di tahun-tahun kedepan Jalan raya di Indonesia dihiasi motor listrik. Apalagi kondisi perkembangan automotif di Indonesia tidak begitu meyakinkan, sekarang Indonesia masuk dalam 3 besar negara dengan penjualan motor terbanyak. Sayangnya, negara ini belum mempunyai produk lokal asal Indonesia bahkan cenderung didominasi produk Ke-Jepang-Jepangan.

Pada akhirnya sebuah karya mesti di balas dengan karya. Jika Jepang punya karya kenapa tidak balas dengan karya juga. Pun efeknya akan kembali ke Indonesia. Setidaknya kita punya produk untuk mengembangkan "inovasi dan berdaya saing" bukan pula semata-mata untuk "saling mengalahkan" namun ada ruang nafas "perkembangan teknologi" yang kita bangun bersama.

Harteknas (Dok.Pribadi)
Harteknas (Dok.Pribadi)
Di salah satu stand saya memperhatikan inovasi jembatan yang digagas oleh Kementrian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (KemenPUPR). Ini temuan yang cukup menarik, jembatan apung namanya. Menggunakan teknologi stryrofoam dan beton. Konon kabarnya jembatan ini cocok digunakan pada daerah sekitaran sungai atau daerah yang tidak bisa menggunakan pemancangan tiang beton dan diuji coba pertama kali di Kecamatan Kampung Laut Kabupaten Cilacap pada Maret 2017.

***

Sains dan Muda-mudi Kita

Kenapa mesti sains? Bagi saya sains adalah teropong masa depan bukan hanya sekedar "teori" diruang kelas. Dari sains inilah kerap berujung pada yang namanya "teknologi". Salah satunya Teknologi Android yang begitu dekat dengan kehidupan keseharian adalah produk pengembangan dari sains. Begitupun ketika pertama kali ditemukan atom oleh Albert Einstein, hal itu merupakan bagian dari pengembangan ilmu sains.

Di ruang-ruang kelas, sains kerap kali dianggap sebagai momok yang menakutkan. Keidentikkan sains dengan berbagai "rumus-rumus" membuat kepala beberapa mahasiswa sering kacau balau. Kadang kala memahami sains menurut muda-mudi kita adalah hal menjemukan. Saya kira tak mesti harus seperti itu. Sains itukan ilmu alam dan faktu sejarah menyatakan seperti itu. Bagaimana ketika Newton menemukan rumus fenomenalnya, Archimedes pun demikian dan itu di temukan ketika mereka meresapi setiap detiknya bersama alam.

Memahami sains seperti hal kita memahami alam. Setiap rumusnya adalah simbol-simbol yang dilekatkan pada pemahaman tertentu. Contoh sederhananya seperti rumus Usaha di simbolkan dengan Huruf (W) dalam ilmu fisika, W=FxS (Gaya dikalikan dengan Jarak). Andainya saja kita bisa sama-sama memahami bahwa "usaha sama dengan gaya atau beban yang di kalikan jarak", mungkin kita tidak akan pernah lupa dengan rumus ini. Jauh di antara jarak dan gaya itu sebenarnya ada rindu Eh.. Rindu untuk memahami sains bukan hanya sekedar simbol-simbol dan huruf.

Barangkali kita belum menemukan satu cara yang tepat untuk mendekatkan sains lalu kemudian membumikannya dalam kehidupan keseharian kita. Pembelajaran di ruang kelas tidak kontekskan dengan kehidupan kita. Hingga akhirnya kita hanya melihat dengan begitu kaku. 

***

Titik Perhubungan Teknologi dan Kearifan lokal.

Pada tahun 2006, suatu ketika Pemerintah menaikkan status gunung merapi menjadi "awas". Itu artinya penduduk rawan bencana radius 10 km dari puncak harus diungiskan. Namun, beberapa warga bersikukuh untuk bertahan. Kata Mbah Maridjan kala itu, "jangan dikatakan Merapi itu njeblug, ngetokne wedhus gembel,..yang benar Merapi itu sedang membangun reresik ibaratnya orang bersih-bersih, sampah itukan tidak dibuang ke depan rumah?". Kala itu ia melakukan ritual-ritual yang dipercaya masyarakat setempat punya kekuatan mistis dan akhirnya kampung Kinahrejo terhindar dari bencana.

Terkadang sulit untuk dicerna melalui penjelasan ilmiah. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Merapi kala itu. Dari peristiwa itu menunjukkan keunggulan "kearifan lokal". Pada titik inilah kemudian penjelasan yang sifatnya sains (ilmiah) tak mampu berbuat banyak. Akibatnya, orang-orang semakin percaya akan kemampuan Mbah Maridjan membaca tanda-tanda alam.

Tak bisa dipungkiri pemerintah kita terkadang menjelaskan sesuatu dengan pendekatan yang sifatnya sainstis tanpa pernah melihat kacamata kearifan lokal yang digunakan masyarakat. Akibatnya penjelasan yang disampaikan pemerintah tak begitu meyakinkan. Paduan kedua cara pandang ini biasa disebut oleh para ahli sebagai "kajian Etnosains".

Sains dan penjelasan ilmiah itu punya titik perhubungan. Hanya saja cara menyampaikannya yang kadang kala belum tepat. Beberapa tahun sebelum itu pemerintah sudah melihat ada tanda-tanda Erupsi Merapi akan terjadi tetapi secara mengejutkan tiba-tiba berubah secara drastis. Namun 4 tahun kemudian (tahun 2010) Erupsi itu terjadi. Di sinilah kemudian sains menunjukkan dirinya.

Artinya sains bisa membantu kita melihat tanda-tanda alam. Begitupun dengan menggunakan kacamata kearifan lokal. Hanya saja kita terkadang selalu dipaksa untuk memihak pada satu pandangan tanpa mengindahkan kekayaan cara pandang pihak lain. Memupuk ego diri lalu memberangus cara pandang lain seakan sudah menjadi kebiasaan dan hal yang lumrah.

Padahal antara sains dan kerifan lokal saling melengkapi satu sama lain (komplementer). Hingga akhinya antara kearifan lokal dan sains adalah dua kepingan kacamata yang harus di satukan sehingga kita bisa melihat gambar dengan jelas.

                                                                                   

Makassar, 27 Agustus 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun