Mohon tunggu...
Firno Ardino
Firno Ardino Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Tinggal di Indonesia Pernah belajar di Politeknik Negeri Ujung Pandang (PNUP), Makassar. Blog: www.delapan-penjuru.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Terjal di Hari Kebangkitan Teknologi Nasional Kita?

27 Agustus 2017   22:37 Diperbarui: 29 Agustus 2017   16:23 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ritech expo (Dok.Pribadi)

Kenapa mesti sains? Bagi saya sains adalah teropong masa depan bukan hanya sekedar "teori" diruang kelas. Dari sains inilah kerap berujung pada yang namanya "teknologi". Salah satunya Teknologi Android yang begitu dekat dengan kehidupan keseharian adalah produk pengembangan dari sains. Begitupun ketika pertama kali ditemukan atom oleh Albert Einstein, hal itu merupakan bagian dari pengembangan ilmu sains.

Di ruang-ruang kelas, sains kerap kali dianggap sebagai momok yang menakutkan. Keidentikkan sains dengan berbagai "rumus-rumus" membuat kepala beberapa mahasiswa sering kacau balau. Kadang kala memahami sains menurut muda-mudi kita adalah hal menjemukan. Saya kira tak mesti harus seperti itu. Sains itukan ilmu alam dan faktu sejarah menyatakan seperti itu. Bagaimana ketika Newton menemukan rumus fenomenalnya, Archimedes pun demikian dan itu di temukan ketika mereka meresapi setiap detiknya bersama alam.

Memahami sains seperti hal kita memahami alam. Setiap rumusnya adalah simbol-simbol yang dilekatkan pada pemahaman tertentu. Contoh sederhananya seperti rumus Usaha di simbolkan dengan Huruf (W) dalam ilmu fisika, W=FxS (Gaya dikalikan dengan Jarak). Andainya saja kita bisa sama-sama memahami bahwa "usaha sama dengan gaya atau beban yang di kalikan jarak", mungkin kita tidak akan pernah lupa dengan rumus ini. Jauh di antara jarak dan gaya itu sebenarnya ada rindu Eh.. Rindu untuk memahami sains bukan hanya sekedar simbol-simbol dan huruf.

Barangkali kita belum menemukan satu cara yang tepat untuk mendekatkan sains lalu kemudian membumikannya dalam kehidupan keseharian kita. Pembelajaran di ruang kelas tidak kontekskan dengan kehidupan kita. Hingga akhirnya kita hanya melihat dengan begitu kaku. 

***

Titik Perhubungan Teknologi dan Kearifan lokal.

Pada tahun 2006, suatu ketika Pemerintah menaikkan status gunung merapi menjadi "awas". Itu artinya penduduk rawan bencana radius 10 km dari puncak harus diungiskan. Namun, beberapa warga bersikukuh untuk bertahan. Kata Mbah Maridjan kala itu, "jangan dikatakan Merapi itu njeblug, ngetokne wedhus gembel,..yang benar Merapi itu sedang membangun reresik ibaratnya orang bersih-bersih, sampah itukan tidak dibuang ke depan rumah?". Kala itu ia melakukan ritual-ritual yang dipercaya masyarakat setempat punya kekuatan mistis dan akhirnya kampung Kinahrejo terhindar dari bencana.

Terkadang sulit untuk dicerna melalui penjelasan ilmiah. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Merapi kala itu. Dari peristiwa itu menunjukkan keunggulan "kearifan lokal". Pada titik inilah kemudian penjelasan yang sifatnya sains (ilmiah) tak mampu berbuat banyak. Akibatnya, orang-orang semakin percaya akan kemampuan Mbah Maridjan membaca tanda-tanda alam.

Tak bisa dipungkiri pemerintah kita terkadang menjelaskan sesuatu dengan pendekatan yang sifatnya sainstis tanpa pernah melihat kacamata kearifan lokal yang digunakan masyarakat. Akibatnya penjelasan yang disampaikan pemerintah tak begitu meyakinkan. Paduan kedua cara pandang ini biasa disebut oleh para ahli sebagai "kajian Etnosains".

Sains dan penjelasan ilmiah itu punya titik perhubungan. Hanya saja cara menyampaikannya yang kadang kala belum tepat. Beberapa tahun sebelum itu pemerintah sudah melihat ada tanda-tanda Erupsi Merapi akan terjadi tetapi secara mengejutkan tiba-tiba berubah secara drastis. Namun 4 tahun kemudian (tahun 2010) Erupsi itu terjadi. Di sinilah kemudian sains menunjukkan dirinya.

Artinya sains bisa membantu kita melihat tanda-tanda alam. Begitupun dengan menggunakan kacamata kearifan lokal. Hanya saja kita terkadang selalu dipaksa untuk memihak pada satu pandangan tanpa mengindahkan kekayaan cara pandang pihak lain. Memupuk ego diri lalu memberangus cara pandang lain seakan sudah menjadi kebiasaan dan hal yang lumrah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun