Sri Rahmakrishna: Keharmonisan Agama-agama Dalam Kemajemukan
Abstrak
Pluralism agama merupakan kenyataan tidak bisa direduksi dari kehidupan bersama kita. Kemajemukan agama bisa membawa pengaruh pada sikap menutup diri dan sikap mengklaim kebenaran yang ada dalam agamanya sendiri, serta memandang agama lain benar atau tidak memiliki keselamatan. Sikap mengkalim kebenaran (the problem of truth claim) membawa dampak pada sikap intoleransi, saling curiga, saling memusuhi, dan menutup diri pada kebenaran yang terdapat pada agama lain. Bahkan, bisa sampai pada sikap ekstrem yakni tindakan kekerasan dan diskriminasi. Dengan demikian, diperlukannya sikap saling terbuka, kemauan untuk berjumpa dan menglami langsung (hidup bersama) dengan orang-orang yang berbeda keyakinan atau agama, sehingga kita dapat mengetahui  dan mengakui kebenaran yang ada dalam agama yang lain
Sri Ramakrishna menggambarkan perjalanan spiritualnya sebagai jalan pengenalan akan kebenaran yang ada pada agama-agama yang lain, yakni Hindu, Buddha, Islam dan Kristen. Tindakannya ini bukan untuk menilai agama mana yang paling benar, melainkan untuk mengetahui dan mengenal bagaimana paham kebanaran dan Yang Ilahi pada agama yang lain. Keterbukaannya ini, akhirnya menumbuhkan sikap peduli dan menghargai kebenaran pada agama yang lain. Yang ia rumuskan dalam kalimat, keharmonisan agama (harmony of religions), Dharma Samavaya.Â
Kata kunci: Pluralisme agama, Intoleransi, Sri Ramakrishna, dan Keharmonisan agama.
A. Â Biografi Sri Ramakrishna
   Sri Ramakrishna adalah seorang santo mistik, yang lahir dalam sebuah keluarga Brahmana yang miskin tetapi saleh di desa terpencil (Kamarpukur) di Benggala Barat (1836-1886). Sri Ramakrishna menunjukkan tanda-tanda temperamen mistik bahkan di awal masa kanak-kanaknya. Dia hanya menempuh pendidikan yang cukup untuk dapat membaca dan menulis. Pada usia sembilan belas tahun ia menjadi imam di Kuil Kl yang waktu itu baru ditahbiskan di Dakshineshwar . Bertentangan dengan apa yang biasanya terjadi dalam kasus imam biasa, pelayanan kepada dewa hanya meredakan kerinduan bawaan untuk Tuhan dalam kasus Ramakrishna.
   Dalam pencariannya akan Tuhan atau Kebenaran, ia melakukan sadhana yang intens dan mencapai tingkat realisasi spiritual yang belum pernah terjadi sebelumnya, sedemikian rupa sehingga bahkan selama masa hidupnya ia dipuji sebagai inkarnasi Tuhan. Dia adalah salah satu nabi terbesar dari agama harmoni. Tentu saja ini bukan ide baru bagi agama Hindu. Tulisan suci kuno ribuan tahun yang lalu telah menyatakan bahwa 'Kebenaran adalah satu, orang bijak menyebutnya dengan beragam' (Ekam sat viprah bahudha vadanti).[Terjemahan dari blog, Shantatmanandaji Maharaj]Â
   Sri Ramakrishna merasakan keinginan yang tak terpuaskan untuk menyadari Tuhan melalui berbagai jalan. Pertama-tama ia mengikuti jalur berbeda Hinduisme-Yogi, Tantra, Vaiava, dan jalan lainnya dan mencapai tujuan masing-masing dalam periode yang sangat singkat, yang berpuncak pada pengalaman Realitas non-ganda melalui Nirvikalpa Samdhi pada zaman itu. Selain itu, keinginan untuk mewujudkan Tuhan melalui agama-agama lain menjadi kuat di dalam dirinya dan, dua tahun kemudian pada tahun 1866 ia mulai mengikuti jalan sufi Islam di bawah panduan Sufi. Dia hidup seperti seorang Muslim, menawarkan Namaz dan mengulangi nama Allah. Sdhan ini memuncak dalam visi Makhluk yang bercahaya yang akhirnya bergabung menjadi Yang Mutlak.
   Delapan tahun kemudian, keinginan untuk mewujudkan Tuhan melalui jalur spiritual Kekristenan menjadi kuat di dalam dirinya, dan ia mulai mendengarkan bacaan dari Alkitab.  Suatu waktu pada tahun 1874, suatu ketika ketika dia melihat gambar Madonna dengan bayi Yesus, dia benar-benar tenggelam dalam pemikiran tentang Kristus. Penyerapan batin ini begitu kuat sehingga selama tiga hari ia tidak bisa pergi ke kuil atau memikirkan dewa-dewa Hindu. Pada akhir periode ini ia memiliki visi yang luar biasa tentang Yesus Kristus yang akhirnya menyatu dalam pengalaman Yang Mutlak.
   Ada dua poin penting dalam pengalaman spiritual Sri Ramakrishna yang patut mendapat perhatian khusus. Poin pertama, Sri Ramakrishna melihat masing-masing agama melalui mata para pengikutnya. Ketika ia mengikuti jalan agama mana pun, ia mengidentifikasikan dirinya sepenuhnya dengan adat istiadat agama itu. Poin kedua adalah bahwa, apa pun jalan religius yang ia ikuti, mereka semua memuncak dalam pengalaman Mutlak. Dari pengalaman langsung inilah ia memperoleh doktrin dharma-samanvaya atau "harmoni agama-agama" (harmony of religions) yang ia gambarkan sebagai jalur yata mat tata.[S. Bhajanananda, Harmony Of Religion From the Stand Point of Sri Ramakrishna and Swami Vivekananda, 2008, Swami Sarvabhutananda, Kolkota, hlm.12]