Mohon tunggu...
Firmino Botan
Firmino Botan Mohon Tunggu... Lainnya - Mencoba dengan harapan. Dan berharap untuk terus mencoba

Kesuksesan bukan hanya milik orang-orang yang pintar, melainkan juga milik mereka yang tekun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebebasan, Hukum, Moralitas dan Akal Budi

7 Oktober 2021   20:40 Diperbarui: 7 Oktober 2021   22:02 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Kebebasan dan Hukum

(Veritatis Splendor (VS) Artikel 38-53)

Pilihan Menjadi Pribadi Otentik dalam Ruang Publik

Pengantar

"No one can live as an Island". Demikian sebuah adagium klasik yang artinya, "tidak ada seorang yang bisa hidup seperti sebuah pulau." Manusia pada hakikatnya selalu hidup dalam kebersamaan, baik dengan sesamanya maupun ciptaan yang lain. 

Kehidupan dalam persatuan ini sangat gamblang dikisahkan dalam Kitab Kejadian bab 1 dan 2. Dikatakan bahwa Allah menciptakan alam, manusia dan segala makhluk. Kemudian, Allah tidak memisahkan mereka, tetapi menempatkan mereka untuk hidup secara berdampingan.

Namun, dari semua ciptaan Allah, hanya manusia yang dibekali akal budi. Akal budi inilah yang menjadikan manusia berbeda dengan ciptaan yang lain. 

Dengan akal budinya tersebut membantu manusia khususnya dalam menjalani hidup, mengambil keputusan, tindakan dan relasinya, yang berbeda dengan binatang ataupun tumbuhan yang melakukan sesuatu dengan instingnya. 

"Manusia diberi akal dan kemampuan oleh Allah agar dengan akal dan kemampuan-kemampuan itu ia menyempurnakan dan membahagiakan hidupnya. Jadi, akal dan kemampuan-kemampuan khusus yang ada pada manusia adalah bekal hidup yang tak akan pernah habis bahkan sebaliknya bekal kehidupan itu selalu bertambah. Bekal kehidupan ini yang memberi manusia kebahagiaan dan mengantar manusia pada kebahagiaan sejati."[1]

Di samping anugerah akal budi, Allah juga menganugerahkan kebebasan bagi manusia. Akal budi dan kebebasan ini merupakan dua hal pokok yang khas dimiliki oleh manusia. Sehingga manusia itu, sebagaimana yang dikatakan dalam Kitab Suci, yakni diciptakan seturut/sesuai rupa Allah. "...Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar Allah...", (bdk. Kej. 1, 26-27). 

Kata gambar mengandaikan suatu keserupaan (Allah dan manusia) yang menyeluruh dalam kodrat; akal, kehendak dan kekuasaan. Yang di maksud dengan sesuai rupa Allah adalah akal budi/rasio dan kebebasan.[2] Oleh sebab itu menjadi jelas bahwa, manusia itu merupakan ciptaan yang serupa dengan Allah karena ia merupakan partner atau teman kerjanya Allah. 

Tulisan ini berangkat dari ensiklik Veritatis Splendor, Cahaya Kebenaran, yang sub temanya membicarakan tentang kebebasan dan hukum. Di samping itu ada hal-hal pokok lainnya yang disinggung dalam bagian ini yakni tentang peranan akal budi dan moralitas.

Kebebasan

Manusia selalu mengidentifikasi diri sebagai makhluk yang bebas. Terdapat beragam pernyataan yang sering kita dengar seperti, saya bebas menjadi diri sendiri, tidak usah mengatur-atur hidupku, urus saja hidupmu. Saya juga bebas mengikuti gaya hidup seperti ini dan itu. Saya bebas untuk membangun relasi dengan siapa saja. Sekali lagi itu bukan urusanmu.

Singkatnya, kebebasan dimaknai sebagai sesuatu yang berurusan dengan diriku sendiri. Orang lain tidak boleh mengaturnya. Dengan demikian, ketika berhadapan dengan norma-norma yang bertentangan dan membatasi kebebasan pribadi, kita merasa hak kita direnggut dan dibatasi. Sebab, yang kita kehendaki adalah kebebasan yang sebebasnya sekaligus bebas dari peraturan. 

Seperti yang digagas oleh seorang filsuf eksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre dengan pernyataannya yang terkenal adalah "heil is the other peoples (neraka adalah orang lain)."[3] Yang memiliki kesan bahwa, kehadiran orang lain atau dalam konteks ini yakni norma-norma merupakan sumber malapetaka bagi subyek.

Sebelum melangkah lebih jauh penting untuk memahami terlebih dahulu apa itu kebebasan? Kebebasan secara eksistensial dipahami sebagai kemampuan untuk menentukan atau memilih hal yang dikehendakinya. Kemampuan menentukan pilihan dari dalam dirinya, tanpa paksaan dari pihak luar, itulah yang disebut kebebasan.[4] 

Kebebasan eksistensial diklasifikasi menjadi dua, yakni kebebasan fisik dan rohani. Kebebasan fisik berarti orang bisa menggerakkan sendiri tubuhnya sesuai dengan kehendaknya atau menentukan sendiri secara fisik apa yang akan dikerjakannya. 

Sedangkan, kebebasan rohani adalah kemampuan untuk menentukan sendiri apa yang dipikirkan, dikehendaki, dan bertindak secara terencana. Kebebasan rohani bersumber pada akal budi yang dan melampaui keterbatasan fisik. Kebebasan rohani adalah sanggar manusia yang paling dalam dimana aku berhadapan dengan aku. 

Sedangkan, St Thomas berpendapat bahwa kebebasan sebagai milik kehendak manusia di mana ia menentukan dirinya sendiri dalam tindakannya menuju akhir. Jelas kebebasan ini dibatasi, jadi ini bukan ominpotence. Hanya saja manusia menentukan dirinya sendiri, dan tidak ada kekuatan dari luar dirinya yang dapat menentukan dirinya dalam pilihannya.[5] 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, kebebasan merupakan hal fundamental yang dimiliki oleh setiap manusia. Menurut Gaudium et Spes, artikel 17, "Kebebasan merupakan tanda yang mulia gambar Allah dalam diri manusia". Dikatakan sebagai tanda gambar Allah yang mulia dalam diri manusia karena kebebasan manusia adalah sebuah anugerah atau pemberian dari Allah, dan manusia harus bertanggung jawab atas kebebasan tersebut kepada Allah (freedom is from God and for God). 

Allah menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri (Sir.15,14), agar dia dapat mencari Penciptanya dan dengan bebas mencari kesempurnaan. Mencapai kesempurnaan semacam itu berarti secara pribadi membangun kesempurnaan dalam dirinya sendiri. Manusia dalam melaksanakan kekuasaannya disesuaikan dengan akal budi dan kehendaknya sendiri (Bdk. Veritatis Splendor, 39). Peranan akal budi manusia.

Di samping itu, kebebasan juga dapat dikatakan sebagai representasi kehadiran Allah di dalam diri manusia dan membantu manusia bertumbuh menjadi pribadi yang berkarakter. 

Oleh sebab itu, kebebasan adalah kemampuan untuk memilih mau menjadi pribadi seperti apa saya ini. Hidup bukan hanya hadiah, hidup juga adalah tugas. 

Banyak teolog dengan tepat menunjukkan bahwa pilihan-pilihan penting kehidupan, diambil bersama sebagai satu kesatuan, masing-masing dari kita membuat apa yang disebut sebagai pilihan mendasar (fundamental option) yang membentuk inti mendalam dari identitas pribadi kita.[6] Poin penting dari "pilihan mendasar" ini adalah pemahaman mengenai "kebebasan untuk melakukan tindakan seperti apa" dan "kebebasan untuk menjadi pribadi macam apa."

Pilihan mendasar dalam kaitan antara tindakan dan pembentukan diri selalu terkait erat dengan peranan akal budi. Akal budi juga berperan sebagai pertimbangan moral. Peranan akal budi manusia dalam menemukan dan menerapkan hukum moral. Hidup moral memerlukan kreativitas dan corak asli pribadi, yang menjadi sumber dan penyebab dari keputusan-keputusannya yang bebas. 

Akal budi menyimpulkan kebenarannya sendiri dan otoritas dari hukum abadi yang tidak lain adalah kebijaksanaan ilahi itu sendiri (Aquinas, 74 Sum. Th. I-II, q.93.a.3). Otonomi yang tepat dari akal budi praktis berarti bahwa manusia memiliki hukumnya sendiri yang diterima dari Allah.[7] 

Manusia sebagai makhluk yang berakal budi secara aktual dengan bebas memutuskan makna tingkah lakunya. Dalam proses penentuan makna ini, manusia perlu mengenal keterbatasan-keterbatasannya dan model-model makna yang didapatnya dalam budaya tertentu, terlebih harus menghormati perintah dasar untuk mengasihi Allah dan sesama. 

Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan bebas dan karena itu Allah menyerahkan kepada manusia kuasa untuk memutuskan sendiri.[8]

Maksud dari pernyataan di atas ialah manusia yang memiliki akal budi dan kebebasan dalam mengambil keputusan-keputusan harus selaras dengan kodratnya. 

Ini merupakan suatu kebenaran karena melakukan hal-hal yang tidak bertentangan dengan kodratnya. Sebagaimana yang dikatakan juga oleh Socrates bahwa manusia harus bertindak, bertingkah laku, bersikap sesuai kodratnya. Socrates mendefinisikan manusia sebagai animale rationale (binatang ber-akal) untuk membedakan manusia dari binatang. [9] 

Binatang tidak tahu apa itu kebebasan dalam menentukan moral, sedangkan manusia dengan kemampuan akal budinya dan kebebasan dapat menentukan moral.

Hukum 

Manusia adalah makhluk sosial. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena ia tidak dapat melepaskan dirinya dari relasi dengan sesama maupun ciptaan yang lain. 

Dalam menjalani relasi tersebut, manusia membutuhkan aturan atau norma yang mengikatnya sehingga tercipta keharmonisan dan kebaikan bersama (common good). Menarik untuk menelaah pemikiran Thomas Hobbes berkaitan dengan mengapa manusia membutuhkan aturan atau kekuasaan yang mengaturnya. Hobbes melukiskan manusia sebagai sebuah mesin yang anti-sosial.

"Manusia menurutnya adalah makhluk yang pada dasarnya ingin memuaskan kepentingannya sendiri dengan mencari kenikmatan dan mengelak dari rasa sakit. Di samping itu, sebagai makhluk yang anti-sosial karena pemeliharaan diri itu bertentangan dengan hasrat pemeliharaan diri yang dimiliki oleh orang lain. Sehingga timbul kecenderungan bahwa manusia ingin menguasai yang lain, 'bellum omnes omnia', perang semua melawan semua. Dalam perang itu manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus)." [10].

Gambaran manusia dalam pandangan Hobbes di atas menjadi salah satu contoh dimana kehidupan bersama selalu diliputi persaingan yang tidak sehat antar sesama manusia. Contoh lain yang dapat kita temukan dan saksikan saat ini adalah perkembangan teknologi yang semakin cepat dan masif yang membuat orang kehilangan daya kritis.

 Adanya perubahan gaya hidup yang semakin cenderung materialis dan hedonis yang tak terbendung yang menciptakan budaya baru dalam masyarakat. Tak jarang dampak dari perubahan-perubahan tersebut tidak saja pada individu yang bersangkutan, melainkan pada komunitas atau masyarakat secara keseluruhan. 

Maka suasana yang timbul dari perubahan tersebut adalah kekacauan karena hilangnya moralitas otentik dalam diri individu yang berujung pada tindakan mereduksi eksistensi sesama dan ciptaan yang lain. Oleh sebab itu, manusia membutuhkan norma atau aturan, dimana hak dan eksistensi mereka di jamin dan dilindungi.

Sebelum masuk lebih jauh pembahasan ini, penting untuk memahami apa itu hukum. Hukum berarti arah menuju akhir, terikat pada akhir (Latin, lex=ikatan/pengikat). St. Thomas mendefinisikan hukum kodrat sebagai partisipasi dari hukum kekal dalam akal budi ciptaan.[11] Hukum berfungsi untuk mengatur hubungan antara manusia dan ciptaan yang lain. 

Dalam perjalanan kepada tujuan akhir, yakni Allah, "Satu-satunya yang baik", manusia dengan bebas haruslah melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan (VS 42). Louis Leahy menjelaskan hal itu dengan merujuk pada pengalaman manusia, yakni fenomena cinta. Dalam cinta sejati yang matang dua orang saling mengasihi dengan bebas dalam arti bahwa mereka sedikit pun tidak merasa terpaksa atau tertekan, dan sekaligus sama sekali tergantung satu dari yang lainnya.[12].

Menarik untuk melihat fenomena cinta ini dalam kaitannya dengan perintah Sinai, yang kita sebut sepuluh perintah. Di maman perintah pertama dan utamanya adalah mencintai Allah di atas segala sesuatu dan perintah untuk mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri. Kedua perintah ini menempati posisi yang sama (bdk Mat 22:35-40). 

Kedua perintah ini sekaligus menjadi 'ukuran tindakan moral. Sebab, "pengetahuan ini bisa alami tetapi juga supranatural, karena hukum moral telah diturunkan oleh Tuhan dan diumumkan secara positif dalam sepuluh perintah Allah".[13]

Hukum kekal ini ditanamkan dalam makhluk yang berakal budi, dan mendorong mereka untuk ke perbuatan yang benar dan ke tujuan. Manusia dapat mengenal kebaikan dan keburukan berkat adanya pembedaan yang baik dari yang jahat, yang dibawanya sendiri oleh karena akal budinya, khususnya akal yang diterangi oleh Wahyu Ilahi dan oleh iman, melalui hukum yang diberikan Allah kepada Umat Terpilih, yang mulai dengan perintah di Sinai (VS 44).

Manusia sebagai makhluk yang berakal budi, tidak hanya dapat tetapi secara aktual harus dengan bebas memutuskan makna tingkah lakunya (VS 47). Untuk menyempurnakan dirinya sendiri dalam jenisnya yang khas, seorang pribadi harus melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan, terlibat dalam meneruskan dan menjaga kehidupan, menyempurnakan dan mengembangkan kekayaan dunia material, memupuk kehidupan sosial, mencari kebenaran, mempraktikkan kebaikan dan merenungkan keindahan (VS 51).

Kesimpulan

Ensiklik Veritatis Splendor menekankan sentralitas kebebasan, akal budi dan hukum kodrat, yang merupakan dasar dari moralitas Katolik. Hukum kodrat ialah kesadaran yang rasional dan senantiasa berkembang mengenai harus seperti apakah kehidupan yang manusiawi itu. 

Hukum kodrat itu tersedia bagi setiap makhluk berakal budi. Ini semua lebih nyata pada manusia yang diciptakan Tuhan sebagai ciptaan yang rasional dan memiliki perasaan yang hidup dalam suatu kebersamaan (masyarakat/komunitas).

Hukum kodrat ialah kesadaran rasional akan tatanan ciptaan, kesadaran akan fakta bahwa Allah menciptakan kita sebagai suatu ciptaan, dan bahwa hal ini memiliki implikasi moral tertentu. 

Hukum moral itu sudah sejak semula ditempatkan Allah dalam hati manusia (Rm 2:15). Bahwa, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan bebas, dan Allah menyerahkan kepada manusia kuasa untuk memutuskan sendiri, dan Ia mengharapkan manusia membentuk hidupnya secara pribadi dan secara rasional. Mengasihi sesama berarti terutama dan secara khusus menghormati kebebasannya untuk membuat keputusan-keputusannya sendiri (VS 47).

Oleh sebab itu, kebebasan, akal budi dan hukum tidak dilihat dalam relasi-konflik atau saling bertentangan, melainkan dalam relasi-konstruktif, di mana dapat membantu seseorang bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang otentik-integral dalam kehidupan sosial-masyarakat.

Bibliography

 

Hardiman, B. F.

2019. Pemikiran Modern, Dari Machiavelli Sampai Nietzche. Kanisius, Yogyakarta.

 

Sachs, R. J.

1991. The Christian Vision of Humanity, Basic Christian Anthropology. The Gift of Human Freedom. The Liturgical Press, Minnesota.

 

Suseno, M. F.

2006. Menalar Tuhan. Kanisius, Yogyakarta.

 

Wibowo, S. A.

2011. Filsafat Eksistensialisme, Jean-Paul Sartre. Kanisius, Yogyakarta.

 

  Joseph M. de Torre.

1980. Christian Philosophy. Sinag-Tala, Manila.

 

  Dapiyanta, FX.

"Semakin Menjadi Manusiawi", Teologi Moral."

 

  Jehuru, J.

2009. "Kesempurnaan Manusia, Iman dan Ilmu Pengetahuan", Journal Pharayangan.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun