Mohon tunggu...
Firmauli Sihaloho
Firmauli Sihaloho Mohon Tunggu... Jurnalis - Bataknese who Grown in West Sumatera & Working in Riau Province

Menghidupi Hidup Sepenuhnya

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Fenomena Antrean di Era Revolusi Industri 4.0

1 Desember 2019   20:24 Diperbarui: 1 Desember 2019   20:37 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Antrean (freeimages.com)

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia sedang mendapatkan bonus demografi hingga tahun 2036 mendatang. Artinya, saat ini penduduk usia produktif antara 15 tahun hingga 64 tahun lebih banyak dibandingkan usia non produktif, dibawah usia 15 tahun dan diatas usia 64 tahun.  Dengan demikian, generasi muda bangsa harus dipersiapkan sedini mungkin agar siap bersaing dengan negara lain. Salah satunya pemerataan layanan kesehatan.

Sejatinya, pemeritah berusaha memecahkan permasalahan tersebut lewat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Badan Usaha Milik Negara ini menjadi ujung tombak pemerintah mengentaskan permasalahan kesehatan. Sebagai negara Kepulauan, BPJS Kesehatan diharapkan mampu menjangkau masyarakat agar mendapatkan layanan kesehatan yang layak, seperti fasilitas kesehatan, tenaga medis, dan obat-obatan.

Melansir laman resmi BPJS Kesehatan, peserta layanan pada 1 September 2018, mencapai angka 201.660.548 jiwa. Angka tersebut mengalami peningkatan hingga 1 Februari 2019 sebesar 7,8 persen atau setara 217.549.455 jiwa.

Jika dibandingkan dengan total penduduk Indonesia sekitar 265 juta jiwa, maka peserta BPJS Kesehatan telah mencapai angka 81,8 persen. Akan tetapi, angka ini masih terpaut dari target pemerintah sekitar 13,2 persen. Sebagaimana diketahui,  pemerintah menginginkan total peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) di BPJS Kesehatan pada 2019 bisa mencapai 95 persen dari total penduduk.

Peningkatan ini juga diiringi jumlah fasilitas kesehatan yang terus bertambah. Tercatat pada September 2018, BPJS Kesehatan telah mejalin kerjasama dengan 22.467 faskes. Sedangkan pada 1 Februari 2019 silam, terjadi penambahan sebesar 532 faskes.

Namun, dari jumlah peserta itu jika dibagi dengan total fasilitas kesehatan tentu tak sebanding. Setidaknya dari rumusan umum, satu faskes memiliki sekitar 9.500 peserta. Dengan demikian, berdasarkan kalkulasi tersebut, permasalahan yang sering dihadapi faskes adalah membludaknya antrean pasien. Sehingga pelayanan kesehatan akan tersendat.

Pakar jaminan kesehatan, Profesor Budi Hidayat kepada Media Indonesia 27 April 2016 mengatakan masalah panjangnya  antrean  pasien  BPJS  Kesehatan  menjadi  salah  satu  hal  yang  banyak dikeluhkan pasien. Waktu tunggu yang tidak efektif dalam setiap kali berobat membuat banyak pasien kerap merasa tidak puas dengan layanan BPJS Kesehatan. Untuk itu perlu dicari solusi untuk menangani masalah ini.

Dosen Prodi Kesmas Universitas Esa Unggul, Ade Heryana pada 2015 silam melakukan penelitian tentang Karakteristik Antrean dalam Pelayanan Kesehatan. Penelitian itu   menunjukkan  bahwa  rendahnya pemanfaatan JKN pada beberapa perusahaan disebabkan persepsi yang buruk terhadap antrean pelayanan di Puskesmas.

Lamanya waktu menunggu dan waktu pelayanan akan mengurangi produktivitas kerja karyawan sehingga ada beberapa perusahaan yang hanya mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS namun tidak pernah memanfaatkan.

Di sisi lain, terdapat faskes yang telah melakukan inovasi agar permasalahan antrean itu bisa diminimalisir. Yakni Rumah Sakit Umum (RSU) Aisyiyah Ponorogo di Jawa Timur (Jatim).

Rumah Sakit tipe C ini diketahui mengembangkan fasilitas pengantaran obat dari RS ke tempat tinggal pasien. Kemudian, Rumah Sakit ini turut mengembangkan pendaftaran dan antrean di klinik secara online.

Berkat pemanfaatan internet, durasi antrean pasien bisa dipangkas, Jika sebelumnya pasien membutuhkan waktu 6 sampai 7 jam, kini pasien hanya menunggu sekitar 1 hingga 2 jam saja. Atas inovasi tersebut, rumah sakit yang melayani rata-rata 500 hingga 600 pasien per hari ini diganjar penghargaan BPJS Kesehatan Award 2019 yang diterima di Jakarta Agustus lalu.

Digitalilasi kesehatan seperti yang diterapkan RSU Aisyiyah Ponorogo memang sudah seharusnya menjadi contoh bagi industri kesehatan di Indonesia. Digitalisasi ini harus terus didorong dan dikampanyekan agar masyarakat bisa menikmati layanan kesehatan secara maksimal.

Farly Nur Dewantara merupakan sosok pemuda yang menaruh harapan besar terhadap perkembangan layanan kesehatan di Indonesia. Lulusan Institut Teknologi Telkom ini memutuskan kembali ke kampung halaman, Pekanbaru untuk merintis bisnis start-up kesehatan pada tahun 2016.

Platform pertama yang Dia bangun ialah Medicaboo. Aplikasi layanan kesehatan ini membantu para pasien di Riau untuk melakukan reservasi, seperti jadwal konsultasi dengan dokter, mencari kamar inap dan lainnya. Berbagai layanan tersebut disertai besaran ndust. Dengan begitu, pasien bisa memilih sesuai dengan kesanggupan.

Aplikasi kesehatan Medicaboo ini dicetuskan Farly atas pengalaman pribadinya. Ketika itu Farly mendapati Mertuanya sedang kesulitan mencari kamar rawat inap untuk adik iparnya yang sedang mengalami sakit. Tidak hanya itu, Sang Mertua juga kesusahan mencocokkan dengan jadwal dokter untuk keperluan konsultasi.

Farly melakukan sejumlah survei atas kejadian yang dialami dirinya. Ternyata, banyak masyarakat mengalami kasus serupa. Berbekal disiplin ilmu yang Dia kuasai, Farly bersama Mertua, Drg Suci Nuralitha M.Kes, yang telah berpengalaman 30 tahun di dunia kesehatan sepakat untuk merintis startup kesehatan yang kemudian diberi nama Medicaboo.

Aplikasi tersebut bisa diunggah di platform Android dan Ios. Hingga saat ini informasi lengkap ratusan rumah sakit se Riau dan dokter sudah bisa diakses oleh pasien. Begitu juga jika ingin melakukan reservasi.

Bersama Medicaboo, pemuda kelahiran tahun 1991 ini mendapatkan beberapa penghargaan. Teranyar ialah kompetisi IT nasional yang ditaja Telkomsel pada 2017 lalu, The NextDev. Selan itu, Farly juga ditunjuk sebagai perwakilan komunitas online pelaku startup di Asia, Tech in Asia Chapter Pekanbaru.

Setelah Medicaboo beroperasi, Farly belum merasa puas. Dia kembali gusar melihat permasalahan kesehatan di Indonesia yang memang cukup kompleks, salah satu ialah fenomena antrean di fasilitas kesehatan yang merupakan mitra BPJS Kesehatan.

Farly memperhatikan permasalahan klasik itu masih terus terjadi. Masyarakat yang ingin berobat tak terlayani maksimal. Padahal di era Revolusi Industri 4.0 berbagai kemudahan telah tersedia dengan memanfaatkan jaringan internet.

Lantas pada Januari 2019 lalu, Farly kembali berinovasi dengan menghadirkan solusi alternative, merintis Assist.id. Melalui software berbasis cloud ini, fasilitas kesehatan akan lebih mudah memonitor dan mengontrol klinik secara digital. Seperti pendaftaran pasien, antrean, kasir, rekam medis, apotek dan lainnya bisa dilakukan secara online. Dengan begitu, proses pelayanan akan lebih efesien dan efektif.

Assist.id merupakan software aplikasi klinik, apotek dan rumah sakit terbaik yang dapat membantu para pelaku bisnis faskes. Kehadiran Assist.id menjadi terobosan atas digitalisasi faskes di Indonesia dengan mudah.

Selanjutnya, Assist.id bisa diintegrasikan dengan bridging BPJS P-Care. Untuk mempermudah dokter-dokter dalam menyimpan rekam medis (EMR) pasien. Software klinik Assist.id juga menyediakan catatan dokter dengan standar ICD 10, catatan perawat, odontogram, upload foto dan sebagainya.

Sementara bagi pemilik apotek, Assist.id juga menawarkan fitur yang penting dalam pencatatan stok obat, daftar obat, peringatan obat habis, peringatan obat kedaluarsa hingga laporan yang lengkap.

Sehingga, pekerjaan admisi, dokter, dan apoteker kini dapat lebih terotomatisasi dan efektif jika menggunakan software klinik Assist.id.

Saat ini, Farly tengah menjajaki beberapa provinsi untuk memperkenalkan Assist.id. Sebelumnya, Assist.id sudah hadir di beberapa kota, seperti di Pekanbaru, Siak, Duri, Jakarta, Bandung hingga Makassar. Sementara untuk jumlah klinik yang sudah mendaftar, sejauh ini sudah ada sekitar 20 klink.

Langkah Farly mendirikan dua aplikasi di atas nyatanya sesuai dengan kemajuan saat ini, yakni era Revolusi Industri 4.0. Prof. Klaus Martin Schwab dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution (2017) menjelaskan bahwa saat ini kita berada pada awal sebuah revolusi yang secara fundamental mengubah cara hidup, bekerja dan berhubungan satu sama lain. Perubahan itu sangat dramatis dan terjadi pada kecepatan eksponensial. Pegeseran yang paling kentara terasa adalah maraknya ndustry berbasis elektronika, teknologi informasi, serta otomatisasi.

Walau memberikan kemudahan, Revolusi Industri 4.0 juga membawa polemik. McKinsey Global Institute (Desember 2017) merilis data bahwa pada 2030 sebanyak 400 juta sampai 800 juta orang harus mencari pekerjaan baru, karena digantikan mesin. Kondisi tersebut tentu amat mengerikan bagi Indonesia yang merupakan salah satu negara dengan populasi terpadat di Indonesia. Jika tidak disiasati, maka gelombang pengangguran akan melanda negeri ini.

Kendati demikian, rasa optimis menghadapi arus perubahan ini haruslah tetap dipupuk. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa Revolusi Industri 4.0 justru memberi kesempatan bagi Indonesia untuk berinovasi. Revolusi yang fokus pada pengembangan ekonomi digital dinilai menguntungkan bagi Indonesia. Pengembangan ekonomi digital adalah pasar dan bakat, dan Indonesia memiliki keduanya. Dia tidak sependapat bahwa Revolusi Industri 4.0 akan mengurangi tenaga kerja, sebaliknya malah meningkatkan efisiensi.

Peluang seperti yang dipaparkan Menteri Airlangga memang cukup beralasan. Indonesia sebagai negara yang majemuk memiliki sejumlah permasalahan yang tak akan pernah habis. Permasalahan ini tentu membutuhkan solusi. Solusi ini kemudian melahirkan inovasi. Menciptakan berbagai inovasi inilah yang seharusnya ditangkap oleh para generasi bangsa.

Seperti terobosan yang dilakukan Farly sudah sepatutnya diapresiasi dan dijadikan role model bagi generasi millennial.  Bahwa sebagai generasi muda harus ikut serta memajukan bangsa dengan kemampuan yang dimiliki. Ide sederhana jika dieksekusi dengan serius tentu akan bernilai dan bermanfaat bagi masyarakat banyak.

Indonesia saat ini mengalami dua peristiwa besar, Bonus Demografi dan Revolusi Industri 4.0. Kedua fenomena itu sudah seharusnya disadari betul oleh generasi muda untuk turut membantu menyelesaikan permasalahan bangsa yang sangat kompleks. Tak perlu hal besar, ide sekecil apapun yang berangkat dari permasalahan sekitar jika dilaksanakan serius maka akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

Farly Nur Dewantara menjadi sosok pemuda berani mengambil langkah besar yang berasal dari kegelisahan melihat problematik bangsa. Berkat tangan dingin Farly memanfaatkan perkembangan zaman, permasalahan atrean layanan kesehatan mulai terpecahkan. Semoga, Indonesia terus berevolusi hingga melahirkan generasi penerus pemuda kreatif, seperti Farly, Nadiem dan Achmad Zaky.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun