Mohon tunggu...
Firman Adi
Firman Adi Mohon Tunggu... Insinyur - ekspresi sederhana

arek suroboyo yang masih belajar menulis. nasionalis tak terlalu religius. pendukung juventus sekaligus liverpudlian. penggemar krengsengan, rawon dan tahu campur.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kepastian Hukum adalah Kunci Penjaga Iklim Investasi

12 Oktober 2020   22:02 Diperbarui: 12 Oktober 2020   22:15 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepastian hukum adalah kunci dan menjadi hal krusial dalam menjaga iklim investasi di Indonesia. Hal ini dinyatakan beberapa kali di beberapa forum berbeda oleh para pelaku usaha dan peneliti dunia usaha. Kepastian hukum inilah yang menjadi muara semua persoalan yang kemudian dipertimbangkan  investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Kenapa  beberapa investor lebih suka menanamkan modalnya di Vietnam, Thailand, Myanmar daripada di Indonesia? Karena lemahnya kepastian hukum di Indonesia mulai dari perijinan, keamanan, insentif perpajakan dan ketenagakerjaan. 

Kepastian biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh investor untuk memulai investasinya tentu menjadi hal yang pokok dalam hitungan bisnis. Di Indonesia tingkat ketidakpastian akan hal ini dinilai investor selama ini cukup tinggi antara lain karena masih maraknya praktek korupsi di dalam birokrasi yang multilayer dan tidak sistematis.

UU Cipta Kerja berusaha memangkas birokrasi dengan menderegulasi peraturan perijinan serta memperkuat kewenangan Pemerintah Pusat. Tapi masalah sanksi atas perbuatan korupsinya tidak terlalu dibahas karena dianggap sudah ada UU lain yang membahas hal ini.

Di sisi lain, tahun lalu Pemerintah dan DPR sudah mengesahakan UU KPK yang dinilai banyak pihak sebagai bentuk pelemahan atas kewenangan KPK. MA juga beberapa kali melakukan pemotongan masa hukuman koruptor di tingkat kasasi, ditambah beberapa kali grasi oleh presiden yang semakin meringankan hukuman bagi para koruptor.

Adakah yang melihat arah rekam jejak kebijakan-kebijakan Pemerintah ini dengan disahkannya UU Cipta Kerja yang memberikan kewenangan lebih luas pada Pemerintah Pusat? 

Memangkas birokrasi tetapi arah pencegahan dan penindakan korupsinya tidak terlihat ke arah yang sejalan. Walaupun Jokowi pernah menyatakan akan memperkuat KPK tetapi Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan di September 2019 pernah menyatakan bahwa Lembaga KPK bisa mengambat investasi terutama di sisi kepastian hukum.

UU KPK baru dianggap Moeldoko lebih memberikan kepastian hukum pada investor tetapi banyak pengamat menganggap UU KPK sebagai bentuk upaya pelemahan diantaranya terlihat di hal hal sebagai berikut :

  1. Menghilangkan independensi KPK dengan diangkatnya pegawai KPK menjadi ASN

  2. Waktu penyidikan dan penuntutan perkara yang lebih dari 2 tahun harus ditindaklanjuti dengan penerbitan SP3. Hal ini menyebabkan kasus-kasus yang rumit dan membutuhkan proses pencarian bukti-bukti yang kompleks akan rawan dihentikan.

  3. Membatasi kewenangan Pimpinan KPK dan menempatkan Dewan Pengawas sebagai kepanjangan tangan eksekutif karena dipilih oleh Presiden. Artinya birokrasi di KPK sendiri dibuat lebih berlapis di saat proses penyidikan dan penuntutan dibatasi waktu.

Sesuai apa yang diutarakan investor, untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia seharusnya kepastian hukumlah yang harus diselesaikan terlebih dahulu oleh Pemerintah.

Tindakan tegas kepada para aparat yang melakukan tindak pidana korupsi selama tahapan investasi dengan  proses hukum yang bersih dan memenuhi  prinsip hukum acara yang sederhana, cepat, dan biaya ringan seharusnya terus diupayakan.

Selama investor dirugikan dengan korupsi aparat tapi untuk membawanya ke proses hukum harus dijalani dengan biaya yang tinggi dan memakan waktu panjang (mulai dari penyidikan polisi, penuntutan kejaksaan sampai dengan peradilan oleh hakim, belum lagi kalau banding, kasasi atau peninjauan kembali) maka fenomena suap menyuap akan terus berjalan dan tidak akan pernah menarik bagi investor untuk menanamkan modal. 

Dalam hal perijinan, UU Cipta Kerja yang digemborkan menyederhanakan birokrasi perijinan, seharusnya di aturan pelaksana turunannya sudah mendetailkan daftar perijinan (berikut syarat-syarat dan biayanya) yang harus disiapkan oleh investor, instansi yang menangani  berikut target waktu penyelesaiannya serta sanksi bagi aparat yg lalai dalam menyelesaikan tugasnya sesuai target.

Semua transaksi terkait pembayaran perijinan harus dilakukan secara cashless non tunai ke kas negara. Hal ini mutlak diperlukan seiring dengan pemangkasan birokrasi agar tidak ada ruang kolusi dan korupsi yang berujung pada ketidakpastian biaya perijinan.

Jika investor nakal "bersimbiosis mutualisme" dengan oknum aparat yang korup dan "mengakali" ketentuan dalam aturan, harus ada tindakan hukum yang cepat dan tegas untuk keduanya.

Diharapkan ada ketentuan dalam aturan pelaksana UU Cipta Kerja yang mengantisipasi hal ini, karena dikhawatirkan investor yang sudah mentaati prosedur harus tenggelam dalam "lingkaran setan" suap dan gratifikasi karena perijinannya "dimainkan" dan memilih untuk tidak memproses hukum karena ketidakpastian dari sisi biaya tinggi dan  waktu yang panjang.

Di aspek keamanan dan pengelolaan lingkungan selama masa investasi, harus disyaratkan juga rencana tata kelola lingkungan oleh investor berikut pengawasannya. Aparat pengawas atas hal ini juga harus diproses hukum jika berkongkalikong dengan investor yang nakal.

Tidak boleh lagi ada oknum yang memaksa investor harus mengeluarkan biaya tidak resmi mulai dari oknum yang berlindung dibalik kedok organisasi / lembaga swadaya masyarakat, serikat buruh bahkan aparat berseragam.

Jika investor melakukan pelanggaran atau kesalahan pengelolaan lingkungan, pilihannya adalah segera dilakukan perbaikan sesuai ketentuan dengan pengawasan aparat atau jika menolak silakan diproses melalui jalur hukum.

Terkait ketenagakerjaan, komparasi produktifitas buruh di Indonesia dengan kenaikan UMK seringkali menjadi isyu yang setiap tahun menjadi perdebatan. Untuk itu investor melalui peraturan perusahaan dan perjanjian kerja dengan serikat karyawan harus menyepakati standar standar penilaian yg proporsional, logis dan sebagian besar terukur secara kuantitatif agar tidak ada pihak pihak yang merasa dirugikan.

Jika perusahaan berhak mem-PHK buruh yang kinerjanya tidak memenuhi standar ketentuan yang disepakati (dengan mengikuti tahapan PHK yang benar sebelumnya), maka Perusahaan juga harus diberikan sanksi jika tidak memenuhi kewajiban sebagaimana disyaratkan dalam UU atau perjanjian dengan Serikat Karyawan.

Di sini seringkali buruh tidak dalam posisi yang seimbang dengan investor. Pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja harus mengambil fungsi sebagai "wasit" yg bisa mengawasi dan mengambil tindakan atas investor investor yang lalai, bukan malah menyediakan diri untuk "dibeli". 

Jika perselisihan perusahaan dan buruh sampai masuk di pengadilan Hubungan Industrial, dengan kekuatan pendanaan yg lebih kuat untuk menyewa pengacara termasuk "melobby" para petugas hukum, posisi investor jelas jauh lebih "powerfull" dibanding buruh.

Beberapa kali kepentingan buruh yang diwakilkan kepada organisasi buruh yang diharapkan lebih kuat, ternyata tidak cukup efektif karena kekuatan uang investor yang "melumpuhkan" para negosiator dan buruh yang berkepentingan dengan pertimbangan proses hukum yang panjang, berbiaya tinggi dan melelahkan.

Pemerintah seyogianya menyediakan penasehat hukum gratis untuk para buruh yang secara logis dan legal di posisi lebih kuat ketika  berkonflik dengan perusahaan. Namun selama ini yang terjadi tetaplah kemenangan adalah milik para pemodal.

UU Cipta Kerja tidak serta merta sepenuhnya menjadi UU Omnibus Law "Sapu Jagat" yang ampuh untuk menggoda investor datang berduyun duyun, jika tidak diikuti dengan proses penegakan hukum yang adil, cepat dan berbiaya efisien.

Ketika KPK "dilemahkan" dan budaya kerja para penegak hukum masih belum dipaksa revolusioner berubah, maka Indonesia tidak akan menarik sebagai tujuan investasi dan selamanya menjadi negara konsumen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun