Jika perusahaan berhak mem-PHK buruh yang kinerjanya tidak memenuhi standar ketentuan yang disepakati (dengan mengikuti tahapan PHK yang benar sebelumnya), maka Perusahaan juga harus diberikan sanksi jika tidak memenuhi kewajiban sebagaimana disyaratkan dalam UU atau perjanjian dengan Serikat Karyawan.
Di sini seringkali buruh tidak dalam posisi yang seimbang dengan investor. Pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja harus mengambil fungsi sebagai "wasit" yg bisa mengawasi dan mengambil tindakan atas investor investor yang lalai, bukan malah menyediakan diri untuk "dibeli".Â
Jika perselisihan perusahaan dan buruh sampai masuk di pengadilan Hubungan Industrial, dengan kekuatan pendanaan yg lebih kuat untuk menyewa pengacara termasuk "melobby" para petugas hukum, posisi investor jelas jauh lebih "powerfull" dibanding buruh.
Beberapa kali kepentingan buruh yang diwakilkan kepada organisasi buruh yang diharapkan lebih kuat, ternyata tidak cukup efektif karena kekuatan uang investor yang "melumpuhkan" para negosiator dan buruh yang berkepentingan dengan pertimbangan proses hukum yang panjang, berbiaya tinggi dan melelahkan.
Pemerintah seyogianya menyediakan penasehat hukum gratis untuk para buruh yang secara logis dan legal di posisi lebih kuat ketika  berkonflik dengan perusahaan. Namun selama ini yang terjadi tetaplah kemenangan adalah milik para pemodal.
UU Cipta Kerja tidak serta merta sepenuhnya menjadi UU Omnibus Law "Sapu Jagat" yang ampuh untuk menggoda investor datang berduyun duyun, jika tidak diikuti dengan proses penegakan hukum yang adil, cepat dan berbiaya efisien.
Ketika KPK "dilemahkan" dan budaya kerja para penegak hukum masih belum dipaksa revolusioner berubah, maka Indonesia tidak akan menarik sebagai tujuan investasi dan selamanya menjadi negara konsumen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H