Astagfirullah, aku buang pikiran untuk melamar kerja di bank konvensioanal jauh-jauh. Lamunanku dihentikan, ku masukan Koran yang ku baca karena bis yang ku tunggu sudah datang.
Sudah menjadi makananku sehari-hari, setiap kantor yang ku masuki diriku mengalami penolakan, bukan karena aku tidak berkompeten, tetapi memang banyak perusahaan yang belum membutuhkan tenaga kerja baru. Lelah rasanya, aku beristirahat sejenak di dekat kantin sebuah kantor bank konvensional. Aku makan bekal yang dibuatkan oleh istriku untukku sebagai penghematan. Ikhsan, tiba-tiba ada seseorang memanggilku. Ternyata orang itu adalah Irfan teman SMA ku dulu yang kuliah disalah satu universitas negeri di kota Bandung.
"Wah kamu Fan. Apa kabar.?" Sapaku kepadanya
 "Alhamdulillah baik San, Maaf ya aku tidak bisa datang dipernikahan mu, aku bentrok sama diklat dikantorku." Jawab Irfan.
Aku pun segera merapihkan kotak makan siangku. "Dengar-dengar istrimu sedang mengandung ya. Wah selamat ya san, mau jadi calon bapak" Jawabnya sambil tertawa kecil.
"Iya Fan Alhamdulillah. Kamu kerja dimana sekarang.?" Irfan menyebutkan salah satu nama bank konvensional dan iya berbalik nanya kepadaku dengan pertanyaan yang sama.
"hehe, masih nyari Fan." Jawab ku dengan lirih.
"Kebetulan sekali Fan dikantorku lagi butuh banyak karyawan, bisa nih kamu lamar. Yaudah aku pergi dulu ya, sudah selesai jam istirahat" Jawab Irfan tergesa-gesa sambil memberikan kartu namanya. Aku pun bergegas bangun dan mulai mencari pekerjaan lagi.
Sore pun menjelang, saatnya aku pulang, pulang masih belum ada hasil. Menjelang malam akupun membuka berkas-berkas lamaranku, tiba-tiba jatuhlah kartu nama Irfan. Dan kulihat kartu nama Irfan dia berkantor di Bank konvensional yang sedang membutuhkan banyak pegawai, bank yang  sama seperti keterangan lowongan kerja dikoran yang kubaca tadi pagi. Langsung tanpa pikir panjang kutelpon nomor yang ada dikartu nama. Aku janjian esok pagi dikantor Irfan dengan membawa lamaran. Setelah itu akupun beristirahat, seperti biasa ditemani istriku tercinta. Aku sulit untuk tidur, pikiranku kacau, mengingat keputusanku tadi.
Pagi hari. Akupun bergegas menuju tempat tujuanku sepagi mungkin, tempat berharap aku bisa mendapat pekerjaan, benar saja aku orang pertama yang tiba, aku langsung masuk ke ruang. Terkejut, melihat orang yang akan menginterview adalah temanku Irfan.
"Hi apa kabar San?" sapa Irfan dengan ramah. "Yaudah San kita tidak usah terlalu formal ya, seperti kita teman saja." Kata Irfan.
Tidak kusangka ternyata Irfan langsung menawari ingin dibagian mana aku ditempatkan, akhirnya aku memilih dibagian custumer service, karena aku pandai berkomunikasi dan menurutku aku sangat bersahabat. Senang rasanya aku sudah mendapat pekerjaan, hari-hari kujalani dengan rutinitas biasa, dan aku selalu berbohong kepada istriku tentang pekerjaanku, dan setiap habis pulang kerja aku melepas dulu atribut kantorku sebelum sampai dirumah agar tidak ketahuan oleh istriku.
Sudah dua bulan aku bekerja dan selalu berbohong, hari-hari ku lewati dengan perasaan senang, senag dengan nikmatnya dunia yang membuatku lupa pada jalan yang lurus. Bangkai yang dikubur pasti akan tercium baunya. Akhirnya waktunya tiba, tiba saatnya semua yang ku sembunyikan tiba. Ketika diriku asik melayani customer bank tempatku bekarja. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sesuatu, dikejutkan oleh dua orang customer yang tiba-tiba menghampiri.Â
Bagaimana tidak salah satunya adalah istriku yang sedang menemani teman gurunya yang ingin membuka rekening untuk sekolahnya, aku gelagapan aku tidak konsentrasi memberikan pelayanan. Istriku hanya memberikan tatapan kosong, seolah-olah seperti orang yang baru pertama kali bertemu. Entah, sepertinya hancur perasaan istriku melihat apa yang dilihatnya.Â
Astagfirullah. Selama ini kepalaku terbentur oleh fananya dunia, aku seolah-olah amnesia, lupa akan larangan-larangan Allah sehingga aku terhenyak dalam indah sesaat dunia ini. Akupun kembali teringat akan pesan ayahku sewaktu wisuda "Selamat datang san di dunia nyata, perpengang teguhlah dan tetap dijalan yang lurus." pesan ayahku dulu.
Jam kerja pun usai, akupun pulang kerumah dengan perasaan yang berkecamuk, sesampainya dirumah, akupun disambut oleh istriku, namun kali ini beda istriku hanya diam, diam seribu bahasa, setelah usai istriku menyiapkan hidangan sore untukku, istriku langsung beranjak kekamar.Â
Akupun seolah-olah bisu, aku tidak sanggup mengeluarkan kata-kata, aku merasa menjadi manusia yang paling berdosa terhadap istriku. Akupun ke kamar menghampiri istriku, melihat istriku duduk dipinggir ranjang sambil menahan tangisnya, aku masih belum sanggup berkata-kata, didalam kamar kami berdua hanya terdiam, sampai akhirnya istriku membuka pembicaraan.
" abi, in syaa Allah umi sanggup mencukupi kebutuhan umi dan calon anak kita, umi tidak mau bayi yang belum berdosa ini makan dari hasil-hasil kegiatan riba, dan umi tidak sudi, dan umi memohon ijin untuk sementara tinggal dirumah orangtua umi. Semoga abi mengijinkan" kata istriku dengan nada berat. Akhirnya akupun mengijinkan.
Sudah beberapa hari setelah istriku meninggalkan rumah, akupun masih dalam perasaan yang bimbang. Akhirnya akupun mengundurkan diri dari pekerjaanku dan segera menjemput istriku. Akhirnya istriku mau diajak pulang.