Mohon tunggu...
Firman Hakim
Firman Hakim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bukan penulis ulung

Khoirunnas anfa’uhum linnas sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain ini

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Polemik Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

29 September 2021   07:58 Diperbarui: 24 April 2022   20:58 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Soe Hok Gie pernah berkata makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi

Penulis perlu mengingatkan kembali memori ingatan semenjak disahkanya revisi undang-undang KPK yang mendapat protes serta gelombang demonstrasi aksi refomasi dikorupsi dari masyarakat pada tahun 2019 yang lalu hingga menelan korban jiwa yakni alm immawan randy, alm yusuf kardawi, alm bagus putra, alm maulana suryadi dan alm akbar alamsyah tentunya menjadi duka cita yang mendalam bagi kita semua selaku masyarakat bahkan penolakan skala besar revisi UU KPK tidak di gubris oleh DPR RI maupun pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi. 

Tentunya publik khawatir dengan masa depan pemberantasan korupsi karena revisi undang-undang tersebut berpotensi melemahkan dari segi kelembagaan KPK dan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Bahkan kita mengetahui bukan hanya dari aspek subtansi isi (materil) yang berpotensi melemahkan KPK namun akan tetapi dari prosedur atau proses pembentukanya pun terkesan tertutup, kurang partisipatif, minim masukan dari masyarakat dan cacat secara formil.

Penulis jadi teringat dengan pemaparan dalam sebuah serial diskusi webinar Omnibus Law yang di paparkan oleh Bapak Herlambang Perdana Wiratraman akademisi FH Unair mengenai 5 indikator kejahatan legislasi (Legislative Crimes) yang merujuk pada jurnal Newman F. Baker yakni orienation to limited-dominant political economy power (borgeouis law oligarchy law), cruelty process, forgery content, limited participation dan legalised violation of human rights. 

Selain dari pada itu proses pemilihan panita seleksi pimpinan (pansel) KPK kontroversial yang melahirkan pimpinan KPK yang mempunyai rekam jejak yang bermasalah tidak boleh luput dari benak pikiran kita. Sejak pemberlakuan revisi UU KPK baru yakni Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kian sangat terasa hambatanya dalam kerja-kerja pemberatasan korupsi misalnya sebagai bukti contoh ketika KPK penyidiknya kehilangan jejak sebuah mobil truk yang diduga menyimpan dokumen terkait kasus dugaan suap penurunan pajak di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu) di Kec. Hampang, Kab. Kota Baru, Kalimantan Selatan.

Lalu tatkala KPK hendak akan melakukan penggeledahan dan penyitaan dalam kasus eks komisioner KPU RI Wahyu Setiawan yang melibatkan Kader PDIP Harun Masiku yang sampai saat ini sudah 2 tahun buron terdapat kendala ketika KPK tidak bisa menyegel kantor PDIP bahkan penyidik KPK pernah ditahan di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Hal ini buntut dari prosedur birokrasi penegakan hukum yang panjang tentunya berhubungan dengan izin dari Dewan Pengawas KPK.

Tidak kalah menarik pula kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjadi sorotan juga teman-teman karena untuk pertama kalinya KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) berdasarkan pasal 40 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang berbunyi "KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tipikor yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu 2 tahun." 

Sangat disayangkan, hemat penulis bahwasanya kasus BLBI ini menimbulkan kerugian yang besar terhadap negara. Sebagai ikhtiar konstitusi penolakan terhadap revisi UU KPK lewat jalur konstitusional pun pernah di tempuh lewat Judicial Review, akan tetapi sayang seribu sayang ditolak oleh MK baik uji formil maupun uji materil tapi ada pula sebagian yang dikabulkan mengenai uji materil mengenai proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan hanya dengan memberitahukan kepada Dewan Pegawas.

Waktupun berjalan rentetan skenario pelemahan KPK mencapai titik puncaknya yang mengaharuskan pegawai KPK menjadi ASN karena buntut dari revisi UU KPK berdasarkan pasal 1 ayat (6) yang menyatakan "Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara". 

Menurut penulis status alih pegawai KPK menjadi ASN kian terasa aroma ganjilnya dengan di adakanya proses TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) yang diselenggarakan oleh KPK dan BKN (Badan Kepegawaian Nasional) yang mana dalam pelaksanaanya banyak ditemukan maladminstrasi dan melanggar HAM yang merugikan pegawai KPK. 

Terkesan aneh pula status alih pegawai KPK harus di adakanya TWK dengan dalih sebagai bukti pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN dan di terbitkanya Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 yang memuat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). 

Hingga akhirnya, pimpinan KPK mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 1327 Tahun 2021 tertanggal 15 September 2021 untuk memberhentikan 57 pegawai KPK pada tanggal 30 September 2021 yang menurut penulis terkesan ganjal untuk menyingkirkan pegawai KPK yang dinilai berintegritas karena dinilai tidak lulus TWK (sebelumnya dari 75 menjadi 57 orang).

Persoalan Pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK 

Hemat penulis, jika dilihat dari hukum administrasi negara sebagai argumentasi yang mendasar masih mempertanyakan pula mengenai status alih pegawai KPK menjadi ASN harus melalui serangkaian proses TWK. Karena sependek pengetahuan penulis di dalam Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak diatur mengenai status alih pegawai menjadi ASN dengan harus adanya tahapan TWK karena penulis rasa tidak tepat, dikarenakan bukan rekruitmen calon pegawai baru melainkan hanya mengalihkan status alih pegawai KPK menjadi ASN saja. 

Usut punya usut ternyata pelaksanaan TWK terdapat persoalan yang menjadi fundamental terutama bagi para pegawai KPK, Atas pemeriksaan Ombudsman RI menemukan beberapa penyimpangan dari proses administrasi (maladministrasi) yakni kontrak swakelola KPK dan BKN backdate, BKN tak punya kompetensi (instrumen hukum tidak ada, penguasaan instrument tidak terpenuhi, asesor yang tidak berkualifikasi, dst), pimpinan KPK tidak transparan, dan penyalahgunaan wewenang (pejabat tidak berwenang menandatangani dokumen) atau intinya terdapat tindakan korektif.

Sementara hasil temuan lain mengejutkan yang dilakukan oleh Komnas HAM RI yang menemukan 11 pelanggaran HAM dalam proses pelaksanaan TWK KPK yang diantaranya adanya pelanggaran hak atas keadilan kepastian hukum, hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi (ras dan etnis), hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas informasi publik, hak atas privasi, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, hak atas kebebasan berpendapat. Bahkan terdapat permasalahan regulasi dalam penyusunan Perkom merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan diatasnya, khususnya dalam pasal 69 C UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, dan salah kira secara absolut (absolut dwaling) dan bentuk ismorfisme koersif (coercive isomorphism).

Dengan adanya temuan pemeriksaan serta rekomendasi dari lembaga negara lainya yaitu Ombudsman RI dan Komnas HAM RI tentunya telah sesuai menjalankan prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan di indonesia karena merupakan sebagai spektrum yang paling terpenting untuk menilai, mengontrol, megawasi satu sama lain antar lembaga negara yang harus diingat. 

Begitu pula dengan pendapat Jimly Asshiddiqie adanya sistem checks and balances mengakibatkan kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggaraan negara yang menduduki jabatan dalam lembaga negara dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya (Vide Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006). 

Oleh karena itu, pelaksanan TWK yang maladministrasi dan adanya pelanggaran HAM tidak bisa kita justifikasi untuk dibiarkan saja penulis rasa proses ini diduga untuk menyingkirkan 57 para pegawai KPK dengan dalih TWK. Maka berdasarkan bunyi pasal 38 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI menyatakan "terlapor dan atasan terlapor wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman" tapi kenyataanya KPK malah tidak menjalankan dan langsung mengeluarkan SK untuk memecat 57 para pegawai tadi.

Presiden Sebagai Kunci Penyelesaian Persoalan 

Dari lubuk hati yang paling terdalam penulis berharap dan memohon agar presiden jokowi bisa melihat persoalan ini dengan serius serta secara jernih bukan hanya angin lalu belaka atau jangan ada bisikan-bisikan liar yang menganggu beliau karena tentunya hal ini menyangkut untuk menegakan konsep tata kelola pemerintahan yang baik dalam reformasi birokrasi dan mencegah praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan yang sewenang-wenang. 

Rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas RI sebagai bukti nyata yang tentunya akan bermuara kepada presiden yang harus laksanakan. Dalam sistem pemerintahan presidensial tidak hanya meletakan presiden sebagai pusat kekuasaan eksekutif, tetapi juga kekuasaan negara yang artinya presiden tidak hanya sebagai kepala pemerintahan (chief of executive), tetapi juga sebagai kepala negara (chief of state). 

Dalam konsep negara hukum penyelenggaraan negara harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Sebagai penegasan dalam hal ini presiden menurut pasal Pasal 3 ayat (1) PP 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yakni "Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS." 

Tentunya yang perlu garis bawahi sekalipun dalam penyelenggaraan pemerintahan bisa di delegasikan atau dilaksanakan oleh tataran jabatan kementerian ataupun institusi lain akan tetapi presiden tidak bisa lepas tangan dan lepas tanggung jawab begitu saja mengenai persoalan ini karena sebagai kunci agar bisa selesai. Dengan demikian perlu kiranya untuk mendesak presiden agar menindak lanjuti rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM dan segera membatalkan pemecatan 57 pegawai KPK, berikut pertimbangan rasionalisasinya agar presiden lebih mudah dalam memutuskan hal tersebut, yakni :

Pertama, perlu dipertegas kembali pelanggaran maladministrasi dan pelanggaran HAM yang telah di temukan oleh Ombudsman RI dan Komnas HAM yang menjadi rekomendasi tentunya harus dipertimbangkan dengan serius oleh presiden demi mencegah praktek penyelewengan wewenang dan menegakan tata kelola pemerintahan yang baik sesuai reformasi birokrasi yang sebagaimana mestinya. Karena apabila presiden membiarkan praktek-praktek yang telah mencederai tata kelola pemerintahan yang baik sama saja telah melanggar ketentuan aturan yang ada. 

Maka keadilan administrasi dan keadilan HAM sangatlah penting untuk ditegakan tentunya harus di gubris oleh presiden sebagai pemimpin negara maka harus hadir dalam penyelesaian persoalan tersebut sehingga bisa menjaga sopan santun ketatanegaraan dengan menghargai temuan Ombudsman RI maupun Komnas HAM RI sebagai penyelenggaraan check and balances.

Kedua, beberapa hari yang lalu presiden jokowi pernah berkata "jangan apa-apa ditarik ke presiden. Ini adalah sopan santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang sedang berjalan". Padahal sebelum pernyataan itu keluar presiden jokowi pernah berkata bahwa "TWK jangan jadi dasar pemberhentian 75 pegawai KPK" hingga akhirnya sekarang secara resmi finalnya menjadi 57 pegawai KPK diberhentikan oleh Pimpinan KPK. 

Presiden jokowi tidak boleh lupa bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, bahwa proses alih status yang merugikan pegawai KPK itu inkonstitusional. Sebab menurut hakim konstitusi dalam putusan ini jelas tidak diperbolehkan merugikan pegawai KPK dalam keadaan apapun. Putusan Mahkamah Agung pun tidak bertentangan dengan temuan pemeriksaan Ombudsman RI dan Komnas HAM karena MA menilai norma sebuah peraturan, dalam hal ini peraturan komisi (perkom) KPK nomor 1 tahun 2020 yang menjadi landasan hukum TWK. Mahkamah Agung menolak uji materi terhadap Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021. 

MA menilai para pegawai KPK yang tak diangkat menjadi ASN bukan karena berlakunya Perkom tersebut, melainkan hasil asesmen TWK. Namun, MA menyatakan tindak lanjut hasil asesmen itu menjadi kewenangan pemerintah. Dipertegas kembali karena putusan MA banyak di belokan oleh para pihak bahwa MA itu menilai bukan mengenai proses pelaksanaan TWK nya melainkan mengenai TWKnya apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atas atau tidak, jadi tidak ada pertentangan dengan temuan Ombudsman RI maupun Komnas HAM RI.

Ketiga, presiden jokowi perlu mengingat kembali hasil Transparency International Indonesia (TII) merilis indeks persepsi korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) indonesia tahun 2020 dengan perolehan skor 37 dengan ranking 102 dan skor ini turun 3 poin dari tahun 2019 yang lalu. Sebelumnya indonesia berada di peringkat ke 85 maka jika dibandingkan dengan negara-negara asia tenggara lainya, IPK indonesia berada di peringkat lima dibawah singapura (85), brunei darussalam (60), malaysia (51) dan timur leste (40).

Keempat, kita tahu setelah terpilih menjadi presiden untuk periode 2014-2019, janji memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga tertuang dalam Program Nawacita kemudian diingkari dan berubah arah menjadi pelemahan terhadap lembaga anti rasuah ini. Oleh sebab itu jika presiden ingin mendapat kembali trust kepercayaan publik serta mendengar aspirasi masyarakat seharusnya bisa menggagalkan pemberhentian 57 pegawai KPK dan angkat menjadi ASN.

Tentunya penulis rasa ketika momentum tersebut di setujui oleh presiden, maka pastinya akan berdampak baik bagi beliau sebagai presiden yang masih mempunyai rasa perhatian kepada masa depan pemberantasan korupsi namun apabila sebaliknya tentunya akan mendapat rasa kekecewaan bagi masyarakat. Karena penolakan tersebut bukan hanya segilintir masyarakat saja melainkan hampir bisa dikatakan menolak secara besar-besaran bahkan koalisi guru besar yang selalu mengkiritisi mengenai persoalan ini seharusnya menjadi pijakan bagi presiden agar hatinya bisa terketuk untuk menyelamatkan nasib pemberantasan korupsi.

Kelima, perlu di garis bawahi sebagai pengingat untuk presiden, bahwa yang namanya menolak pemberhentian 57 pegawai KPK yang di katakan tidak lulus TWK bukan berarti membela secara ikatan personal atau kepentingan golongan akan tetapi dengan adanya pelaksanaan TWK yang melanggar HAM dan maladministrasi menghasilkan pemecatan 57 pegawai KPK yang tidak melanggar aturan atau tidak tahu apa-apa. 

Upaya tersebut sangat sistematis dengan memakai TWK sebagai syarat formalitas untuk menyingkirkan pegawai KPK yang berintegritas bahkan adapula yang sudah belasan tahun bekerja di KPK (bukan berarti tidak bisa tergantikan). Dengan demikan, presiden jokowi harus turun tangan tidak boleh diam saja atau lepas tangan dalam polemik alih status pegawai KPK menjadi ASN demi menyelamatkan tata kelola pemerintahan yang baik terhindar dari praktek-praktek penyelahgunaan wewenang. Bahkan yang terbaru saat ini sebagai rasa kekecewaan terhadap KPK koalisi masyarakat sipil membuat kantor darurat pemberantasan korupsi untuk menampung juga surat aspirasi dari masyarakat untuk ditujukan kepada presiden jokowi.

Keenam, berdasarkan pasal 1 ayat ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, "komisi pemberantasan tindak pidana korupsi yang selanjutnya disebut komisi pemberantasan korupsi adalah lembaga negara kekuasaan rumpun eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi." Maka sebagai pemimpin tertinggi mengenai segala tanggung jawab ada di tangan presiden oleh karena itu presiden berhak masuk dalam menyelesaikan masalah ini karena satu komando atau satu rumpun cabang kekuasaan.

Sebagai penutup penulis mengutip apa yang pernah dikatakan oleh Najwa Shihab yakni, "Di pundak pemimpin yang bebas korupsi, di situlah masa depan negeri." Semoga bisa bermanfaat bagi kita semu agar kita semua bisa melek terkait isu sosial, politik maupun hukum. Maka atas kekuranganya mohon dimaafkan.

#BeraniJujurPecat  

Firman Hakim, S.H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun