"Politiae legius non politii adoptandae, Hukum harus berada diatas politik bukan sebaliknya mengikuti keinginan para politisi"
Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, merupakan lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya berdasarkan peraturan perundang-undangan BPK RI diatur menurut Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan kemudian secara keanggotaan memiliki 9 orang anggota serta memegang jabatan selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali 1 kali masa jabatan. Perlu kita ketahui akhir-akhir ini isu terkait BPK RI kian terasa berhembus kencang bukan terkait kelembagaanya melainkan mengenai proses seleksi calon anggota BPK RI tahun 2021 yang menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Awal mula yang menjadi duduk perkara atau isu problematika tersebut muncul ketika ketua DPR RI yakni Puan Maharani telah menerbitkan Surat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor PW/09428/DPR RI/VII/2021 tanggal 15 Juli 2021 kepada pimpinan DPD RI tentang penyampaian Nama-Nama Calon Anggota BPK RI berisi 16 orang. Dari 16 orang tersebut, terdapat dua orang calon anggota BPK diduga tidak memenuhi persyaratan, yaitu Nyoman Adhi Suryadnyana dan Haryy Z Soeratin. Berdasarkan riwayat hidup, Nyoman Adhi Suryadnyana pada periode 3 Oktober 2017 sampai 20 Desember 2019 adalah Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Manado (kepala satker eselon III), yang juga merupakan pengelola keuangan negara (kuasa pengguna anggaran/KPA). Sedangkan Harry Z Soeratin pada Juli 2020 dilantik oleh Menteri Keuangan sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), yang juga merupakan jabatan KPA, dalam arti masih menyandang jabatan KPA.
Setelah diterbitkannya surat ketua DPR RI mengenai 16 calon anggota BPK RI, maka dalam memindaklanjuti hal tersebut Komisi XI DPR RI menggelar uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper tes) terhadap para calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan pada hari rabu tanggal 8 september 2021. Seleksi ini dilakukan untuk menyaring anggota baru yang akan ditetapkan pada satu posisi BPK yang habis masa jabatan pada tahun ini. Proses penyaringan uji kepatutan dan uji kelayakan DPR RI tersebut menghasilkan 13 nama dari 16 nama calon anggota yang dipilih tiga nama tidak lolos, yakni Mulyadi, Encang Hermawan dan Harry Z Soeratin. Kemudian pada tanggal 9 september 2021 Nyoman Adhi Suryadnyana terpilih menjadi anggota BPK RI. Terpilihnya Nyoman itu berdasarkan voting seluruh anggota Komisi XI. Nyoman mendapat hasil terbanyak dengan 44 suara. Dari hasil voting Dadang Wihana mendapat 12 suara, Nyoman 44 suara. Total 56 suara. Dengan begitu, anggota yang terpilih yakni Nyoman Adhi.
Perlu teman-teman pahami Nyoman Adhi Suryadnyana awalnya tidak masuk pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Beliau tidak diloloskan oleh DPD RI karena tidak memenuh syarat tadi yang telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2006 pasal 13 huruf (j) yang menyatakan paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat lingkungan pengelola keuangan negara. Namun, yang menjadi miris bagi saya pribadi adalah ketika itu dia tadi saat seleksi di Komisi XI DPR RI yang diikut sertakan pada uji kelayakan dan kepatutan tersebut.
Tinjauan Yuridis Permasalahan Proses Seleksi Anggota BPK RI 2021
Berdasarkan pandangan penulis mengenai pengangkatan Nyoman Adhi Suryadnyana sebagai anggota BPK RI 2021 cacat secara hukum atau cacat secara prosedural karena sejatinya syarat formil harus dipenuhi terlebih dahulu dalam pemilihan calon anggota BPK RI, akan tetapi Komisi XI DPR RI tidak menghiraukan yang ada dalam ketentuan Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2006 pasal 13 huruf (j) yang berbunyi "paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara" frasa tersebut secara eksplisit sebetulnya sudah sangatlah jelas untuk diperhatikan sebab Nyoman Adhi Suyadnyana belum genap mencapi 2 tahun melepas jabatanya sebagai Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Manado (kepala satker eselon III). Tentunya fakta tersebut sangatlah bertetangan dengan frasa yang disebutkan di dalam pasal 13 huruf (j) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Di sadari ataupun tidak DPR RI tentunya telah abai pada ketentuan tersebut cenderung memaksakan saudara Nyoman Adhi Suryadnyana untuk mengikuti tahap fit and proper test dan voting seleksi anggota BPK RI. Keputusan tersebut bertolak belakang dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang sebelumnya pada tanggal 13 Agustus 2021 mengeluarkan Keputusan DPD RI Nomor 55/DPD RI/V/2020-2021 menyatakan calon peserta atas nama Sdr. Nyoman Adhi Suryadnyana tidak memenuhi syarat formil berdasarkan Pasal 13 huruf ( j) UU BPK. Di perkuat kembali oleh Fatwa Mahkamah Agung yang dikeluarkan pada tangal 25 Agustus 2021 yakni Fatwa MA Nomor 183/KMA/HK.06/08/2021 mempertegas bahwa Pasal 13 huruf (j) UU BPK merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi demi menjaga anggota BPK RI dari konflik kepentingan (Conflict of Interest).
Tentunya ketika persoalan tersebut bergejolak di akar rumput masyarakat menuai banyak penolakan serta kritikan, setidaknya kelompok masyarakat yang vokal dalam menyuarakan terkait hal ini adalah muncul dari Koordinator MAKI (Masyarakat Anti Korupsi) yakni Boyamin Saiman yang akan membawa persoalan tersebut untuk di gugat kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian dari Lembaga Kajian Strategi dan Pembangunan Pemerintah (L-KSP), Koalisi #SaveBPK dan masyarakat lainya. Jika merujuk berdasarkan pasal 14 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan "Calon anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada publik untuk memperoleh masukan dari masyarakat" dengan demikian masukan aspirasi dari masyarakat sangatlah mutlak diperlukan guna menghasilkan calon anggota BPK RI yang baik agar tidak terlilit konflik kepentingan. Saya pikir yang menjadi persoalan yang ada di tubuh anggota DPR RI adalah terkadang tidak selalu mendengarkan masukan aspirasi dari masyarakat seperti yang kita ketahui RUU bermasalah ketika banyak penolakan dari masyarakatpun tidak di dengar bahkan lolos disahkan di rapat paripurna.
Kembali kepada persoalan seleksi calon anggota BPK RI 2021 misalnya menurut Putusan MK Nomor 62/PUU-XII/2013 tanggal 18 September 2014 menyatakan pasal 13 huruf (j ) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan : konstitusional, alias tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun yang diatur dalam Pasal 13 huruf (j) UU BPK, bertujuan agar calon yang terpilih dapat melaksanakan tugasnya secara mandiri dan bebas. Artinya penulis tafsirkan frasa "secara mandiri dan bebas" bahwa anggota BPK RI dalam pelaksanaan tugasnya ketika menjabat harus bebas dari berbagi intervensi kekuasaan manapun ataupun bebas dari konflik kepentingan yang muncul agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaaan bahkan bisa mengakibatkan korupsi di dalam tubuh lembaga pemeriksa keuangan oleh karena itu prinsip good governance dalam pemerintahaan harus menjadi patokan yang disandarkan demi menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Wibawa Negara Hukum Apakah Masih Ada ?Â
Didalam bukunya Abdul Hamid terkait teori negara hukum modern menurut pendapat Srie Soemantri yang harus diperhatikan di dalam negara hukum adalah pemerintahan dalam menjalankan tugas dan kewajibanya harus berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan. Sandaran dalam proses penyelengaraan negara harus berpacu kepada hukum (rechtstaat)Â yang berlaku tidak atas berdasarkan pada kekuasaan belaka (machtstaaat)Â namun sering kali kita jumpai bahwa aturan hanyalah sebagai formalitas belaka berbanding terbalik dengan implementasinya yang seharusnya untuk taat dan patuh pada peraturan perundang-undangan yang belaku. Study kasus fenomena hari ini sebagai lembaga yang disematkan sebagai wakil rakyat yang berada disenayan seharusnya DPR RI lebih jeli dan patuh terhadap ketentuan hukum pasal 13 huruf (j) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Padahal aspirasi atau masukan dari masyaakatpun tidak digubris untuk mengingatkan hal ini tentunya sangatlah miris sekaliber lembaga tinggi negara dalam mekanisme penyelenggaraan pengangkatan seleksi anggota BPK RI tidak patuh terhadap undang-undang yang berlaku tentunya menjadi preseden buruk bagi citra negara hukum di indonesia.
Adapun adagium hukum menyatakan Politiae legius non politii adoptandae, Hukum harus berada diatas politik bukan sebaliknya mengikuti keinginan para politisi dengan kata lain sebagai penegasan norma pasal 13 huruf (j) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan haruslah menjadi syarat mutlak untuk menjadi pedoman di atas politik kekuasaan para politisi karena bunyi undang-undang sebagai produk hukum yang telah disepakati bersama untuk dijalankan dan sekali lagi harus dipatuhi apalagi oleh pembuat undang-undang yakni DPR RI demi menghasilkan anggota BPK RI yang baik. Karena ketika mekanisme yang ada tidak di taati maka cenderung akan menghasilkan pemimpin yang tidak bekualitas bukan berarti penulis suudzon sebagai dugaan kekhawatiran saja.
Upaya Solusinya                         Â
Pertama menakar persoalan yang tejadi yang dilakukan oleh DPR RI yang telah meloloskan calon anggota BPK RI 2021 cacat secara formil dan prosedural padahal dikategorikan tidak memenuh syarat (TMS) maka bertentangan dengan Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan maka dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa  (onrechtmatige overheidsdaad) yang memenuhi syarat untuk menjadi objek TUN. Dengan demikian dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dengan mengajukan Gugatan onrechtmatige overheidsdaad yang merupakan kewenangan PTUN. Bahkan ketika presiden mengeluarkan Keppres terkait pengangkatan calon anggota BPK RI 2021 yang tidak memenuhi syarat maka bisa diajukan juga kepada pengadilan tata usaha negara (PTUN) karena objek sengketanya adalah gugatan keputusan TUN (beschikking) karena tidak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Kedua mengutip dari paparan tulisan Adv. Prof. Denny Indrayana, S.H, LL.M, Ph.D seorang guru besar Hukum Tata Negara mengatakan harus adanya perubahan atau revisi UU BPK. Misalnya, dengan mengadopsi berbagai mekanisme proses lainnya, yaitu menghadirkan panitia seleksi yang dibantu oleh panel ahli yang independen. Lalu kesemuanya dirancang untuk membantu proses rekruitmen di DPR, untuk menghindari agar seleksi BPK jangan terlalu berorientasi kepentingan politik non-negara ataupun sangat berjangka pendek.
Ketiga lanjut lagi menurut beliau interpretasi progresif misalnya di dalam UUD 1945 pasal 23 F ayat (1) yang berbunyi: "Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden". Terkait frasa kata "Diresmikan oleh presiden" Normalnya, frasa demikian hanya menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara semata. Artinya peresmian itu adalah proses administratif penerbitan Keppres saja. Namun dalam praktiknya, tidak jarang Presiden juga ikut menilai dan akhirnya tidak menerbitkan Keputusan Presiden, di antaranya karena pertimbangan sosiologis penolakan publik (substantif).
Ketiga selain dari pada itu DPR RI jika tidak ingin citra buruk maka pada rapat sidang paripurna DPR RI harus menarik kembali pengajuan Sdr. Nyoman Adhi Suryadnyana sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan RI terpilih periode 2021-2026 untuk ditetapkan dalam rapat paripurna DPR RI.
Sekian tulisan sederhana ini masih terdapat kekurangan semoga bisa memberikan manfaat untuk kita semua selaku masyarakat agar bisa melek terhadap isu sosial, politik dan hukum.
Salam Konstitusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H