Matahari kian turun di balik gedung-gedung hingga parasnya hilang dan hanya menyisakan semburat jingga. Aku segera berkemas, membereskan peralatan make up dalam kotak. Seharian bekerja di salon cukup menguras tenaga. Aku pun belum akan pulang ke rumah. Aku hendak menuju rumah sakit untuk menjenguk Ibu.
"Min, aku pulang dulu, ya?" ucapku pada Jasmine. Nama aslinya sebenarnya Supri, tetapi ia lebih suka dipanggil Jasmine. Katanya, Supri sudah mati. Yang ada hanya Jasmine. Supri selalu diejek dan diolok-olok. Sementara Jasmine selalu dipuji dengan bakatnya yang cemerlang dalam bidang fashion dan make up.
 Sejak ia bekerja di salon, memang tampilan fisik dan gayanya berubah jadi gemulai. Akan tetapi, apa yang ada di dalam hatinya tetaplah sama. Ia seorang lelaki yang baik hati dan penyayang, meski kadang orang hanya melihat dari tampang luarnya saja. Biasa, lah, kadang manusia tak melihat dengan perasaan.
Jasmine segera membantu memapah tubuhku. Sejak kecelakaan beberapa tahun lalu, kakiku tak bisa berjalan normal. Ke mana-mana harus memakai tongkat.
"Hati-hati, ya, Beb. Jangan ngebut-ngebut," ucapnya setelah aku naik ke atas kendaraan bermotor yang telah dimodifikasi oleh Wan Abut. Roda belakangnya ditambahkan satu lagi. Jadi, total ada tiga roda yang memungkinkan pengendara untuk menaikinya tanpa menyangga dengan kaki.
"Oke. Makasih, ya, Min."
"Titip salam buat Ibu," imbuhnya lagi sebelum masuk ke salon. Aku segera melaju.
Mendengar kata Ibu, aku jadi ingat banyak hal yang kulalui selama ini. Aku sampai bingung entah dari mana harus memulai cerita.
Dulu, sebelum aku kehilangan kemampuan berjalan normal, hidupku amatlah lengkap dan bisa dibilang amat bahagia. Meskipun sejak kecil, aku hidup tanpa bantuan Ibu sebab ia sakit. Sakit yang amat parah. Lalu, aku bertemu dengan Mas Barak di kafe tempatku bekerja. Pertama kali bertemu dengannya, tentu aku sangat terkagum-kagum dengan jambang tipis dan badan gempalnya. Tubuhnya amat atletis dengan gaya rambut cepak.
Takdir memang tidak ada yang bisa menerka. Tau-tau, aku dan Mas Barak jadi makin akrab sebab ia sering datang ke kafe untuk memesan latte dan red velvet. Terlebih dengan sikap Mas Barak yang humoris membuatku jadi ikut terbawa suasana dalam candaannya. Kadangkala, ia rela menunggu sampai larut hanya untuk mengantarku pulang. Konyol, kan? Padahal, kami belum lama kenal dan Mas Barak itu memang sok akrab!
Selain kerja di kafe, aku juga bekerja sebagai asisten tukang rias pengantin. Biasanya aku kerja kalau ada panggilan di acara pernikahan. Sekadar bantu-bantu seperti menyiapkan peralatan dan perlengkapan. Akan tetapi, dari situ, aku sedikit banyak belajar hingga aku bisa merias wajahku yang biasa-biasa saja menjadi lumayan cantik. Mas Barak pun terkesima. Katanya, aku adalah perempuan tercantik di dunia. Gombal!
Sebulan kemudian, Mas Barak menyatakan cinta kepadaku yang hanya bisa kujawab dengan anggukan tanda setuju. Lalu, tahun berikutnya ia melamarku melalui Paman Dul, saudara laki-laki Ibu. Mas Barak tak keberatan tentang masa laluku yang kurang menyenangkan.
Kami memulai segalanya dari nol. Bermula ketika sepetak kontrakan kecil disewa. Peralatan dapur satu per satu kami beli. Sehampar matras dan lemari kecil tempat kami menabung uang hasil kerja.
Mas Barak sempat kena PHK. Itulah sebabnya aku harus pintar-pintar mengatur uang. Dua bulan sejak PHK, Mas Barak dipanggil kerja di salah satu kantor ekspedisi, hingga pada akhirnya, ia membuka kantornya sendiri.
Hidup berdua begitu menyenangkan. Belum sempat terpikirkan untuk memiliki seorang anak sebab aku masih ingin bekerja. Begitu juga dengan Mas Barak yang ingin fokus merintis usaha di kantor barunya. Akan tetapi, nasib buruk tak bisa dipilih. Perjalananku ke tempat kerja pagi itu menjadikan perjalanan terakhir selepas tubuhku terpelanting jauh akibat sebuah mobil dengan bringasnya menabrak. Kakiku terantuk trotoar hingga tulang keringnya patah.
Aku terpaksa resign dan jadi banyak diam di rumah sambil membantu Mas Barak menjalankan bisnisnya yang sempat bangkrut karena modalnya terpakai untuk operasi kakiku. Mas Barak pun jadi lebih banyak diam. Ia juga jadi lebih sering marah-marah. Katanya, aku hanya menjadi penghambat. Katanya, aku tak berguna. Hidupku sia-sia. Ia menyesal telah menikahi perempuan sepertiku! Aku sama seperti ibuku, merepotkan! umpatnya lagi sebelum ia pergi dari hidupku selamanya.
Kukira, kami akan menaklukkan ombak samudra bersama. Kukira, aku akan menjadi calon Ibu dan seorang istri yang baik. Akan tetapi, janji sehidup semati itu hanyalah bualan semata. Namun, tak pernah kusesali pertemuan dan cinta yang tumbuh untuk Mas Barak. Mungkin Tuhan tengah merencanakan sesuatu yang lebih besar untukku. Aku hanya perlu bangkit dari keterpurukan.
Demi bertahan hidup, aku bekerja serabutan sebagai freelance di dunia maya. Kadang, aku juga menerima jasa rias wajah dan berjualan kopi di depan indekost. Hingga akhirnya aku bertemu dengan Supri alias Jasmine yang kala itu menjadi pelanggan pertama di warung kopiku. Ia menawarkan pekerjaan sebagai karyawati di salon. Rupanya, ia telah mengetahui bakatku dan barangkali masa laluku yang patut dikasihani.
Sedikit demi sedikit, aku harus melangkah lagi, memulai segalanya dari nol sendiri. Di tempat kerjaku, semua rekan sangat ramah dan baik hati. Aku merasa sangat diterima. Begitulah mungkin, Tuhan berkehendak menjauhkan satu orang yang buruk untuk mendekatkan kepada banyak orang yang baik. Aku tahu memang banyak yang tak suka melihat manusia cacat dan berbeda seperti Supri. Akan tetapi, dari situlah sifat dan nalar kemanusiaan diuji.
Aku jadi merasa sangat bersalah kepada Ibu. Memang sejak menikah dengan Mas Barak, aku jadi jarang berkunjung ke rumah sakit. Bahkan, aku lupa kalau punya jadwal khusus setiap minggu untuk menemani Ibu seharian. Itu semua kulakukan sebab Mas Barak selalu minta ditemani. Katanya, sudah ada perawat yang mengurus Ibu. Kita cuma perlu kirim uang. Tak usah repot-repot ke sana! Permintaannya kuturuti sebab aku ingin menjadi istri yang baik, tapi nyatanya, seseorang yang kukagumi itu kini entah di mana, entah dengan siapa.
Sebelum sampai di rumah sakit, aku sempatkan untuk membeli sebungkus cakue sebagai oleh-oleh untuk Perawat Inah sebab dialah orang yang telaten merawat Ibu kalau aku tak ada.
Sesampai di depan rumah sakit itu, dadaku selalu bergemuruh ketika membaca huruf yang melengkung di atas gerbang bertuliskan Rumah Sakit Jiwa Asih. Kuharap bangunan megah itu tak pernah ada. Pertanyaan-pertanyaan pun bermunculan. Mengapa kita sebagai manusia tak cukup hanya merasakan indah dunia? Mengapa kita harus merasa sakit dan kehilangan?
Seorang petugas parkir yang baik hati buru-buru memandu motor modifikasi ini untuk mencari posisi yang pas. Kulepas tongkat yang terikat di samping motor.
Menjelang sore, bisanya Ibu ada di taman. Perawat Inah sudah paham kalau setiap jam-jam sore, aku pasti datang. Benar saja, Ibu tengah duduk di kursi dengan tatapan kosong. Aku segera mendekatinya.
"Ibu," ucapku. Ia diam. Mungkin tak tahu siapa aku.
"Ibumu sudah makan tadi," ujar Perawat Inah. "Bagaimana dengan kerjaanmu?"
"Lancar, Kak. Terima kasih sudah jaga Ibu."
Seolah-olah paham, Perawat Inah meninggalkan kami berdua. Aku dan Ibu mencoba untuk berbicara dari hati ke hati. Ibu memang sangat cantik, tapi nasibnya tidak.
Kata Paman Dul, Ibu adalah kembang desa. Banyak lelaki yang naksir sama Ibu. Namun, Ibu hanya setia pada satu pasangannya yang mungkin akan menjadi ayahku kalau ia tak mati saat perjalanan menuju pelabuhan. Sedih dan duka yang amat dalam melanda hari-harinya.
Paman Dul selalu berupaya untuk membuat Ibu bangkit kembali dengan mengenalkan beberapa lelaki yang siap menikahinya. Nahas, Ibu menolaknya dan lelaki yang ditolak itu merasa terhina. Ia lantas merencanakan sesuatu yang kejam. Ibu diculik dan ketika kembali, Ibu sudah tak perawan lagi.
Ibu mengurung diri di kamar. Ia tahu dirinya adalah aib sebab omongan orang tak henti meneriaki telinganya hingga ia tuli dan Ibu pun tak ingin melihat siapa-siapa kecuali bayi yang ada di dalam kandungannya. Aku. Beban yang dipikulnya lantas membuat jiawanya sakit. Mungkin ia merasa bingung hendak menjawab apa ketika kelak anaknya bertanya-tanya tentang seorang ayah?
Aku mengusap pipiku yang lembap sesaat kudengar suara gema sepatu Perawat Inah mendekat.
"Bu," lirihku. "Sudah magrib. Aku pulang dulu," pintaku.
Aku menegcup tangan dan pipinya. Ia tetap saja bergeming. Tuhan, aku mohon panjangkanlah umurnya sebab hanya dialah satu-satunya alasanku untuk tetap bangkit dari segala cobaan-Mu.[]
Tanggamus, 31 Mei 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H