Mulanya, Juan terkesiap mendengar namanya disebut untuk memerankan tokoh Rahwana. Jelas ia menolak. Ia lebih suka jadi penonton seperti tahun lalu atau berderet di luar aula menjajakan minuman es cappuccino dan manisan. Aku menatap lekat matanya dan kusentuh pundaknya. Seingatku, Juan mengiyakan setelah itu.
"Setiap orang bisa berubah."
Kata-kata itu lepas saja dari mulutku. Sok bijak. Aku melihat anak-anak berlatih bersama rekanku, Bu Mawar. Sejak saat itu, Juan makin rajin ke sekolah, berlatih hingga senja. Bukan hanya itu, katanya,
"Aku sekolah cuma mau ketemu Bu Rina," ucapnya seolah menggodaku. Kutoyor jidatnya.
"Latihan yang bener! Pokoknya harus bagus!" Ia berlari sambil mengacungkan jempol.
Tidak kudengar lagi keluhan dewan guru yang aneh-aneh tentang Juan. Sudah kuduga, ia hanya butuh sedikit bimbingan. Kebanyakan dari kita terlalu cepat mengambil kesimpulan dan menjustifikasi kenakalan sebagai keadaan anak yang paten. Hanya butuh sedikit kesabaran karena setiap anak pasti memiliki potensi.
Hari selanjutnya, Juan datang pagi-pagi sekali dengan seikat mawar di tangannya. Hari itu merupakan gladi bersih. Esok, pertunjukan dimulai.
"Ini untukmu, Bu Rina."
Kuambil saja bunga itu. Kuhidu pelan.
"Aku tak suka bunga liar!"
"Itu aku beli khusus buat Ibu," ucapnya meyakinkan, meski kutahu, ia mengambilnya dari pot di depan pagar sekolah.