Fikar kerap ikut ayahnya bermain-main dengan ular di dekat kuil. Setelah beribadah, biasanya orang-orang duduk sebelum pada akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Pada saat itu, Ranjit meniup pungi, kemudian ular akan menari. Namun, entah kemalangan apa yang menimpa Ranjit hari itu.
Ularnya enggan menari. Ia diam saja dalam wujud badannya yang melingkar dalam keranjang rotan. Sementara itu, Ranjit tetap meniup pungi. Ularnya masih saja diam. Orang yang tak sabar menunggu, lantas membalikkan badan. Moodnya hilang.Â
"Ular sialan!" pekiknya lantang.Â
Tersirat wajah kecewa melihat pengunjung berhamburan. Mendadak Fikar berdiri. Sebagai penyayang ular, juga ayahnya, ia harus berbuat sesuatu sebab ada makanan yang harus dibeli untuk keluarganya. Para pengunjung tak boleh pergi sebelum meninggalkan sekeping koin.Â
Fikar memunggungi ayahnya, kemudian ia menari, terus menari hingga seseorang tak sengaja melihat tariannya yang lucu dan buas, mirip seperti tarian ular. Tariannya membuat orang-orang terkesima. Dari kerling mata, tangan yang menggelombang ke langit, dan kaki yang dihentak-hentakkan. Fikar berhasil mencuri perhatian. Tepuk tangan bergemuruh.Â
Ranjit terkesiap. Entah dari mana anaknya belajar menari seindah itu. Tarian yang mendatangkan berkeping-keping koin. Pengunjung makin banyak seolah mereka tak pernah melihat tarian indah yang ditampilkan oleh seorang anak laki-laki. Namun, di India, semua orang menari. Menari adalah seni. Menari adalah aktualisasi diri. Maka Ranjit terus meniup punginya dan Fikar dengan gemulai tetap menari.
Mereka mendapat uang yang cukup banyak waktu itu. Maka timbul suatu ide.Â
"Bagaimana jika esok kau menari lagi?" tawar Ranjit.
Fikar tak menolak. Di kamarnya, ia berlatih tari. Di hadapan sebuah cermin besar, Fikar menggoyangkan pinggulnya. Tangannya ia kerucutkan ke atas, menirukan gerakan ular. Sejurus kemudian, ia berhenti. Seperti ada yang kurang. Ah, tentu saja. Ia adalah penari ular.Â
Seharusnya, ia menari bersama ular piaraannya. Ia keluarkan ular-ular dalam keranjang. Dililitkannya ular itu di leher, pinggul, dan lengan, kemudian ia menari lagi. Beberapa waktu kemudian, ia berhenti lagi. Terasa ada yang kurang. Ah, tentu saja.Â
Seorang penari harus memakai perhiasan. Fikar mencari kain sari dan beberapa gelang di lemari ibunya. Ia juga membubuhkan sedikit riasan di wajahnya. Lalu, ia menari lagi. Tampaklah dirinya seperti penari ular sejati.