Mohon tunggu...
M Firmansyah
M Firmansyah Mohon Tunggu... CreativePreneur -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Bertekad Hijrah"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Akhir Tahun 2018: Post Truth Era, Konten Kreator, Cebong vs Kampret

24 Desember 2018   06:34 Diperbarui: 24 Desember 2018   07:35 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Waktu cepat sekali berlalu,  seminggu sebelum tahun berganti duka menyelimuti negeri ini, tsunami menyapu banten dan lampung, mari sejenak heningkan cipta untuk doakan saudara kita dan bantulah dengan bantuan terbaikmu karena kelak jika kalian tinggalkan dunia ini kalian akan meronta-ronta minta dikembalikan ke dunia cuma untuk diberi kesempatan bersedekah, sebarkan tulisan ini sebagai upaya untuk menggugah sekaligus menggugat kebakhilan kita sebagai manusia.

Sepanjang tahun ini tak sedikit pristiwa suka dan duka datang silih berganti itulah pertanda kehidupan masih berdenyut, berikut beberapa catatan penulis yang menjadi kesimpulan besar sepanjang tahun ini. Catatan ini semoga menjadi potret untuk menatap tahun depan yang penuh tantangan dan harapan, berikut tiga catatan yang di amati penulis :

1. Post Truth Era atau Era pasca kebenaran.
Ciri era ini adalah Kebohongan di Sekitar Kita, Hoax dimana-mana, Michiko Kakutani dalam bukunya The Death of Truth: Notes on Falsehood in the Age of Trump (2018) mengungkapkan bahwa zaman ini adalah era matinya kebenaran atau berjayanya kebohongan. Inilah era pasca-kebenaran (post-truth), sebagai contoh pengalaman penulis pernah menegur orang yang begitu polosnya memviralkan kebohongan padahal profile orang tersebut boleh di bilang berpendidikan dan doyan sekali mem-pamerkan kesholehan, penulis sering bertanya dalam hati "kok bisa yaa, sebenarnya kita masuk di zaman apa ini" ujarku tak percaya.

Fenomena hoax dan post truth era saat ini sudah menjadi bahan diskusi dimana-mana, bahkan "profesor" yang royal sekali gunakan kata dungu @rockygerung boleh dibilang filsuf di era "pasca kebenaran"  ia percaya si ratu hoax @RatnaSpaet sebab ia tidak memiliki cukup info untuk memverifikasi peristiwa penganiayaan tersebut, setidaknya ada dua hal yang tidak diperhatikan pak profesor pujaan beberapa kaum oposan ini, yaitu
1. Visum  2. Laporan Polisi

Dan apa yang terjadi "Buuumm" badai hoax memporak porandakan negeri ini.

Beberapa diskusi yang saya ikuti mencoba mencari tahu ciri-ciri dari era pasca kebenaran, diantaranya Akal sehat lemah, hati nurani buta, kebencian memuncak, data dan fakta dikesampingkan, kebenaran hanya berdasarkan keyakinan pribadi dan kelompok, semakin banyak yang percaya hoax semakin menunjukan kebenaran mayoritas, dan nampak makin banyak pula yang mengidolakan tokoh-tokoh yang gemar ujaran kebencian di muka publik, kebohongan yang terus menerus akan membuat orang paling pintar pun akan percaya apalagi orang yang memiliki akses informasi dan ilmu yang sangat terbatas.

Era Pasca Kebenaran ditandai dengan,

Akal sehat telah melemah, bahkan cenderung hilang. Tidak ada lagi istilah verifikasi fakta. Tidak ada istilah mengecek kembali informasi. Inilah era post-truth.

Kebenaran bukan ditentukan oleh data dan fakta, melainkan oleh keyakinan dan emosional pribadi.
Berikut ini Post truth era menurut #CatatanNajwa

Menjadi tak terbedakan dunia nyata dan maya, keduanya diperebutkan hingga segala bea, tak penting lagi argumentasi dan data, semua bisa dipelintir secara tak terduga. Yang pokok bukanlah yang benar yang penting bisa dihajar, inilah ciri dari era pasca kebenaran.
Tahukah anda? Dunia kini mengalami persoalan serius karena begitu banyak fakta obyektif  justru dikalahkan oleh emosi atau keyakinan pribadi dalam membentuk opini. Selamat datang disrupsi media,  Matinya Etika di Era Pasca-Kebenaran.

Orang yang percaya hoax dan gemar mengidolakan tokoh-tokoh yang kerap ujaran kebencian biasanya tak punya waktu untuk memverifikasi informasi, mereka cuma bisa menelan mentah-mentah info yang ada di genggamannya, boro-boro verifikasi yang ada mereka cuma bertanya dan gaduh di grup-grup WA yang mereka ikuti.

Dunia kini sedang mendaki babak akhir era modernitas yang seringkali diistilahkan sebagai pasca kebenaran, pasca normal, pasca sekularisme atau pasca modernitas,  Apalagi kita memasuki masa kampanye politik di era sosial media, memproduksi kebohongan adalah jalan tempuh yang kerap digunakan untuk memenangkan kontestasi politik. Hoax dan hate speech  mewarnai kondisi politik Indonesia saat ini. kepercayaan pada lembaga dan media mainstream telah bangkrut di hari-hari era pasca-kebenaran.Maka itu Kampanye bijak bersosmed adalah tugas kita semua.

Pada era pasca kebenaran,  berita tidak lagi berdasar data dan fakta,  namun berdasar pada persepsi dan asumsi.  Serta kebenaran ditentukan secara kuantitas bukan kualitas. Kebenaran ditentukan dengan keberhasilan memutihkan monas dan memerahkan bunderan HI, Lihatlah klaim-klaim kebenaran, ratusan ribu di klaim sebagai jutaan, agama jadi kendaraan untuk memenuhi syahwat politik dan libido kekuasaan, yang jadi korban adalah orang-orang yang sholeh dalam beragama tapi tak mengerti apa motif dibalik klaim-klaim itu semua, kaum polos tak berdosa tersebut dikumpulkan untuk di klaim secara politis oleh beberapa politisi lalu menjadi photo-photo yang indah untuk disajikan di media sosial dan disambut dengan "baper" oleh orang-orang yang terkagum-kagum, hidup laksana drama turkey yang ceritanya mengoyak perasaan.

2. Konten kreator sebagai Guru zaman Now.
Seperti halnya akuntan dan wartawan, profesi guru pun di ramal akan lenyap begitu juga dokter, eittss.. Jangan marah dulu yaaa.. Karena semua yang mengalami disruption akan dituntut untuk upgrade bukan menyerah dan lenyap, itulah mengapa sekarang banyak sekolah jarak jauh dan berguru pada para konten kreator, google bisa jadi perpustakaan paling lengkap dan media sosial bisa jadi laboratorium sosial paling menarik.

Anda pasti kenal Ustadz Abdul shomad, kemunculannya karena vidio-vidio ceramahnya yang tersebar dan viral di internet. Orang banyak belajar agama di mulai dari vidio-vidio yutubenya , guru-guru disekitarnya tak di dengar lagi, ada juga yang menjual paket berlangganan untuk mendapatkan ceramah-ceramah UAS tersebut. Tak salah memang ngaji di google tapi yang jadi masalah adalah ketika ngaji pada guru yang tidak tepat. 

Selain UAS Banyak sekali guru-guru ngaji yang menyebarkan vidio-vidionya di internet, semakin banyak maka makin banyak pula tafsir pemahaman agama, anda tinggal pilih mau belajar jihad ada, mau belajar thasawuf tersedia, mau dengar ahli hadist "monggo" mau denger ustadz yang melulu ngomong politik silahkan. Kendali di tangan anda. Tapi semua ustadz tidak akan menarik di internet jika tak ada konten kreator, yaa dialah yg meng-upload vidio jadi begitu menarik disukai banyak orang. 

Di tangan konten kreator yang kreatif ceramah provokasi bisa menyedot penonton yg banyak, di like oleh ratusan ribu jempol bahkan jutaan, apalagi kalo di monotize akan menghasilkan pundi-pundi uang, belom lagi ada perusahaan yang ingin beriklan di chanel yutube-nya waah bisa jadi jutawan, intinya adalah kreatifitas, bahkan bisa membawa para konten kreator jadi pengusaha dibidang sosial media.

Kelak profesi guru akan hilang diganti oleh para konten kreator yang lebih menarik pengajarannya dan lebih kreatif mendidiknya, murid tak lagi datang ke sekolah, mereka tinggal buka email dan meng upload semua materi pengajaran dari guru jarak jauh, bisa bentuk vidio bisa juga bentuk voice notes, tugas murid bisa dividiokan atau dikirim melalui flatform sosial media, sekolah-sekolah konvensional akan tergeser dengan konsef home schooling, guru-guru yang pandangannya picik jumud dan fanatik sempit akan kerepotan menghadapi murid yang pintar dan kritis. Itu semua pasti ada dampak negatifnya dan hampir smua perubahan akan ditolak di awal-awal tapi yang menolak tak akan sanggup melawan realitas sejarah yang cepat berubah dan sangat dinamis.

Selain dunia pendidikan, Di dunia kedokteran begitu juga, banyak para konten kreator bidang kesehatan yang mencari inovasi kreatif dengan konten yang membuat orang semakin sadar akan kesehatan, belum lagi trend berobat jarak jauh, konsultasi via vidio call, resep via internet dan kelak makin banyak rumah sakit yang sepi dan cuma menerima yang sudah gawat darurat.
Jadi jangan salahkan generasi sekarang yang tidak berminat jadi PNS, mereka ingin jadi entrepreneur atau startup-startup, mereka ingin jadi konten kreator yang isinya pendidikan kesehatan politik dan segala hal konten di internet yang menarik dan berguna. 

3. Stop pertikaian cebong vs kampret. 

Di ranah politik ada dua kubu yang terpolarisasi, mereka saling menghina dan mengejek untuk sekedar memenuhi sampah-sampah digital dunia maya, mereka beri dukungan politik pada jagonya dengan cara yg "norak" tak peduli dengan persatuan apalagi dosa. Hari-hari mereka di isi dengan membuat konten hoax dan ujaran kebencian. 

Mereka tak sadar bahwa panggung politik itu panggung penuh kepalsuan, para politisi begitu mudah berganti peran, bisa jadi yang kemarin jadi kawan dekat kini jadi musuh penuh orasi yang melaknat. 

Penulis punya pengalaman betapa "bapernya" para pendukung cebong dan kampret,entah bagaimana ceritanya dua akun sosmed penulis seperti facebook dan twitter di report as spam dan saat ini akun tersebut tak bisa di akses kalau tak mau dikatakan mati. 

Perbedaan pandangan masih dianggap permusuhan bukan sebagai kawan tukar menukar ide dan perspektif, saat kita luruskan dengan fakta di reply dengan emosi dan kebencian. 

Saudara dekatpun masih belum terlatih dengan perbedaan yang  sangat sederhana, apalagi perbedaan yang tajam, mereka masih belum menikmati betapa menyenangkannya kebebasan yang beragam bukan yang seragam.

Tahun 2019 bisa jadi tahun paling tajam dan menikam buat hubungan dua kubu ini, padahal yang mereka dukung mati-matian tak kan memikirkan mereka sedikitpun, penulis mengamati hal ini karena kerap mondar mandir di gedung laboratorium politik paling nyata yaitu gedung parlemen, tapi apadaya untuk mereka (dua kubu) tak menyadari bahwa mereka cuma jadi sarana dan alat pemuas syahwat politik dan libido kekuasaan. 

Tahun depan kita harus lebih kritis, siapapun presiden yang terpilih, ia akan hadapi tantangan era digital dan perubahan yang sulit dikendalikan. Stop segala bentuk provokasi dan mulailah untuk memandang masa depan bangsa untuk kepentingan smua bukan untuk pribadi dan golongan semata. Selamat tahun baru 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun