Mohon tunggu...
Raden Firkan Maulana
Raden Firkan Maulana Mohon Tunggu... Konsultan - Pembelajar kehidupan

| Penjelajah | Pemotret | Sedang belajar menulis | Penikmat alam bebas | email: firkan.maulana@gmail.com | http://www.instagram.com/abah_ceukhan | https://www.linkedin.com/in/firkan-maulana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wajah Muram Transportasi Publik di Wilayah Bandung Raya

19 Januari 2025   16:00 Diperbarui: 19 Januari 2025   16:00 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang yang lahir dan besar serta bertempat tinggal hingga kini di Kota Bandung, jujur saja saya mulai merasa tidak betah hidup di kota ini. Saya merasa mulai pengap dengan suasana keseharian di Kota Bandung. Jika orang luar Bandung, melihat dan menilai Bandung sebagai suatu tempat yang romantis, bagi saya hal tersebut tidaklah berlaku. Saya memaklumi hal tersebut karena mungkin orang luar Bandung hanya melihat wajah kota yang cantik di titik-titik tertentu saja, misalnya di kawasan Dago, Cipaganti, area Gedung Sate dan Braga. Namun sesungguhnya jika ingin melihat Bandung secara keseluruhan, maka lihatlah sudut-sudut Kota Bandung lainnya di bagian selatan, timur dan barat.  Maka wajah bopeng Kota Bandung akan terlihat dengan jelas. 

Dalam keseharian, Bandung bukanlah menjadi tempat tinggal yang nyaman lagi. Sekarang ini, udara Bandung makin terasa gerah, tidak sejuk seperti dulu. Kesemrawutan kota bisa terlihat dari masalah yang tidak pernah terselesaikan, misalnya pemukiman kota yang kumuh, banjir, sampah yang berserakan, lokasi berdagang kaki lima yang tidak beraturan dan tentu saja, kemacetan lalu lintas. Buat warga Bandung, kemacetan lalu lintas ini sudah merupakan makanan sehari-hari. Dan jika tiap akhir minggu, saya paling malas untuk keluar rumah karena kemacetan lalu lintas di Kota Bandung semakin menggila. Kondisi ini diperparah dengan masih kurang memadainya sarana dan prasarana transportasi publik di wilayah Bandung Raya yang terdiri dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi dan Kabupaten Sumedang. Bisa dikatakan, telah terjadi krisis transportasi publik di wilayah Bandung Raya. 

Kondisi Transportasi Publik

Dari sudut pandang pemerintah (baik itu Pemerintah Kota/Pemkot Bandung, Pemerintah Provinsi/Pemprov Jawa Barat (Jabar) dan pemerintah pusat), untuk memecahkan permasalahan kemacetan lalu lintas di Kota Bandung salah satunya dengan penyediaan transportasi publik. Maka di Kota Bandung, telah hadir bus-bus seperti Trans Metro Jabar (menggantikan Trans Metro Pasundan) yang dikelola Pemprov Jabar, Trans Metro Bandung yang dikelola Pemkot Bandung dan DAMRI. Bus-bus tersebut melayani rute masing-masing dan menghubungkan antar wilayah di Bandung Raya misalkan antara Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Kota Cimahi dan Kabupaten Sumedang. 

Ada juga jenis transportasi publik lainnya yaitu kereta api yang dikelola oleh PT.Kereta Api, yang menghubungkan poros wilayah Bandung Raya dari wilayah barat ke timur dengan melayani rute dari Stasiun Padalarang di wilayah Kabupaten Bandung Barat, melintasi Kota Bandung (Stasiun Bandung dan Kiaracondong) hingga pemberhentian terakhir di Cicalengka (Kabupaten Bandung). Bagi sebagian besar masyarakat Bandung yang bertempat tinggal dan bekerja di wilayah yang berdekatan dengan jalur kereta api tersebut, maka angkutan umum berbasis kereta ini menjadi angkutan favorit. 

Termasuk saya sendiri jika hendak berkunjung ke rumah kerabat di Cicalengka, saya gemar naik kereta api yang dikenal di kalangan warga itu dengan sebutan "Kaerde" singkatan dulu Kereta Rel Disel yang diplesetkan Kereta Ripuh Diuk (Bahasa Sunda yang berarti kereta susah untuk duduk karena saking berjubelnya penumpang). Tapi sekarang ini, kereta tersebut sedikit demi sedikit memperbaiki pelayanannya dengan memberikan nomor tempat duduk pada aplikasi Kereta Api Akses pada saat pembelian tiket kereta. Dan pada prakteknya sekarang ini, terakhir kali saya naik kereta api ini selalu tidak diberi nomor tempat duduk.  Enaknya naik kereta api sekarang ini adalah tepat waktu, penjualan  tiket sesuai kapasitas gerbong, alur masuk keluar penumpang di setiap stasiun sudah tertib, fasilitas kebersihan terjaga di setiap stasiun dengan adanya tampat sampah dan petugas kebersihan di kereta serta di setiap stasiun tidak ada yang berjualan di gerbong dan area stasiun.

Transportasi publik lainnya yang ada di Bandung adalah Angkot (angkutan kota), yang pamornya semakin menurun. Angkot ini dikelola oleh pihak swasta, koperasi dan perorangan. Dulu saat saya bersekolah tingkat menengah hingga kuliah, angkot menjadi salah satu angkutan yang sering saya gunakan karena harganya murah. Dan pada saat itu sekitar tahun pertengahan 1980 hingga 1990-1999, angkot merajai jalanan di Kota Bandung. Pemandangan angkot yang nunggu penumpang (ngetem) di depan gerbang sekolah, area dekat pasar, di depan mall/pusat perbelanjaan bahkan perempatan lalu lintas, bukanlah hal yang aneh. Salah satu  terminal Kota Bandung yang terkenal dengan angkotnya saat itu adalah Terminal Kebon Kelapa, yang lokasinya dekat dengan Alu-Alun dan Mesjid Agung. Sekarang ini, saya sudah sangat jarang naik angkot. Jika diperhatikan angkot yang lalu lalang di jalan, jumlah penumpangnya semakin sedikit. Dan bahkan jumlah angkot nya pun saya perhatikan semakin menurun.

Wajar saja pamor angkot menurun karena belakangan ini warga Bandung lebih akrab dengan transportasi publik berbasis online, baik itu motor maupun mobil. Dengan kemajuan teknologi informasi dan alat komunikasi yang semakin canggih, penggunaan transportasi online menjadi primadona bagi warga Bandung walaupun harga nya lebih mahal daripada transportasi yang disediakan oleh pemerintah dan juga angkot. Sekarang ini, di setiap sudut wilayah Bandung Raya, transportasi online hampir menjangkau seluruh sudut wilayah. Gesekan antara transportasi online dengan transportasi ojek sepeda motor yang mangkal, menjadi salah satu kasus yang seringkali terjadi dan perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Ojek sepeda motor pangkalan sering merasa terancam periuk nasinya dengan kehadiran ojek sepeda motor online.

Sebetulnya, di pinggiran wilayah Bandung Raya dan di pelosok pedesaan di Kabupaten Bandung, Bandung Barat dan Sumedang, masih banyak terdapat transportasi publik berupa delman dan becak. Biasanya angkutan tersebut melayani rute jarak dekat saja, misal dari rumah ke sekolah dan pasar. Sebagai contoh, di Soreang-ibukota Kabupaten Bandung masih banyak terdapat delman dan becak yang mangkal di dekat pasar, terminal dan pusat keramaian lainnya. Atau di Lembang yang masuk wilayah Kabupaten Bandung Barat, delman masih sering terlihat mengangkut penumpang dan barang di pasar-pasar.

Becak, transportasi publik tradisional yang tersisa di Kota Bandung (Sumber: Firkan/Dokumentasi Pribadi)
Becak, transportasi publik tradisional yang tersisa di Kota Bandung (Sumber: Firkan/Dokumentasi Pribadi)

Krisis Transportasi Publik yang terjadi

Baru-baru ini saja Bandung mendapat gelar sebagai kota termacet ke-12 di dunia berdasarkan rilis laporan dari TomTom Traffic yang mengukur kondisi lalulintas di 500 kota dari 62 negara di 6 benua. Salah satu faktor penyebab kemacetan lalu lintas ini adalah banyaknya warga Bandung Raya yang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi seperti motor dan mobil untuk bepergian baik itu untuk bekerja, sekolah dan sebagainya. Warga Bandung enggan untuk menggunakan transportasi publik seperti bus dan angkot. 

Saya sendiri jika disuruh memilih, lebih senang menggunakan sepeda motor untuk bepergian daripada menggunakan transportasi publik. Sebab dengan sepeda motor, saya bisa menuju tempat tujuan secara cepat dan murah. Saya juga menghindari bepergian dengan menggunakan bus dan mobil, dalam hal ini mobil berupa taksi konvensinal dan yang berbasis online. Dengan menggunakan bus dan mobil, perjalanan ke tempat tujuan menjadi lebih lama dan selalu saja ada kemacetan yang terjadi. Saya tidak mau terjebak kemacetan di jalan. Saya tidak mau membuang waktu berlama-lama di perjalanan. 

Warga Bandung Raya hampir mayoritas mulai jarang menggunakan angkutan kota (angkot) dikarenakan kualitas fisik mobil yang kurang bagus seperti tempat duduk yang hanya sekedar duduk, sempit dan panas serta kondisi teknis mobil seperti rem yang berpengaruh terhadap keamanan dan keselamatan. Selain itu, waktu tempuh perjalanan menjadi lama karena sopir angkot sering ngetem dan menjalankan mobilnya perlahan karena menunggu calon penumpang. Dan seringkali perilaku mengendara sopir angkot tidak terkendali, yaitu ngebut dan ugal-ugalan mengendarai angkotnya. Masalah pembayaran pun sering terjadi percekcokan antara sopir angkot dan penumpang karena hal sepele seperti pembayaran di luar tarif resmi dan uang kembalian.

Sebetulnya pilihan naik bus adalah lebih baik daripada naik angkot karena lebih murah ongkosnya dan lebih nyaman dengan adanya pendingin udara. Namun kekurangan naik bus di Bandung Raya ini adalah lama tempuh perjalanan. Hal ini disebabkan bus seringkali terjebak kemacetan lalulintas. Kondisi ini terjadi karena jalur bus pada setiap rute berada di jalan arteri, yang penggunaan badan jalannya bercampur dengan kendaraan lain. Sehingga wajar saja jika jalan arteri tersebut padat oleh berbagai jenis kendaraan maka bus tersebut akan terjebak dalam kemacetan. Seharusnya, jika ingin perjalanan bus lancar maka jalur pergerakan di jalan arteri harus dibuat lajur khusus seperti lajur Busway di DKI Jakarta.

Masalah lainnya dari transportasi publik di wilayah Bandung Raya adalah tidak  terintegrasinya titik-titik pertemuan antara rute-rute perjalanan yang membuat calon penumpang tidak merasa dimudahkan. Titik-titik pertemuan berguna untuk menghubungkan perpindahan rute perjalanan bagi penumpang dan perpindahan moda-transportasi, misal dari Angkot ke bus lalu pindah menggunakan kereta api. Idealnya integrasi tersebut disusun sedemikian rupa untuk memudahkan penumpang dalam menempuh perjalanan sehingga  bisa menghemat waktu dan biaya yang dikeluarkan. 

DKI Jakarta bisa menjadi contoh untuk integrasi antar moda dan rute transportasi. Saat saya beberapa tahun ke belakang bekerja di seputaran Jabodetabek, saya dimudahkan dengan integrasi tersebut terutama saat saya menggunakan KRL (kereta rel listrik), Busway dan MRT untuk menuju tempat tujuan. Sedangkan di Bandung Raya, contoh masih tidak terintegrasinya hal tersebut misal antara keberadaan Kereta Cepat Whoosh dengan angkutan umum lainnya. Para penumpang, masih disubsidi dengan layanan Damri untuk antar jemput dari titik-titik pemberangkatan tertentu. Selain Damri, ada juga mobil yang disediakan oleh developer perumahan terbesar di Padalarang untuk antar jemput penghuni kompleknya, dari dan ke Stasiun Padalarang. 

Reformasi Transportasi Publik

Pembenahan transportasi publik di wilayah Bandung Raya perlu segera dilakukan . Pembenahan ini tidak hanya semata berupa hal-hal seperti pembaruan armada bus, mempercantik halte bus dan sebagainya. Pembenahan harus dimulai dari hal yang mendasar. Hal yang pertama, rencana induk transportasi publik di wilayah Bandung Raya perlu ada kesepakatan bersama antara pemerintah daerah di wilayah Bandung Raya yang meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Sumedang. Hal yang kedua, rencana induk transportasi publik tersebut perlu mengacu pada rencana tata ruang makro wilayah Bandung Raya. Hal yang ketiga, rencana tata ruang kota dan atau kabupaten, masing-masing wilayah tersebut, harus memuat rencana transportasi yang mendukung pengembangan wilayah. Hal yang keempat, rencana  tata ruang kota dan atau kabupaten, seyogyanya menekan  dan membatasi penggunaan lahan yang sudah jenuh karena sudah padat aktivitas seperti kawasan perdagangan, kawasan wisata dan sebagainya, untuk menghindari terjadinya bangkitan arus lalu lintas yang menimbulkan terjadinya kemacetan. 

Tranportasi publik di wilayah Bandung Raya juga harus memperhatikan karakteristik  fisik jalan. Secara umum, jalan-jalan yang ada di wilayah Bandung Raya tidak lebar dan cenderung sempit/kecil. Selain itu ruas jalannya pendek-pendek. Selain itu perlu juga dicermati lokasi kawasan perumahan dan pemukiman masyarakat yang makin menyebar ke pinggiran kota. Hal ini berkonsekuensi pada lamanya waktu tempuh perjalanan karena jauhnya jarak rumah ke tempat tujuan di tengah kota. Karakteristik-karakteristik  tersebut sangat berpengaruh pada pilihan moda  transportasi publik yang akan digunakan. Sebagai contoh, jalanan Kota Bandung yang kecil dan sempit, tidak cocok dengan penggunaan bus besar. Bus yang cocok adalah yang ukurannya sedang sehingga tidak memakan badan jalan. 

Jika reformasi transportasi publik ini dijalankan, saya yakin warga Bandung akan sepenuhnya beralih menggunakan transportasi publik. Asalkan transportasi publik tersebut, memberikan kenyamanan dan keamanan, tepat waktu, pelayanan yang memadai, tarif yang murah dan terjangkau. Selain itu kondisi infrastruktur penunjang seperti halte bus atau tempat menunggu yang representatif, layanan bagi orang tua, anak dan kaum difafbel yang memudahkan untuk mengakses dan menggunakan transportasi publik. Semoga saja wajah muram karena krisis transportasi publik di wilayah Bandung akan segera berlalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun