Terpenting, saya pribadi menjadi tidak buta dan tuli hati, terutama bagiamana mengarifi maraknya kejahatan, termasuk begal yang akhir-akhir ini menjadi momok menakutkan di jalan raya, hampir di seluruh kota di negeri ini.
---
[caption id="" align="aligncenter" width="446" caption="Ilusreasi dari pojoksatu.id"]
BEGAL-BEGAL jalanan saya yakini merajalela karena masyarakat mulai gerah hidup di rumah sendiri, melenceng dari apa yang dilukiskan God Bless dalam lagu Rumah Kita. Para orangtua, para pemimpin negara ini, tidak memberikan rasa nyaman. Mereka bertengkar dan merasa benar. Polisi, KPK, DPR, para pejabat level atas di lingkup eksekutif saling tikam seperti lagu Badut Iwan Fals, yang ucapan maupun mimik muka marah mereka bisa disimak di layar televisi dari subuh hingga dinihari.
Himpitan ekonomi, ketidakjelasan hukum, kesempatan menyekolahkan anak dan lapangan kerja yang makin menyempit, belum ada suri tauladan yang menjadi panutan, menciptakan masyarakat yang sensitif. Pemberontakan itu diaplikasikan di jalanan. Anak-anak putus sekolah (bahkan anak-anak sekolah di sebuah SMA di Kota Wali Kabupaten Demak yang belum lama ini tertangkap setelah membegal) yang ingin terus punya pulsa, bapak muda yang tak punya ongkos menebus obat bayinya, pengangguran yang mulai disindir-sindir istri maupun mertuanya, adalah para begal yang merasa cemburu pada aparat yang punya rekening gendut, anggota DPR yang bisa memroduksi tanda tangan sakti, bupati yang punya banyak mobil dan rumah mewah, para artis yang digambarkan oleh TV tampak super glamor ...
Negeri ini cuma butuh hati, agar para penjahat dan calon penjahat, serta para pejabat dan calon pejabat, memiliki hati.
-Arief Firhanusa-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H