[caption id="attachment_405459" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption] AKHIR 2004, maghrib baru saja berlalu, saya mengetik berita PSIS di ruang sekretariat suporter PSIS di Kompleks Tri Lomba Juang Semarang. Saya masih bekerja di Grup Jawa Pos ketika itu. Belasan suporter bergerombol di teras dan ruang tamu. Senyap beberapa saat, tiba-tiba ada keributan di depan kantor. Tergeragap, saya menghambur keluar. Saya mengira ada bentrok antarsuporter. Di tahun-tahun itu PSIS punya dua kelompok suporter yang seringkali adu fisik, sebelum sekarang ini dua kelompok tersebut rukun dan damai. Sebagai Wakil Ketua Komisi Suporter PSIS (ketuanya Pak Yudi Suwarso, saat itu Kasat Narkoba Polrestabes Semarang berpangkat AKBP), saya bertanggungjawab terhadap keseimbangan dua kelompok tersebut. Ternyata bukan. Keributan itu ditimbulkan oleh setidaknya lima anggota Reskrim Polrestabes yang meringkus salah seorang suporter, sebut saja M, yang diduga melakukan pencurian motor. Esoknya, M 'nampang' di koran dengan baju tahanan. [caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Ilustrasi dari blogrollink.blogspot.com"]
---
[caption id="" align="aligncenter" width="485" caption="Ilustrasi dari octameliapurnamasari.wordpress.com"]
SAYA bukan ustadz atau psikolog, apalagi dewa. Saya hanya orang yang kebetulan kenyang dengan lingkungan gali, bahkan sejak SMA. Ketika kuliah, saya kos di kawasan Pasar Johar Semarang yang padat aktivitas kriminalitas. Kawan-kawan kos saya adalah copet, jambret, hingga perampok yang bersembunyi karena dikejar-kejar polisi.
Pernah terpikir melaporkan keberadaan mereka kepada aparat, tetapi saya kemudian terlatih untuk melakukan studi, mendengar isi hati mereka, dan perlahan-lahan melakukan pembinaan sesuai disiplin ilmu yang saya pelajari, toh di kampus saya tidak mendapatkan praktik seperti ini. Saya berpikir, kalaupun dipenjara, belum tentu mereka jera saat kelak kembali ke masyarakat.
Saya kumpuli gali-gali kecil ini. Pernah sekali saya ikut minum CY (alkohol merk ini sangat terkenal di Semarang) hingga mabuk. Itu alkohol yang pertama dan terakhir saya minum. Saya ajak mereka nonton film di Bioskop Kanjengan (sekarang sudah almarhum). Sambil nongkrong, selagi menunggu jadwal masuk bioskop, saya dengar omongan mereka. Rata-rata mereka anak-anak dari keluarga miskin. Himpitan ekonomi menciptakan keluarga yang tak mapan secara sosial dan pendidikan. Ayah-ibu mereka membiarkan anak-anaknya keluyuran. Kepenatan menanggung beban hidup yang berat menciptakan kontrol-kontrol yang rusak terhadap norma-norma.
Putus sekolah, mereka kongkow-kongkow, berbaur laki-laki dan perempuan. Habitat seperti ini menjadi 'SDM' potensial bagi gali yang sudah senior. Mereka dimanfaatkan untuk mencopet karena gali senior tahu anak-anak itu butuh uang untuk jajan. Maka, di pasar Johar ketika itu marak copet-copet kecil. Bila ada keramaian macam Dugderan (pasar malam menjelang bulan puasa), "tikus-tikus" itu menjadi momok.
Saya kaget cara cerdas mereka mencopet. Dalam hitungan detik mereka bisa membobol tas atau kantong belakang celana korbannya, hanya dengan silet dan jari. Itu bisa mereka lakukan tanpa harus belajar bertahun-tahun belajar sulap, tapi cukup dikursusi oleh 'bos'-nya selama dua hari!
Anak-anak itu kemudian saya kenalkan dengan harkat hidup yang lebih bermartabat. Bersama beberapa kawan, pada 1991, saya mendirikan Komunitas Teh Poci (KTP). Kami ajak anak-anak itu rekreasi, kumpul-kumpul di trotoar sambil main gitar, dan tak jarang kami ajak mereka ke kampus atau seminar. Tentu saja kami patungan ketika harus mentraktir makan atau memberi mereka sekadar uang saku, meski mereka sebagian ngamen di Simpanglima pada malam hari yang menghasilkan uang.
Prinsipnya kami menuntun, bukan serta merta mengentaskannya dari jurang. Pekerjaan yang berat karena aktivitas kami di bawah tekanan. Para jambret senior main ancam dan tak segan mengajak berkelahi. Tak sedikit pula copet-copet itu ngeyel tetap ingin mencuri sebab mereka sudah merasa nyaman mengutil ketimbang menjadi tukang semir sepatu. Untungnya kami punya beberapa kawan mantan preman yang mendukung upaya kami. Dan untung pula Dinas Sosial turut ambil bagian menjadi bemper.
Mungkin tidak semua copet tobat lewat komunitas kami. Barangkali saat ini beberapa mantan jambret itu sekarang menjadi tukang tadah begal, bahkan bandar narkoba. Namun, beberapa di antara mereka yang dulu mencopet pengunjung pasar kini menjadi juragan buah di beberapa pasar. Ada pula yang berdagang gordin, dan ... menjadi ustadz di sebuah pondok pesantren di Magelang, Jawa Tengah.